Headline
Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.
LAYAR hitam itu terbentang dengan kukuh, tegak, dan menantang pandang. Lebarnya cukup untuk membuat bola mata tak beralih, cukup nyaman pula untuk menatapnya seolah nostalgia menonton layar tancap film zaman dulu. Bedanya, tidak ada penjual kacang dan minuman keliling. Saat itu layar terbentang berada dalam ruangan, bukan di lapangan. Layar besar itu tidak sendiri. Layaknya seorang putri yang penuh dengan keindahan dan daya tarik, layar itu punya beberapa dayang yang mengapit di kedua sisi. Terbagi rata, tiga layar berukuran lebih kecil di sebelah kanan. Begitu pun sebelah kiri, sama. Layar tersebut menjadi penanda Expanded Cinema yang masuk rangkaian program The Sardono Retrospektif di Singapore International Festival of Arts (SIFA) 2016. Festival seni ini berlangsung pada 11 Agustus hingga 17 September 2016. Tiga persembahan karya dihadirkan di Malay Heritage Centre Singapura. Pertama, Expanded Cinema yang ditampilkan selama 13-28 Agustus 2016. Kedua, Live Painting pada 20-21 Agustus. Ketiga, Black Sun Creation pada 26-27 Agustus.
Expanded Cinema adalah kumpulan arsip rekaman, ditembak dengan kamera 8 mm, dan film eksperimental sejak 1970 oleh Sardono W Kusumo. Rangkaian gambar bergerak itu tidak pernah dipamerkan sebelumnya. Banyak yang akan digambarkan dalam tujuh layar itu, di antaranya, konteks latar belakang tari Kecak (tari monyet) saat itu, Borobudur sebelum dipugar, budaya dan kesenian dari daerah terpencil di Indonesia. Rangkaian film itu diputar secara serentak dalam enam layar kecil, masing-masing tiga layar di sisi kanan dan kiri galeri. Sardono menambahkan satu film lagi yang memang sejak awal diniatkan sebagai sebuah karya film, yang diproduksi pada 2015, dan diberi judul Raden Saleh after 200 Years. Film ini diputar di layar besar utama. Sardono teringat Raden Saleh yang pernah tinggal di Eropa pada 1845. Dalam film itu, Sardono mengenakan pakaian replika, berjalan di jalanan Kota Paris saat larut malam sembari merenungkan suasana kota.
Beberapa gambar bergerak itu juga menampakkan Sardono yang sedang menari di Candi Borobudur pada 1968. Kala itu, ia menari untuk merespons bentuk stupa yang penuh dengan lumut tebal dan licin. Itu seolah menjadi dokumen sejarah sebab saat itu warisan terbesar bangsa Indonesia itu belum dipugar. Tahun sesudahnya, 1971, Sardono merespons luar ruang dengan menari bersama Grup Kecak dari Peliatan, Ubud Bali. Respons ruang dan pelibatan khalayak dalam pertunjukan rupanya bukan hal baru sebab Sardono sudah melakukan itu puluhan tahun lalu. Begitu pun penggabungan berbagai seni dalam teater, Sardono juga sudah melampaui itu.
Memperkaya ciptaan
Berikutnya, 1973, Sardono ada dalam bingkai film bertajuk Theatrical Improvisation Under The Eiffel Tower di Paris, Prancis. Pada tahun yang sama, melalui Festival de Nancy, Sardono telah menekankan pencarian bentuk baru untuk memperkaya penciptaan. Pencarian itu sekaligus untuk menemukan keorisinalitasan, konsep baru, dan bahkan proyek seni kontroversial. Lalu ada dokumen latihan Samgita (1969). Potongan adegan latihan kala Sardono di Taman Ismail Marzuki pada 1969. Tari ini adalah interpretasi dari drama tari Ramayana dengan gaya pribadi dan tanpa kosakata tari tradisional. Sardono mengandalkan kekuatan ekspresi dan kebebasan tubuh. Samgita dianggap sebagai tari kontemporer pertama di Taman Ismail Marzuki.
Maestro koreografer Sardono telah mendedikasikan hidup untuk mengeksplorasi antarbudaya sejak awal karier. Film-filmnya telah menjadi arsip penting karena konten yang menggambarkan kehidupan orang-orang di seluruh daerah-daerah terpencil di Indonesia pada 1970-an, sebelum penyebaran teknologi digital. Sardono sendiri pun merasa heran bagaimana dulu dirinya terpikir untuk membawa kamera ke mana pun dan merekam aktivitasnya. Pada usia 20-an, kala itu, Sardono hanya bermaksud untuk hanya tertarik merekam segala sesuatu yang berkaitan dengan seni sejak punya kamera dari hasil menari di Amerika. Sardono merupakan salah seorang penari yang dikirim Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno. Bung Karno kala itu sangat tidak mau jika Indonesia kalah dengan negara lain, termasuk di bidang kesenian biarpun Indonesia masih tergolong baru merdeka pada saat itu.
Keisengan Sardono tidak percuma. Selama 40 tahun ia menyimpan rekaman dokumentasi aktivitas itu, kini itu berbuah dan menjadi sebuah karya yang berharga. Direktur SIFA Ong Keng Seng ialah orang yang pertama kali menyadari bahwa apa yang telah dilakukan Sardono di masa mudanya itu merupakan sesuatu yang penting dan berharga untuk menjadi bahan pembelajaran bagi generasi masa kini. The Retrospektif Sardono di SIFA 2016 didukung Mandiri Art, sebuah unit Bank Mandiri yang berdedikasi pada upaya untuk memajukan dunia seni di Tanah Air, sekaligus mendorong karya seni dan seniman Indonesia agar lebih dikenal di ranah internasional. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved