Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
TEKAD Presiden Joko Widodo membersihkan negeri ini dari praktik pungutan liar (pungli) bak perjuangan Bratasena ketika melepaskan penderitaan rakyat Negara Giripura dari cengkeraman Prabu Baka yang bengis dalam cerita wayang. Sungguh tidak gampang. Akan tetapi, dengan keberanian dan konsistensi, Bratasena berhasil membasmi Baka. Memang tidak mudah memerangi pungli. Perilaku miring itu telah ngrembaka (berkembang ke mana-mana) karena berkelindan dengan persoalan watak. Ada sindiran dalam masyarakat, kalau watuk (batuk) itu mudah diobati, tetapi watak sulit disembuhkan’. Inilah jawaban kenapa pungli seperti lestari dari generasi ke generasi.
Celakanya, akibat terus hidup turun-temurun, perilaku saru itu lalu dianggap sebagai budaya. Tentu, dengan alasan apa pun, praktik tidak semenggah itu tidak pantas disebut budaya karena budaya sejatinya merupakan produk akal budi yang melahirkan peradaban mulia, termasuk di antaranya tentang keindahan dan ketenteraman hidup. Dari perspektif itu maka pemberantasan pungli seyogianya tidak hanya lewat pengawasan dan penindakan semata, tetapi juga yang paling mendasar ialah mendandani aspek hulunya, yakni pada watak setiap insannya.
Ijrapa yang papa
Syahdan, rakyat Giripura dilanda ketakutan luar biasa. Itu bukan karena adanya ancaman atau intimidasi dari pasukan (negara) musuh, melainkan akibat perilaku kanibal rajanya sendiri. Prabu Baka, sang raja itu, mewajibkan rakyatnya secara bergiliran menyerahkan upeti kepadanya. Upeti itu bukan benda berharga atau bahan makanan produk pertanian dan perkebunan, melainkan berujud manusia. Setiap kepala keluarga, sesuai dengan gilirannya masing-masing, harus menyerahkan persembahan manusia kepada sang raja.
Dikisahkan, setiap tiga hari sekali, Baka, yang berwadak yaksa, mesti menyantap menu daging orang. Konon, setelah menelannya, Baka merasa perkasa dan kesaktiannya terpelihara. Inilah yang menjadikannya terus ketagihan melalap daging rakyatnya. Akibat perilaku menggiriskan itu, banyak warga Giripura yang terpaksa melarikan diri ke dusun-dusun negara tetangga. Mereka ketakutan dan tidak bersedia antre jadi ‘kudapan’ sang raja. Namun, terhadap siapa saja yang ketahuan meminta suaka politik ke negara lain, antek-antek Baka menguber dan menangkap mereka. Konsekuensinya, mereka yang kepikut (tertangkap) menjadi santapan prioritas Baka.
Situasi delematis inilah yang menghantui hari-hari Demang Ijrapa di Dusun Manahilan di pinggiran Giripura. Setiap hari, siang-malam, Ijrapa bermunajat kepada Sanghyang Manon memohon pepadhang (pertolongan). Di dusun itu Ijrapa hidup bersama istrinya, Nyai Ruminta, dan anak laki-lakinya yang menjelang dewasa bernama Rawan. Impitan ketakutan tiada henti itu membuat Ijrapa dan istrinya sampai-sampai tidak bernafsu makan dan minum. Badan mereka pun menjadi kurus kering. Ijrapa tidak tahu harus berbuat apa. Posisinya sebagai rakyat kecil dan tidak memiliki kekuatan apa-apa menjadikannya kian papa.
Ijrapa pun bingung memutuskan siapa dari keluarganya yang akan dijadikan upeti persembahan. Tidak terlintas dalam benaknya untuk menyerahkan istri atau anaknya. Malah yang terbayang dirinya saja yang mesti menjadi ‘tumbal’ keluarga. Ketika sedang bergulat dalam kemangu-manguannya, ada seorang ibu bersama lima anak mendadak mampir ke rumahnya. Perempuan berumur itu kemudian memperkenalkan diri bernama Kunti Talibrata, sedangkan kelima anak lelaki itu (Pandawa) ialah putranya, yakni Puntadewa, Bratasena, Permadi, Tangsen, dan Pinten. Kepada Ijrapa, Kunti menyampaikan maksudnya untuk berteduh sementara waktu. Kunti mengaku tidak memiliki rumah sehingga hidup ngulandara (terlunta-lunta) dan harus pula memberi nafkah anak-anaknya. Terutama yang paling kecil, si kembar Tangsen dan Pinten.
Setelah Kunti berbicara, seketika itu pula Ijrapa bersimpuh dan matanya berkaca-kaca. Ia terharu dengan nasib permaisuri mendiang Raja Astina Pandudewanata dan kelima putranya. Ijrapa tidak mengira keluarga raja negara besar dan kaya itu menjalani hidup seperti sudra. Dengan senang hati, Ijrapa menyatakan menerima keinginan Kunti dan kelima anaknya yang bermaksud tinggal di gubuknya. Menurutnya, itu merupakan berkah dalam hidupnya, mendapat ‘keluarga baru’ orang-orang berdarah biru, trahing kusuma rembesing madu.
Selang beberapa hari, Kunti menangkap gelagat kegelisahan Ijrapa. Lalu ia bertanya, apakah Ijrapa keberatan dengan kehadirannya selama ini. Dengan kepala menunduk, Ijrapa mengaku dirinya memang sedang gundah gulana. Akan tetapi, itu bukan karena beban kehadiran Kunti dan Pandawa, melainkan kewajibannya menyerahkan upeti kepada raja telah tiba. Ijrapa menjelaskan dirinya harus mempersembahkan manusia kepada sang raja Prabu Baka. Kunti kaget mendengar itu. Setelah berpikir sejenak, Kunti lalu menenangkan Ijrapa untuk tidak bingung dan khawatir. Ia sarankan untuk menyerahkan Bratasena kepada Baka sebagai persembahan.
Semula Ijrapa menolak karena tidak mau orang lain menjadi korban demi keselamatan keluarganya. Namun, setelah diyakinkan Kunti bahwa Bratasena akan selamat, ia menerima seraya mengucapkan terima kasih. Tepat pada hari yang ditentukan, Ijrapa menyerahkan Bratasena sebagai upeti kepada Baka di istananya. Betapa bernafsunya raja gergasi itu melihat bakal santapannya begitu menggiurkan. Selain besar, dagingnya tampak pulen. Baka tidak tahan untuk segera melalapnya.
Ketika kedua tangannya bersiap menjamah, Bratasena mendupak Baka hingga terjengkang. Baka segera bangkit sambil menyeringai. Ia tidak menduga santapannya melawan. Setelah menghela napas, dengan sekuat tenaga Baka berusaha menyergap mangsanya itu. Lagi-lagi dadanya tertendang tungkak kaki kanan Bratasena hingga ia terjerembap. Baka lalu mundur selangkah sambil bertanya, siapa gerangan. Bratasena menjawab dengan lugas bahwa dirinya rakyat Giripura yang akan membinasakan Baka yang zalim. Bratasena mengatakan raja itu mesti mengayomi dan memakmurkan rakyat, bukan malah memakan rakyatnya. Baka tidak memedulikannya. Karenanya, terjadilah perang sengit. Singkat cerita, Baka tewas. Dengan lenyapnya sang predator, rakyat Giripura terbebas dari cengkeraman kewajiban upeti.
Tahu malu
Kisah Giripura dengan raja kanibal Baka itu merupakan simbolisasi kondisi rakyat yang tercengkeram oleh sistem negara yang korup. Rakyat dipaksa menyerahkan upeti (pungli) yang ditentukan sewenang-wenang oleh pemegang kekuasaan di setiap institusi dan level birokrasinya. Nilai yang tersirat dari kisah di atas ialah bahwa untuk menghilangkan pungli alias mala negara, selain melalui pengawasan dan penindakan ala Bratasena, yang lebih mendasar ialah mereparasi watak manusianya (bangsa), yakni menjadi insan bermental Bratasena. Bratasena sebagai lambang penegakan hukum adalah yang tanpa pandang bulu, berani, teguh, dan konsisten. Dalam sisi watak, masalah pungli serta perilaku tidak elok lainnya hanya bisa hilang bila setiap insan bermental seperti Bratasena, jujur dan tahu malu.(M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved