Minggu 19 Februari 2023, 05:20 WIB

Bayangan Buram Digitalisasi pada Seni Tradisi

Luqman Hakim | Weekend
Bayangan Buram Digitalisasi pada Seni Tradisi

Dok. Luqman Hakim
Imam dan wayangnya di acara ruwatan desa

 

DENGAN ketelitian sempurna, lelaki berambut sebahu itu menatah mengikuti pola yang ada. Sesekali, di sela jeda, ia dipaksa menyeka peluh yang mulai menembus dahinya. Bajunya basah oleh terik sang surya yang cukup menyengat siang itu. Namun, hal tersebut tidak mengusik konsentrasi Imam Nurudin, demikian nama pria yang berprofesi sebagai pembuat wayang sekaligus dalang muda dari Desa Mergayu, Kecamatan Bandung, Kabupaten Tulungagung, tersebut. Konsentrasinya seakan tersedot pada tokoh wayang yang sedang digarapnya: Semar.

Lelaki berusia 36 tahun tersebut memang telah menggandrungi wayang sejak bangku sekolah dasar. Meskipun darah dalang tidak mengalir dari keluarganya, naluri seninya tumbuh kala ia rutin menikmati pertunjukan wayang di desanya. Ketertarikan tersebut mendorongnya menciptakan wayang pertamanya dari bahan kardus bekas yang ia bentuk menggunakan paku yang dipipihkan.

Kecintaan terhadap wayang terus dirawat dan dipupuk Imam. Saat menginjak bangku SMA, ia mulai belajar menatah secara serius. Sanggar Mbah Bari di Desa Sidomulyo, Kecamatan Gondang, Tulungagung, merupakan 'sekolah' tatah wayang pertamanya. Dengan berbekal kecintaan itu pula, saban seminggu sekali, Imam rela mengayuh sepedanya sejauh 30 kilometer untuk belajar ke sanggar tersebut.

 

Dari guru ke guru

Selain Mbah Bari, Imam menyerap banyak ilmu dunia pewayangan dari segudang seniman lokal. Ia rajin ngangsu kawruh, belajar secara informal, kepada dalang dan seniman wayang yang ada di sekitaran Tulungagung. Guru pertamanya ialah Mbah Surip, dalang kondang dari Kecamatan Bandung. Imam yang masih bocah kala itu gemar mengikuti pentas wayang Mbah Surip. Ia juga membantu keperluan Mbah dari belakang panggung.

Dari situlah bibit kecintaan pada wayang mulai tumbuh. Perjalanannya dalam mempelajari wayang juga membawanya bertemu beberapa tokoh seniman lain, seperti Sudarsono, Slamet, Kailan, Mbah Gareng, dan Sunaryo. Sosok-sosok tersebut ialah guru yang terus hidup dalam memorinya.

Imam termasuk sosok seniman yang komplet. Ia sanggup membuat wayang, mendalang, dan bahkan meruwat. Tiga keahlian tersebut ia kuasai di usia yang relatif muda. Pada beberapa kesempatan, lelaki yang senang dipanggil Pak Petruk itu juga membuat dan mewarnai wayangnya dengan serbuk emas murni. Biasanya, wayang-wayang tersebut ialah wayang pesanan atau wayang untuk koleksi pribadinya. Saat ini, Imam punya sekitar 150 wayang yang ia simpan di dalam peti besarnya untuk keperluan mendalang atau meruwat.

 

Pandemi dan digitalisasi

Akan tetapi, sebagaimana yang ditulis James R Brandon dalam Theater in Southeast Asia (1967), wayang yang merupakan bagian integral dari budaya masyarakat cukup terguncang saat pandemi terjadi. Larangan berkumpul membuat pentas seni tradisi, termasuk wayang kulit, menjadi mati suri. Geliat kebudayaan semakin lesu. Kondisi itu ialah pil pahit yang harus ditelan para seniman tradisi yang hidup dari honor berkesenian.

Larangan tampil dan berkumpul itu juga seolah mencerabut kesenian tradisi dari ekosistem kebudayaannya. Semenjak pandemi, semua pihak menyerukan urgensi digitalisasi. Semua kegiatan ekonomi dan aspek kehidupan lainnya berbondong-bondong ‘pindah rumah’ menuju ruang digital yang dianggap lebih menjanjikan ke depannya.

Namun, memitigasi seni tradisi ke ranah digital bukanlah perkara sederhana. Dibanjirinya ruang digital dengan konten dan kebudayaan asing, perlahan tetapi pasti, telah mengubah pola pikir masyarakat. Kebudayaan lokal seolah tenggelam dalam riuh budaya asing. Milenial dan generasi Z sebagai konsumen utama media sosial semakin berjarak dengan seni tradisi lokal.

Hal tersebut bukan tanpa dasar. Menurut data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan We are Social, pada 2021 konsumen internet di Indonesia telah mencapai 200 juta orang dengan durasi penggunaan selama 8 jam 36 menit, setiap harinya. Dari angka tersebut, sedikit sekali dari mereka yang mengakses konten tentang seni tradisi.

Dalam riset kecil-kecilan yang penulis lakukan pada delapan kelas yang diisi mahasiswa semester satu Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta, ditemukan bahwa hampir tidak ada satu pun mahasiswa yang pernah mengakses konten tentang seni tradisi.

Bisa jadi hal itu disebabkan beberapa faktor, misalnya kuantitas konten seni tradisi yang memang sedikit, atau yang lebih berbahaya, seni tradisi dianggap tidak lagi menarik dan relevan dengan anak-anak muda. Hal itu tentu cukup mengkhawatirkan mengingat algoritma yang dibangun media sosial menjejalkan hal yang homogen saja kepada penggunanya (echochamber).

Lebih jauh, Aris Setiawan (2021), dosen di Jurusan Etnomusikologi dan Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, dalam makalahnya yang disampaikan di ISI Denpasar turut menjabarkan bahwa dunia digital saat ini bukanlah habitat yang ramah untuk seni tradisi.

Algoritma dalam berbagai platform dunia virtual, seperti Youtube, Tiktok, dan Instagram mensyaratkan visual yang mewah, bising, heboh, dan bahkan sering kali banal untuk mendulang like dan view yang besar. View dan like hingga saat ini merupakan parameter utama keberhasilan sebuah konten.

Karena itu, tidak jarang, demi mengejar viral, para kreator konten menciptakan karya-karya yang mendegradasi moral. Sementara itu, di sisi lain, pertunjukan seni tradisi seakan berada di kutub yang berbeda. Pertunjukan wayang, misalnya, selain berfungsi sebagai tontonan, melalui cerita, karakter, dan dialog yang dimainkan berguna sebagai tuntunan.

Oleh karena itu, alih-alih ingar bingar, pertunjukan wayang menawarkan keintiman dan suasana kontemplatif yang dinikmati tidak hanya lewat penglihatan, tetapi juga pendengaran, bahkan perenungan. Terlebih, beberapa seni tradisi seperti ruwatan memang dilakukan untuk keperluan religius yang tentu tidak bisa dipindahkan ke ruang digital. Karena itu, untuk bisa masuk dan berkompetisi di ruang digital, seni tradisi mau tidak mau harus mereduksi diri dan memereteli beberapa aspek di dalamnya. Pada gilirannya, hal tersebut menjadikan ruang digital sebagai area gersang yang sulit untuk menumbuhkembangkan seni tradisi.

Kondisi di atas membuat seni tradisi seolah terasing di rumah sendiri. Baik dunia nyata maupun virtual seakan memunggungi seni dan seniman tradisi. Panggung yang semakin sepi dan dunia virtual yang tidak bersahabat membuat seniman tradisi, seperti Imam, semakin terengah-engah. Imam berujar bahwa penanggap wayang semakin hari semakin minim. Hajatan-hajatan di perdesaan yang dulu biasa menyewa jasa dalang untuk hiburan kini beralih ke hiburan lain.

Sepinya pentas berarti berkurangnya pemasukan dan berkurangnya pemasukan berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan. Imam bahkan berkelakar getir untuk merespons kondisi ini. Di tengah perbincangan santai kami, ia berceletuk, “Jadi, entah nanti dalang itu makan apa. Apa iya, harus menggoreng lulang (kulit) wayang?” ujarnya sembari terkekeh. Guyonan getir itu merupakan refleksi dari realitas yang tengah mengimpit seniman tradisi secara luas.

 

Perlu tindakan

Kondisi tersebut tentu saja tidak boleh didiamkan. Semua pihak harus mulai serius memikirkan jalan keluar untuk situasi itu. Memang pemerintah telah mengeluarkan UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sebagai salah satu pedoman dalam menanggulangi kondisi di atas. Namun, implementasi produk hukum itu tampaknya masih jauh panggang dari api.

Di wilayah rural hingga urban, problematika tentang kebudayaan seolah masih belum menjadi prioritas. Kebudayaan masih dirayakan sebagai festival yang tentu saja bersifat temporer dan dangkal. Pendekatan dan strategi yang kurang tepat itu masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.

Pada akhirnya harus diakui bahwa apabila wayang, yang oleh UNESCO telah disebut sebagai 'masterpiece of the oral and intangible heritage of humanity' dalam piagam penghargaan mereka saja masih terlilit bermacam persoalan seperti tadi, bisa jadi objek kebudayaan lain yang jauh dari sorotan berbagai instansi sedang babak belur atau bahkan telah menjadi sebatas memori. (M-3)

 

Tentang penulis

Luqman Hakim anggota Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) yang saat ini bekerja sebagai dosen di FISIP UPN Veteran Jakarta.

Baca Juga

AFP/Roslan

Rekomendasi Destinasi Liburan Luar Negeri sambil Puasa

👤mediaindonesia.com 🕔Sabtu 25 Maret 2023, 15:09 WIB
Tiket.com merekomendasikan beberapa destinasi liburan di dua negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura yang bisa dikunjungi dengan...
MI/Devi

Diklaim Berbujet Termahal, Buya Hamka Rilis Tiga Trailer

👤Devi Harahap 🕔Sabtu 25 Maret 2023, 05:53 WIB
Film biopik ini akan tayang di jaringan bioskop mulai 20 April...
IG @kadekarini

Kadek Arini Bagikan Tip Mudik Nyaman dengan Anak

👤Devi Harahap 🕔Jumat 24 Maret 2023, 15:05 WIB
4 tip mudik yakni sesuaikan waktu dengan jam tidur anak, siapkan mainan dan makanan, pilih tempat duduk sesuai dan lokasi hotel yang...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya