Headline
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
DESEMBER mendatang, masyarakat Aceh dan Indonesia akan memperingati 12 tahun bencana tsunami yang melanda pada 2004 lalu. Berbagai pembelajaran bisa kita ambil dari peristiwa itu. Nah, Medi akan berbagai cerita dari pengalaman saat berjalan-jalan ke Kelurahan Punge Blang Cut, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, Rabu (26/10). Medi melihat kapal besar berada di tengah permukiman warga. Wow, kapal kan biasanya beroperasi di lautan? Lalu, mengapa kini berada di daratan? Setelah didekati, kapal bertuliskan ‘Pembangkit Listrik Tenaga Diesel’ atau biasa disebut PLDT Apung 1 itu merupakan situs peninggalan tsunami yang di dalamnya telah dijadikan Monumen PLTD Apung.
Kapal pembangkit lstrik
Gempa berkekuatan 9,3 pada skala Richter yang disusul gelombang laut atau tsunami menerjang pesisir utara Banda Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004. Saat itu, air setinggi kurang lebih 9 meter pada pukul 07.58 WIB menyeret apa pun yang ada di depannya, termasuk kapal PLTD Apung 1 milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang sedang bersandar di Pelabuhan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh.
Kapal ini telah berlayar ke berbagai tempat di Indonesia, seperti Pontianak pada 1997, lalu meneruskan ke Bali pada 1999, Madura di 2000, kembali ke Pontianak pada 2001, dan akhirnya berlabuh di Banda Aceh sejak Juli 2003 untuk memasok listrik sampai 10,5 megawatt bagi kebutuhan Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Namun, saat merapat di Pelabuhan Ulee Lheue untuk mengisi bahan bakar, tiba-tiba tsunami datang menghantam kapal berbobot 2.600 ton, panjang 63 meter, dan lebar 19 meter itu.
Terseret hingga 5 km
Menurut saksi mata, gelombang tsunami diawali suara menyerupai ledakan sebanyak tiga kali. Ledakan pertama dan kedua mengakibatkan gelombang tsunami yang datang dari arah Ulee Lheue menyeret kapal itu ke arah Lampaseh. Di ledakan ketiga, kapal itu terhempas berkeliling mengikuti arah air hingga terdampar di permukim an warga di seberang Masjid Subulusalam di Desa Punge Blang Cut atau sejauh 5 kilometer dari pelabuhan tempat kapal bersandar.
Sebenarnya kondisi mesin kapal tidak mengalami kerusakan parah. PLN pun berniat mengembalikan kapal itu ke laut. Namun, pemerintah setempat ingin menjadikannya sebagai wisata sejarah. PLN pun akhirnya mencabut semua mesin dan mengizinkan kapal itu tetap berada pada posisi aslinya untuk dijadikan sebagai situs tsunami. Dari papan penjelasan diketahui bahwa sebelum gelombang datang, kru kapal berusaha melepaskan tali pengikat di dermaga, tapi gelombang datang semakin besar. Sebanyak 12 kru yang berada di atas kapal panik dan beberapa di antara mereka berloncatan dan sebagian lainnya bersembunyi di lambung kapal.
Membacakan doa
Semuanya berusaha menyelamatkan diri dengan cara masing-masing. Lima kru meninggal karena terbawa arus tsunami dan yang lainnya selamat meski mengalami luka-luka. “Diyakini masih terdapat beberapa jenazah yang belum bisa dievakuasi dari bawah kapal. Ada baiknya saat berkunjung ke tempat ini diniatkan untuk berziarah dan mengirimkan doa untuk para korban,” kata Septian, petugas wisata PLTD Apung 1. Selain mengetahui kondisi kapal saksi bisu tsunami, dari dalam kapal yang disulap menjadi museum ini pun dapat ditemui beragam penjelasan dan proses terjadinya tsunami Aceh pada tayangan televisi yang tersedia dan beberapa benda seperti Alquran yang lama terendam air.
Tidak jauh dari situs kapal itu pun dibangun sebuah prasasti peringatan. Pada bagian sisinya terpatri ratusan nama korban meninggal, di belakangnya terdapat tembok berelif yang menggambarkan detik-detik terjadinya peristiwa. Mari belajar dari bencana! (Suryani Wandari/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved