Sabtu 19 Februari 2022, 07:10 WIB

Madiun Raya dari Kacamata sang Residen

Putri Rosmalia | Weekend
Madiun Raya dari Kacamata sang Residen

Dok. PT Gramedia
Cover buku Antara Lawu dan Wilis

 

Kota Madiun di Jawa Timur memiliki daya tarik tersendiri bagi para pemerhati sejarah, akademisi, juga masyarakat umum. Kota tempat salah satu 'kaki' Gunung Wilis bersemayam tersebut memiliki kisah panjang yang menjadi bagian penting dari sejarah Indonesia.

Tak hanya bagi kalangan peneliti dan masyarakat di Tanah Air, sejarah Madiun juga meninggalkan kesan bagi petinggi Hindia Belanda yang kala itu menguasai wilayah. Setidaknya hal itu dibuktikan lewat buku berjudul Antara Lawu dan Wilis.

Antara Lawu dan Wilis merupakan buku yang memuat tulisan-tulisan Lucien Adam. Adam merupakan pejabat Hindia Belanda yang antara lain bertugas memimpin Madiun Raya sebagai residen pada tahun 1934 hingga 1938.

Adam menulis beberapa artikel tentang Madiun Raya setelah selesai menjalani tugasnya sebagai residen. Artikel-artikel karya pria yang juga sempat menjadi Gubernur Yogyakarta tersebut kemudian diterjemahkan dan disusun oleh peneliti sejarah Christopher Reinhart dan beberapa ahli sejarah lain seperti Peter Carey dan pemerhati budaya Nunus Supardi.

Artikel-artikel tersebut mengandung informasi penting sejarah Madiun Raya sejak abad ke-10 hingga ke-19. Madiun Raya mencakup wilayah yang kini telah menjadi berbagai kota dan kabupaten, yaitu Madiun, Caruban, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, dan Magetan.

Buku ini memuat lima bab utama yang berisi berbagai hal tentang Madiun Raya. Tak hanya di era kepemimpinan Adam, juga tentang kota tersebut sejak masa klasik atau masa Hindu-Buddha hingga kisahnya di awal abad ke-19.

Sebagai pembuka, dihadirkan sebuah prolog yang ditulis oleh sejarawan Peter Carey. Dengan apik dan sangat lengkap Carey menuangkan temuan dan pemikirannya tentang Lucien Adam sebagai seorang pejabat Hindia Belanda yang berkomitmen penuh pada tanah kelahirannya, Jawa.

Carey menjelaskan, secara total Adam memiliki tujuh artikel tentang Madiun Raya. Buku ini memuat lima dari tujuh artikel karya Adam tersebut. Seluruh artikel merupakan buah pemikiran dan kerja riset mendalam Adam tentang Madiun Raya.

'Pencapaian Lucien Adam dalam tujuh artikelnya tentang Madiun (yang lima di antaranya diterbitkan dalam buku ini) merupakan buah dari penelusuran susah payah untuk merekonstruksi sejarah Madiun dan legenda-legenda lokal yang bersumber dari wawancara kepada elite-elite tadi ditambah dengan informan-informan di desa' (halaman 5).

Pada bab pertama, dihadirkan artikel paling pertama Adam tentang Madiun Raya. Terdapat tiga pembahasan utama dalam bab ini, yakni tentang lanskap keramat Gunung Lawu dan Wilis, kisah tentang orang-orang Kalang, dan temuan-temuan era Hindia Belanda dari wilayah tersebut.

Adam membahas temuan yang ia anggap tak biasa di sekitar lereng hingga puncak pegunungan di Madiun. Ia juga membicarakan mengenai legenda orang-orang Kalang, yakni orang yang dipercaya dapat mengolah batuan dan kayu menjadi karya artisan tanpa tertiban sial. Ia juga membahas beberapa temuan arkeologis di Madiun Raya di masa Hindu-Buddha.

'Teka-teki orang Kalang belum sepenuhnya terpecahkan. Mereka membentuk suku yang terpisah dari orang-orang dan tinggal di hutan, membedakan diri dengan adat istiadat dan karakteristik fisik orang Jawa lainnya. Kebanyakan adalah para penebang atau pengrajin kayu' (halaman 53).

Dalam setiap pembahasan, Adam juga selalu menyertakan sumber referensinya. Dengan begitu, setiap temuan yang ia tuliskan dapat kembali didalami oleh pembaca dengan menggunakan rujukan yang ia hadirkan.

Pada bab kedua, dihadirkan artikel Adam yang membahas kehidupan Madiun Raya pada permulaan periode Islam di tahun 1518 hingga 1755. Dengan detail, Adam membahas mengenai temuan dan sejarah perjalanan wilayah-wilayah yang kala itu masih menjadi bagian dari Madiun Raya di periode Islam. Mulai dari Caruban, Jogorogo, Pacitan, hingga Magetan.

Berbekal sumber data, informasi, dan referensi dari studi pustaka serta penelusuran secara langsung di setiap wilayah, Adam mencoba merunutkan perjalanan pemerintahan, kepemimpinan, hingga kependudukan di wilayah-wilayah tersebut pada periode Islam.

Bab ketiga buku ini menceritakan sejarah Madiun Raya di tengah keguncangan Mataram periode tahun 1674 hingga 1755. Beberapa peristiwa penting yang terjadi selama masa rentan Mataram tersebut dihadirkan di bab ini. Dari soal pemberontakan Trunojoyo, pemberontakan Suropati, pengungsian Pakubuwono II ke Madiun, hingga peristiwa pemberontakan Mangkubumi dan Raden Mas Said.

Adam merunutkan peristiwa demi peristiwa dan pergerakan yang terjadi sebelum hingga pemberontakan-pemberontakan terjadi. Seluruhnya dikisahkan dengan gaya bercerita yang rinci.

Narasi Adam tentang peristiwa-peristiwa tersebut akan membuat pembaca seakan sedang menyimak sebuah kisah sejarah atau cerita perang yang menegangkan. Daya tarik bukan dari sisi peristiwa ketika pemberontakan terjadi saja, tapi dari setiap detail proses menuju dan pascapemberontakan yang dihadirkan dengan lengkap.

Di bab keempat dibahas tentang situasi Madiun Raya pada masa antara Perjanjian Giyanti atau yang dikenal sebagai Palihan di tahun 1755. Peristiwa yang mengakhiri pemberontakan Mangkubumi dengan mengakuinya sebagai penguasa baru Yogyakarta. Selain itu, tentang pecahnya Perang Jawa di tahun 1825.

Selanjutnya di bab kelima dibahas mengenai Madiun di tengah terjadinya Perang Jawa pada tahun 1825--1830. Dalam bab ini diceritakan berbagai kemelut yang terjadi di wilayah-wilayah Madiun Raya dan sekitarnya ketika Perang Jawa berkecamuk. Tak hanya dari sisi konflik perang dan penduduknya, tapi juga dari sisi pemerintahan. Adam menggambarkan masalah politik yang terjadi antarbupati di masa Perang Jawa. Perihal pembagian kekuasaan yang membuat situasi jadi lebih rumit.

'Bila kita perhatikan, jumlah bupati yang menjabat pada masa Perang Jawa telah meningkat pesat dibandingkan pada 1755. Peningkatan ini disebabkan oleh bertambahnya anggota kerabat kerajaan. Kerabat kerajaan harus diberi kedudukan (sebagai pengurus daerah) agar mereka dapat hidup secara mandiri' (halaman 280).

Untuk memperkaya referensi pembaca, pada buku ini juga dihadirkan bagian lampiran yang tak sedikit. Lampiran terdiri atas beberapa artikel terkait yang berperan sebagai acuan Adam maupun tim editor dalam menyusun buku.

Dihadirkan pula bagian khusus yang membahas mengenai profil Lucien Adam. Melalui bagian tersebut pembaca akan diajak lebih dalam mengenal sosok sang Residen Madiun yang sangat aktif menelurkan karya-karya berupa artikel, buku, hingga esai-esai ilmiah ini.

Karya-karya Adam tentang Hindia Belanda memiliki kontribusi besar bagi studi tentang sejarah Jawa. Karyanya juga tak sebatas tentang Madiun Raya. Ada pula yang membahas keraton Jawa tengah-selatan, khususnya Yogyakarta.

Buku ditutup dengan sebuah epilog karya Nunus Supardi. Ia mengungkapkan bahwa setiap narasi yang dihadirkan Adam berperan penting dalam membuka jendela baru penelitian sejarah Madiun Raya.

'Sekalipun tidak dapat disebut sebagai sebuah karya sejarah yang bersifat kritis--seperti apa yang kita harap dapat kita baca--tulisan Adam setidaknya menyajikan beberapa arti penting dan temuan segar yang mungkin belum tersedia bagi para pembaca berbahasa Indonesia' (halaman 367).

Di sisi lain, karena membahas Madiun Raya secara spesifik, dalam buku ini banyak ditemukan diksi bernuansa kebudayaan Jawa yang mungkin sulit dipahami. Istilah-istilah itu dapat dicari maknanya pada bagian istilah di awal buku.

Buku ini juga dilengkapi dengan catatan kaki baru berisi informasi dan penelitian mutakhir dalam kurun waktu lebih dari 80 tahun sejak penerbitan artikel asli. Beberapa gambar dan sketsa karya Lucien Adam juga dihadirkan untuk menambah referensi visual pembaca.

Antara Lawu dan Wilis merupakan buku nonfiksi sejarah yang tak rumit, tetapi juga tak terlalu sederhana. Pembahasan mengenai berbagai temuan, fakta, hingga peristiwa sejarah dengan gaya pembawaan khas penulis asing membuat pembaca perlu berkonsentrasi lebih ekstra agar tak melewatkan setiap detail yang dihadirkan. Hal itu tak mengherankan karena artikel asli ditulis Adam menggunakan bahasa Belanda yang memiliki gaya bahasa sangat berbeda dengan bahasa Indonesia.

Meski begitu, kerja keras Lucien Adam untuk lebih memahami tata masyarakat Madiun Raya telah menjadi pintu gerbang bagi generasi baru untuk menggali sejarah lebih dalam tentang kota tersebut. (M-2)

 

Biobuku:

Judul : Antara Lawu dan Wilis

Editor : Christopher Reinhart

Perancang produksi : Candra Gautama

Penerbit : PT Gramedia

ISBN : 978-602-481-645-2

Baca Juga

ASHRAF SHAZLY / AFP

Helo-Murr, Minuman Khas Masyarakat Sudan di Bulan Ramadan

👤Adiyanto 🕔Senin 27 Maret 2023, 16:35 WIB
Minuman Ini dapat ditemukan di hampir setiap meja di seluruh negara Afrika timur laut tiap menjelang buka...
CHANDAN KHANNA / AFP

Setelah Dihantam Tornado, Mississippi Bersiap Hadapi Cuaca yang lebih Ekstrem

👤Adiyanto 🕔Senin 27 Maret 2023, 13:48 WIB
Pada Jumat lalu, NWS juga telah memberi peringatan tentang tornado yang telah meninggalkan jejak malapetaka sepanjang lebih dari 100 mil...
Dok. Netflix

Deretan Anime Terbaru 2023 di Netflix

👤Fathurrozak 🕔Senin 27 Maret 2023, 13:20 WIB
Di antaranya adalah Ōoku:The Inner Chambers, Yakitori: Soldiers of Misfortune,...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya