Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Mengenang Kepergian sang Seniman

Abdillah M Marzuqi
05/6/2016 07:41
Mengenang Kepergian sang Seniman
(MI/ABDILLAH M MARZUQI)

Pelukis Chandra Johan dalam perjalanan keseniannya menyadari bahwa alam dan kebudayaan terus mengirimkan sinyal-sinyalnya.

SUDAH menjadi kebenaran umum bahwa manusia tidak hanya terdiri atas jasad. Sudah pula disepakati ada unsur immaterial yang berturut. Cukup mudah pula dipahami bahwa jasmani dan rohani selalu ada dalam setiap manusia hidup. Raga dan jiwa. Material dan immaterial. Riil dan abstrak. Keduanya bisa disatukan dalam satu bingkai kanvas. Itulah Chandra Johan (1956-2015).

Setahun semenjak kepergiaannya, sebuah pameran digelar di Galeri Cemara Jakarta pada 1-21 Juni 2016. Tak kurang dari 35 lukisan karya Chandra Johan dipamerkan dalam helatan ini. Tujuannya jelas, mengenang kepergian sang seniman. Kurator pameran Eddy Soetriyono menyebut bahwa memang Chandra belajar secara formal di Seni Rupa ITB (Institut Teknologi Bandung). Namun, yang menjadi menarik, Chandra Johan sebagai pelukis tidak berhenti pada yang diajarkan para dosen di kampus teknologi itu (formalisme) sebagai kebenaran mutlak.

Justru dalam perjalanan keseniannya, Chandra menyadari bahwa alam dan kebudayaan terus mengirimkan sinyal-sinyalnya. "Bukan sekadar untuk mata biologis, melainkan juga untuk mata batin. Juga, bukan sekadar untuk yang rasional, melainkan juga untuk yang irasional," terang Edy dalam kuratorialnya. Karena itu, Chandra tidak hanya menangkap Borobudur sebagai sumber inspirasi yang hanya kasatmata. Chandra lebih jauh juga menangkap sinyal yang bukan melulu bentuk Candi Borobudur. Chandra tidak hanya melihat dengan mata biologis bentuk stupa. Akan tetapi, Chandra memahami bahwa stupa atau chedi merupakan abstraksi dari daun pohon bodi, lambang tempat Buddha mendapatkan pencerahan.

"Maka, dalam karya-karyanya, Chandra mendeformasi stupa-stupa itu agar kembali pada pesan dasarnya bahwa pada hakikatnya stupa itu merupakan simbol ketidakberwujudan," lanjut Edy. Gambaran itu bisa didapat dari beberapa karya Chandra, seperti Borobudur I (1997), Borobudur VI (1999), Alam Stupa I (2000), Alam Stupa 04 (2000), Khazanah Stupa (2001), Dua Stupa (2001), Untitled (2001), Merah Biru Stupa (2001), Borobudur II (2002), dan Wong Arupadatu Suwung (2002).

Dalam semua karya itu, masih didapati ragam tanda yang menunjuk bentuk stupa. Namun, di sela dan di sekeliling bentuk stupa, masih didapati pula guratan yang menunjuk bentuk yang sulit disebut bagian candi maupun stupa. Sebab kadang hanya berupa tutupan hasil bentukan warna yang saling berkotak dan saling menutup. Kadang pula berupa angka. Demikian pula sosok manusia dalam lukisan Chandra. Bentuk badani sosok manusia tidak lagi mengemuka meski masih bisa dipahami bahwa itu manusia.

Begitu pun wajah sesosok manusia yang digambarkan secara nyata, kemudian mukanya ditutup atau dihapus dengan corat-coret dan sapuan abstrak. Seperti dalam karya Homo Theatre Series (2001), Dance (2008), Potret Penyair I (2001), Lanskap Tubuh (2010), dan Absurdity (2010). Karena itu, wajah manusia ataupun stupa-stupanya bukanlah sesuatu yang realistis lagi, melainkan tinggal abstraksi-abstraksinya.

"Chandra menciptakan berbagai ketegangan dengan menyatukan antara yang nyata dan yang abstraksi, antara lukisan dan penghapusan," tegas Edy. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya