Headline

KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.

Dramatis dan Minimalis dengan Kain Adati

Bintang Krisanti
28/8/2016 05:00
Dramatis dan Minimalis dengan Kain Adati
(MI/ARYA MANGGALA)

SEKILAS kain bermotif yang digunakankan Jenahara dalam koleksi terbarunya mirip dengan kain ikat celup asal Palembang. Namun, tampilannya lebih minimalis dengan hanya paduan dua warna, pink lembut dan putih.

Kain itu diolah menjadi celana ataupun blazer yang dipadankan dengan kemeja ataupun gamis yang semuanya berwarna putih. Garis busananya minimalis dan modern.

Meski tampilannya simpel, kisah di balik kain itu tidak demikian. Jenahara mengatakan kain tersebut menggunakan teknik kain tenun ikat khas Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kain tersebut bukan ia beli jadi melainkan didesain khusus olehnya. Untuk mewujudkan kain itu Jenahara kemudian menggandeng perajin di Jepara, Jawa Tengah. "Proses pembuatan kain yang lama bisa dibilang satu-satunya kendala yang aku hadapi sih selama membuat koleksi ini. Untuk kain tenunnya saja butuh dua bulan. Secara keseluruhan, koleksinya selesai dalam tiga bulan," kata Jenahara.

Karakter adati kemudian juga ia sematkan dalam tema koleksi itu, yakni Flo Bamora yang berarti keberagaman. Lewat tampilan yang clean Jenahara seolah juga menunjukkan bahwa kain adati dapat tampil simpel.

Koleksi Jenahara tersebut menjadi bagian peragaan busana Cita Nusa Kirana yang merupakan bagian dari acara Fimela Fest 2016 di Gandaria City, Jakarta, Jumat (19/8). Selain Jenahara, ada pula Nina Nikicio, Stella Risa, Rinda Salmun, Gloria Agatha, Miranda Mazuki, Restu Anggraini, Monique Soeriaatmadja, Jenahara, Dea Valencia, dan Mel Ahyar yang ikut tampil.

Mel Ahyar kembali menunjukkan karyanya yang memesona. Kali ini karya itu adalah busana-busana romantis edgy yang penuh detail. Dengan palet merah gelap, Mel memadukan kain-kain tenun Palembang dengan berbagai elemen yang detail seperti payet emas.
Salah satu set busana dalam koleksi bertajuk Lungsin ini adalah paduan tunik selutut dengan kain sebagai bawahannya. Tunik itu tampil begitu unik dengan kain tenun merah gelap yang memiliki detail bordir kontras di bagian dada dan ada pula penggunaan benang emas. Pada bagian itu pula disematkan bola-bola mirip mutiara hingga tampilannya makin mewah.

Kesan tribal makin kuat dengan rumbai-rumbai di ujung busana.

Pertama kali

Nina Nikicio dan Rinda Salmun mengaku baru pertama kali menggunakan kain tradisional dalam desain mereka. Nina memilih kain lurik Jogja sebagai paduan koleksinya, sedangkan Rinda memilih menggunakan kain songket Palembang dan kain tenun Garut. Kain-kain tradisional tersebut mereka anggap sebagai kain yang paling sesuai dengan karakter dan konsep desain busana mereka selama ini.

"Aku suka desain yang punya cerita di baliknya. Aku pilih kain lurik Jogja karena kain ini punya sejarah yang menarik. Biasanya kain-kain tradisional itu dipakai sesuai strata sosial orangnya. Ternyata pada zamannya, kain ini hanya dipakai oleh orang-orang miskin," kata Nina saat diwawancarai seusai pergelaran busana.

Ia menampilkan koleksi busana dengan siluet loose, motif garis-garis lurik, dengan warna monokromatik yang sesuai dengan ciri khas desain brandnya, Nikicio. Nina juga bercerita bahwa sampai saat ini kain lurik hanya diproduksi dalam ukuran yang kecil sehingga untuk menjadikannya busana utuh dibutuhkan kain dalam jumlah yang banyak. Rencananya, koleksi kain lurik ini akan diluncurkan Nikicio pada bulan November mendatang.

Berbeda halnya dengan Rinda Salmun. Desainer yang berlatar belakang seni murni ini mengaku terinspirasi oleh karya pelukis Imi Knoebel asal Jerman dalam mendesain koleksinya. Ia tertantang untuk mengaplikasikan ciri khas lukisan Knoebel, yaitu komposisi garis, ruang, dan warna ke dalam busana perempuan yang dikombinasi dengan kain songket Palembang dan kain tenun Garut. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya