Headline

Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.

Spirit Perhatian

Ono Sarwono
11/9/2016 01:00
Spirit Perhatian
()

SAMPAI saat ini anggaran negara sudah dipapras dua kali. Pemerintah terpaksa melakukan langkah pahit tersebut agar anggaran tidak ngaya wara (sulit diterima akal), tapi realistis. Konsekuensinya, terjadi pengetatan belanja. Ikat pinggang mesti lebih disingsetkan lagi. Lalu, bagaimana implementasinya? Yang paling rasional bangsa ini harus bertindak realistis pula. Berani hidup prihatin. Prihatin di sini bukan seperti yang dimaksudkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bersedih hati, waswas, bimbang, melainkan berpola hidup yang efisien, hemat, sederhana, tidak boros, tidak bermewah-mewah, dan selalu mendahulukan yang penting (baku). Bersikap ambeg parama arta, memprioritas hal-hal yang utama. Bila kita kuasa bersikap dan berperilaku seperti itu, pada akhirnya bangsa dan negara ini tetap akan survive, terhindar dari kebangkrutan. Dan jika laku prihatin tersebut bisa mendarah daging dan menjadi pegangan dalam praktik kehidupan, bangsa ini akan kuat, tangguh, dan tahan banting, dalam kondisi apa pun.

Arena penggemblengan
Dalam cerita wayang, laku prihatin yang akhirnya bermuara pada kemuliaan hidup dicontohkan lima anggota keluarga Pandawa (Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa). Mereka menjadi kesatria-kesatria kekasih dewa, yang ukiran sejarah hidup mereka menjadi kaca benggala (contoh) bagi semua titah di marcapada. Derajat kualitas pribadi mereka mengusik para penghuni Kahyangan. Laku prihatin Pandawa bersemai ketika mereka dilanda kesengsaraan akibat terusir dari Istana Astina, tempat lahir sekaligus rumah mereka. Pandawa sama sekali tidak menduga kegetiran bakal menimpa. Maklum, mereka putra raja yang berkuasa penuh atas Astina, negara besar nan kaya raya. Namun, itulah kodrat hidup yang tidak bisa mereka hindari. Sebagai target politik kotor, yang dikreasi orang-orang yang sesungguhnya dekat, Pandawa mesti melakoni hidup yang serbakebalikan. Dari awalnya yang serbaada berubah menjadi serbatidak ada. Dari yang semula terhormat sebagai trah berdarah biru, lalu terlunta-lunta bak wong pidak pedaraan, rakyat kecil yang kere dan terlecehkan.

Kenestapaan itu mulai menghela pascaayah mereka, Prabu Pandudewanata, meninggal. Sengkuni adalah tokoh sentral di balik tertundungnya Pandawa dari istana Astina. Ini cara ia untuk mengamankan kekuasaan atas Astina tetap di tangan keponakannya, Duryudana (sulung Kurawa). Bahkan, Sengkuni terus mengazab Pandawa agar binasa. Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga bertahun-tahun, Pandawa, didampingi sang bunda, Kunti Talibrata, hidup terlunta-lunta, ngulandara (berkelana). Saat itu Pandawa belum berusia dewasa, bahkan si kembar Nakula (Tangsen) dan Sadewa (Pinten) masih kecil. Mereka berteduh dari satu tempat ke tempat lain. Untuk bertahan hidup, mereka makan apa saja yang didapat.

Namun, kesengsaraan yang mendera tidak membuat Pandawa menderita. Tiada penyesalan terhadap apa yang terjadi. Pun tidak ngundhat-ngundhat (memprotes) dewa terhadap nasib mereka. Pandawa tulus dan ikhlas menjalaninya. Kondisi yang mencekik justru dijadikan semacam ‘akademi’ demi menggembleng diri membangun keluhuran budi. Sikap yang demikian ‘aneh dan nyeleneh’ ini tidak terlepas dari peran sang ibu sebagai single parent. Kunti, dengan sabar, telaten, dan penuh kasih sayang, mendidik anak-anaknya untuk tetap teguh berjiwa kesatria. Mampu melestarikan nilai-nilai luhur yang diwariskan wong suci Begawan Abiyasa yang ialah kakeknya. Di antara pitutur Kunti yang kerap ditanamkan ke lubuk hati putra-putranya ialah hidup ini kuasa Sanghyang Manon. Haram menolak lelakon karena segala yang gumelar (terjadi) di jagat ini merupakan kehendak Ilahi. Dalam bahasa Kunti, lelakon iku adile dilakoni, semua yang terjadi ini mesti dijalani dengan legawa.

Macam-macam cara Pandawa menikmati penderitaan demi mengasah kualitas pribadi, dari yang sifatnya fisik hingga kebatinan (spiritual). Salah satu laku-laku prihatin sufistis yang fenomenal ialah yang dilakukan Arjuna. Ia bertapa di Gunung Indrakila ‘bergelar’ Begawan Ciptaning alias Mintaraga. Kegenturannya dalam mahasing asemun di tempat tersebut sempat mengguncang Kahyangan Jonggring Saloka. Singkat cerita, berkat laku prihatin, Pandawa menjadi kesatria-kesatria pinunjul (unggul). Selain sakti, mereka juga berbudi luhur dan mulia. Mereka pun membangun rumah (negara) sendiri daripada berebut kekuasaan Astina dengan saudara sepupu mereka. Pandawa menyerahkannya kepada kodrat jagat atas masa depan Astina.

Negara yang didirikan Pandawa dia atas lahan (hutan) Wanamarta. Keberhasilannya itu sekaligus sebagai bukti kualitas dan jati diri Pandawa. Perjuangan mereka tidak mudah. Mereka sempat dihadang ‘penduduk asli Wanamarta, yakni prajurit-prajurit jin yang dipimpin Yudistira. Semuanya dilakukan tanpa bantuan pihak lain, berdikari. Negara baru itu diberi nama Amarta alias Indraprastha. Di kelak kemudian hari, negara ini kuncara akan kemakmurannya. Negara yang gemah ripah loh jinawi, subur sarwa tinandur, murah sarwa tinuku, negara kuat dan rakyatnya hidup sejahtera dan tenteram. Dalam perjalanannya, Pandawa akhirnya juga mendapatkan kembali hak mereka atas Astina setelah menang dalam Bharatayuda. Negara itu pun lalu digabungkan dengan Amar­ta dengan nama Yawastina. Puntadewa sebagai raja gung binathara yang kondang ke segala penjuru marcapada.

Jadi kultur
Benang merah kisah itu adalah Pandawa tidak rewel (bermasalah) dengan kesengsaraan hidup yang mendera. Meski itu berat, Pandawa mampu mengelola diri sehingga mereka tidak merasa sengsara atas kesengsaraan itu. Inilah yang pada akhirnya menjadi mereka insan-insan tangguh, tidak bermental lembek dan gampang merengek. Nilai yang bisa dipetik bahwa hidup prihatin itu merupakan sikap dan perilaku mulia. Dengan itu, Pandawa mampu menempatkan kesengsaraan pada tempat yang semestinya sehingga itu bukan menjadikan mereka lebur, melainkan justru membuat mereka luhur.

Dalam perspektif moral, orang yang gentur prihatin pada akhirnya akan menjadi pribadi-pribadi berkarakter. Betapa laku prihatin itu dapat dijadikan fondasi dalam praktik kehidupan sehari-hari. Mampu menjadi solusi berbagai persoalan hidup, baik skala pribadi maupun dalam skala berbangsa dan bernegara. Dalam konteks anggaran, perilaku prihatin ini seyogianya menjadi spirit atau bahkan kultur bangsa. Baik dalam kondisi cekak maupun berlebih. Jadi, prihatin tidak hanya diterapkan ketika anggaran negara defisit. Ketika negara dalam keadaan banyak duit pun, bangsa ini sebaiknya tetap prihatin. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya