Headline

Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.

Menuju Fesyen yang Etis

BINTANG KRISANTI
04/9/2016 02:45
Menuju Fesyen yang Etis
(DOK LENNY AGUSTIN)

DESAINER Lenny Agustin kaget saat mendapati kain desainnya sudah diselesaikan perajin di Kalimantan Barat. Meski indah, kain dengan teknik sulam yang khusus ia ajarkan kepada perajin itu menjadi berharga jual rendah karena sangat berbau keringat. Ternyata, kondisi itu terjadi akibat para perajin tidak mengenal alat bantu menyulam berupa bidangan kayu. Akibatnya, kain hanya dijepit di antara kaki. “Tapi kita tidak bisa hanya ngasih bidangan kayu, kita harus juga mengajari cara memakainya, cara duduk dan lain-lain. Jadi, ethical fashion kalau di sini memang tidak sederhana. Kita harus menyelami kehidupan perajin baru dari situ kita tahu bagaimana cara membantu agar kehidupan mereka jadi lebih baik,” tutur Lenny dalam acara Ethical Fashion Talk & Media Gathering, di Jakarta, Selasa (30/8).

Acara itu digelar Indonesian Fashion Chamber (IFC) sebagai rangkaian menuju pekan mode International Ethical Fashion (IEF) yang akan berlangsung 17-20 November 2016. Lenny yang merupakan anggota IFC didapuk sebagai Project Director of IEF. IEF digelar dengan tujuan mendorong fesyen yang etis di Indonesia. Gerakan ethical fashion sebenarnya sudah muncul di Barat sejak 2004 seiring dengan kesadaran para pelaku fesyen untuk memperbaiki taraf hidup para buruh fesyen. Berdasarkan defi nisi yang dibuat badan internasional Ethical Fashion Forum, ethical fashion ialah industri fesyen yang memaksimalkan keuntungan untuk masyarakat dan komunitas, sekaligus meminimalkan dampak buruk terhadap lingkungan. Namun, seperti yang dituturkan Lenny, upaya memaksimalkan keuntungan untuk masyarakat perajin tidaklah mudah.

Desainer
maupun pengusaha fesyen tidak bisa sekadar memberi alat bantu produksi tanpa memberi pelatihan karena berarti mengubah cara kerja yang sudah turun-temurun. Bahkan, niat desainer untuk memberi upah yang tinggi juga tidak sederhana. Merujuk pengalaman Lenny, perajin kerap tidak bisa menentukan harga karena selama ini hanya mengikuti harga dari tengkulak. Padahal harga itu hanya bisa mengganti biaya bahan dan benang. Tenaga yang dikeluarkan perajin tidak dibayar. Lenny pun harus mengajari para perajin cara memberi harga tenaga, termasuk mulai mencatat lama waktu bekerja per harinya hingga menghitung kebutuhan dapur para perajin. Dengan cara itu barulah diketahui bahwa sesungguhnya harga produk yang dihasilkan perajin semestinya bisa mencapai tujuh kali lipat daripada harga yang dibayarkan tengkulak. Dengan memberikan harga yang pantas itulah, Lenny bisa membuat para perajin daerah itu maju dan akhirnya malah bisa membuat merek sendiri dan memasarkan ke Jakarta. Anggota IFC lainnya, Alex Duchemin, berupaya menjalankan konsep ethical fashion dengan memberi upah perajin sebesar 15% dari harga produk sepatunya. Sementara itu, sisi lingkungan dijalankan dengan memanfaatkan ban bekas dan karung kopi bekas untuk material produk dengan merek Wiwi Shoes itu. “Saya juga hanya memproduksi 1.000 pasang sepatu setahun, jadi tidak membuat perajin tertekan. Tapi mereka juga boleh mengerjakan produk orang lain,” tutur pria berkebangsaan Prancis itu.

Sekadar mendorong
Direktur IFC, Ali Charisma, berharap pelaksanaan IEF akan mendorong lebih banyak lahir desainer dan pengusaha fesyen seperti Lenny dan Alex. Di sisi lain, karena menyadari keberadaan IEF sebagai gerakan awal, ia tidak memasang target tinggi akan omitmen ethical fesyen dari brandbrand yang nantinya tampil di IEF. “Ini kan baru permulaan, jadi kalau 15% saja yang ethical fashion itu sudah bagus. Harapannya mungkin tahun depan bisa 30% dan seterusnya,” ujar Ali. Ali juga belum dapat menjawab tentang langkah untuk membuktikan klaim etis dari suatu produk. Ia hanya menekankan pada kejujuran produsen dan sikap kritis dari konsumen. Meski nantinya IEF belum benar-benar merepresentasikan fesyen yang etis, Ali tetap yakin acara tersebut dapat berdampak besar bagi industri fesyen Tanah Air. IEF dapat menjadi platform bagi desainer dalam negeri untuk menunjukkan diri kepada dunia. Founder situs fesyen The Actual Style, Sadikin Gani, berpendapat Indonesia perlu menerapkan ethical fesyen agar tidak tertinggal dari industri dunia. Memang sekarang ini semakin banyak pecinta fesyen dunia yang beralih memilih produk yang etis. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya