Headline
PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.
PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.
Pendidikan kedokteran Indonesia harus beradaptasi dengan dinamika zaman.
ROMEO-JULIET, mungkin lebih kental dalam ingatan ketimbang Roima-Julini. Romeo-Juliet boleh jadi merupakan kisah cinta antaranak manusia yang mendunia. Namun, jangan lupa Roima-Julini juga punya cerita istimewa. Tak hanya cerita, bahkan nilai dan pesan mendalam daripada sekadar kisah asmara. Ini bukan hanya tentang dua keluarga ningrat yang mati-matian saling membenci serta berseteru, sedangkan anak mereka terasuki cinta sejati muda-mudi.
Berbeda dengan Roima-Julini, kisah cinta mereka bukan pasangan perempuan dan lelaki, melainkan pasangan lelaki dan banci. Mereka juga bukan dari kalangan kelas atas, melainkan dari kalangan kelas bawah. Selain mengurusi cinta, mereka setiap hari harus bergulat dengan urusan sandang, pangan, dan papan di tengah kerasnya kehidupan kota metropolitan.
'Mereka berimpitan. Sementara yang lain bermain golf', sebait lagu berjudul Jula Juli tanpa Harapan itu menjadi pembuka dalam pentas Teater Koma yang berjudul Opera Kecoa pada 10-20 November 2016 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Opera Kecoa bercerita tentang seorang bandit kelas teri Roima yang masih punya impian untuk jatuh cinta. Dia tertarik kapada Tuminah, seorang pekerja seks komersial (PSK) yang memimpikan hidup baik di masa tua. Tuminah bermimpi bisa mendirikan rumah tangga dan punya anak-anak. Namun Julini, waria pacar Roima, cemburu dan mengungkit-ungkit masa lalu. Roima sulit memilih. Dia merasa bagai berdiri di tengah dua jalan. Tak tahu, mana mesti dipilih.
Pada suatu malam, Julini kena peluru nyasar petugas, lalu mati. Teman-teman Julini berdemonstrasi meminta Julini dibuatkan patung. Patung itu akhirnya didirikan seorang pejabat. Inilah nyanyian tentang para PSK, waria, dan bandit-bandit kelas teri. Kisah tentang orang-orang kecil yang ingin hidup layak. Juga kisah tentang kesuksesan pemimpin mencari utangan di luar negeri. Utangan itu selalu diakui untuk pembangunan dan demi kesejahteraan rakyat.
Kisah pemimpin yang gemar sekali 'membangun'. Orang-orang kecil itu menghadapi kenyataan keras. Melakoni perjuangan hidup yang hanya punya dua risiko; jadi ada atau tersingkir. Nasib baik tampaknya jarang memihak mereka. Sia-sia upaya memperbaiki jenjang kehidupan yang lebih sejahtera. Tempat mereka seperti sudah digariskan, yakni gorong-gorong, di dalam got di kolong jembatan, di kawasan kumuh yang jorok, yang gelap dan bacin.
Menurut penulis naskah dan sutradara Teater Koma, Nano Riantiarno, lakon Opera Kecoa berkisah tentang perjuangan kaum minoritas yang hidup menderita, berimpit-impit dalam lorong gelap di balik kemegahan gedung tinggi, mencari keadilan dari para pemimpin.
"Pertunjukan sarat makna ini kami tampilkan dalam bentuk nyanyian dan gerak khas Teater Koma. Setelah 31 tahun semenjak pentas pertama, ternyata lakon ini masih bisa menjadi potret keadaan masa kini. Semoga penonton dapat mengambil pesan moral yang berusaha kami sampaikan dalam lakon ini," tutur Riantiarno.
Pernah dilarang pentas
Lakon karya N Riantiarno ini pertama kali dipentaskan Teater Koma pada 1985, atau 31 tahun lalu, di Graha Bhakti Budaya. Pada 1990, lakon ini dilarang pentas di Gedung Kesenian Jakarta dan tidak diberi izin pentas keliling ke Jepang. Kemudian pada 1992 dipentaskan dengan judul Cockroach Opera oleh Belvoir Theatre di Sydney, Australia. Akhirnya, lakon ini dipentaskan lagi di Gedung Kesenian Jakarta pada 2003, 13 tahun setelah pelarangannya.
Kini, di 2016, Teater Koma memanggungkan lagi lakon ini di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, tempat lakon ini pertama kali dipentaskan. Mengapa lakon ini dipentaskan lagi? "Hanya ada satu harapan, juga doa. Semoga tidak akan ada lagi pentas-pentas yang dilarang. Semoga polisi dan juga penguasa melihat bahwa teater bisa membuat orang-orang melihat dengan hati, tidak hanya dengan mata. Hati akan melihat dengan lebih awas. Dengan hati kita akan bisa mengawasi nurani. Dengan hati kita akan melihat keadilan yang benar, iniiah doa kami semua, doa orang-orang seni pertunjukan," begitu menurut N Riantiarno.
Sekitar 3 jam, penonton bakal disuguhi lakon tentang orang kecil. Namun, bukan hanya orang kecil. Penonton mungkin juga akan melihat diri mereka sendiri di atas panggung, juga dialog dan adegan satire yang sangat khas dengan nilai kemanusiaan. Itulah Teater Koma. Lakon yang mereka mainkan tak pernah habis dimakan masa. Melintasi ruang dan waktu, lakon itu akan tetap relevan. Kapan pun dan di mana pun.
Seperti kisah cinta lelaki dengan banci ini, yang telah dikisahkan Teater Koma jauh sebelum urusan LGBT menjadi tema hangat belakangan ini. Lakon ditutup dengan adegan kebakaran. Api melahap permukiman kumuh. Uniknya, ketika ada kawasan tempat tinggal orang-orang kecil dimakan api, selalu timbul dua pertanyaan; terbakar atau dibakar. Tak ada yang bisa menjawab. Semua gelap. Seperti masa depan. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved