Sabtu 05 Februari 2022, 07:35 WIB

Perang Idealisme para Bomber Mafi a

Pro/M-2 | Weekend
Perang Idealisme para Bomber Mafi a

Dok. PT Gramedia Pustaka Utama
Cover buku Bomber Mafia

 

MALCOLM Gladwell sekali lagi mengajak pembacanya berpikir ulang tentang setiap kejadian yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia modern. Berbeda dengan buku-buku sebelumnya yang banyak menyoroti isu sosial dan hal-hal terkait dengan perilaku manusia, kali ini jurnalis asal Kanada tersebut menyuguhkan kisah di balik layar Perang Dunia II lewat buku Bomber Mafia.

Secara singkat, buku ini membahas hal-hal yang terjadi di balik serangan bom Amerika Serikat di Tokyo pada Maret 1945, salah satu kejadian dalam Perang Dunia II yang bahkan tak begitu dianggap sebagai peristiwa penting oleh banyak pihak, bahkan oleh pihak Jepang.

Meski berlatar belakang Perang Dunia II, buku ini tak fokus membahas mengenai peperangan yang terjadi di masa itu. Buku ini lebih mengetengahkan sosok-sosok, pertimbangan-pertimbangan, hingga keputusan-keputusan penting yang dilakukan di tubuh militer AS ketika ingin menyerang Jepang.

Dalam Bomber Mafia, Gladwell menyatukan kisah-kisah seorang genius Belanda dan komputer buatannya, sekelompok tentara asal Air Corps Tactical School di Alabama, ahli kimia asal Harvard, hingga tokoh-tokoh petinggi militer AS yang namanya hampir selalu muncul dalam pembahasan Perang dunia II di berbagai literatur sejarah.

Tokoh-tokoh tersebut masing-masing memiliki peran dalam terjadinya peristiwa pengeboman oleh AS pada Jepang pada 1945. Menariknya, cerita utama yang diangkat Gladwell tak hanya berfokus pada rentetan kejadian, tetapi juga lebih dalam membahas sisi personal setiap tokoh penting tersebut.

Frasa Bomber Mafia diambil dari sebutan yang disematkan untuk sekelompok tentara Angkatan Udara AS yang bekerja di Air Corps Tactical School. Sekelompok tentara muda yang memiliki idealisme tinggi tersebut berupaya menyusun strategi perang yang mereka anggap lebih manusiawi.

Memanfaatkan setiap sumber daya yang ada, Bomber Mafia berupaya membuat setiap serangan tidak akan membuat kerugianan korban jiwa berlebihan, khususnya dari kalangan warga sipil.

Idealisme mereka kemudian harus berperang dengan berbagai hal yang kompleks. Mulai unsur politis, tingkat kesulitan, teknologi, hingga idealisme lain yang dijunjung tinggi oleh para petinggi militer AS kala itu.

Bagian pertama buku membahas seorang genius asal Belanda, Carl Norden. Sosok penting dalam sejarah perjalanan Perang dunia II dan perang-perang setelahnya. Sosok yang begitu penting, tetapi tak banyak dikenal apalagi dibahas para sejarawan.

Temuan Norden merupakan salah satu hal sentral yang menjadi inti pembahasan sepanjang buku ini. Dalam kesendiriannya di kampung halaman, Norden menciptakan pembidik bom atau bombsight. Pembidik bom sudah tak lagi digunakan di era radar dan GPS saat ini. Namun, pada perang yang terjadi di awal-awal abad ke-20, pembidik bom memiliki peran yang sangat penting.

Pembidik bom pada dasarnya ialah komputer analog, suatu alat kompak bermesin yang terdiri atas cermin-cermin, teleskop, gotri, waterpas, dan pemutar. Norden menciptakan 64 algoritma yang dia percaya menjawab semua pertanyaan dalam pengeboman kala itu. Hasil karya Norden tersebut akhirnya mulai menarik perhatian militer AS dan dipesan dalam jumlah besar oleh AS.

“Norden mewakili satu impian, salah stau impian terkuat dalam sejarah perang: jika kita dapat menjatuhkan bom ke dalam tong dari ketinggian 10 kilometer, kita tak bakal perlu pasukan lagi. Kita tak bakal perlu mengorbankan anak muda di medan tempur dan menghancurleburkan kota,” halaman 28.

Impian Norden tersebutlah yang juga dimiliki Bomber Mafia. Dengan segala kemampuannya, mereka berupaya membuat pesawat hingga strategi yang tepat untuk membuat perang yang lebih minim pertumpahan darah.

Perjalanan mereka mencapai tujuan tersebut kemudian mulai diuji coba di beberapa wilayah. Sebelum akhirnya mereka menyiapkan diri untuk melakukan penyerangan pada Jepang dari dua wilayah berbeda, yakni Kolkata dan Kepulauan Mariana.

Armada perang tersebut bergerak di bawah komando Jenderal Haywood Hansell dan Jenderal Curtis LeMay. Hansell memegang komando Mariana, sedangkan LeMay memgang komando di Kolkata.

Sulitnya melewati kawasan Pegunungan Himalaya membuat misi pengeboman dari wilayah Kolkata menjadi mustahil untuk dilakukan. Karena itu, misi utama jatuh pada armada di bawah pimpinan Hansell.

Hansell merupakan sosok jenderal yang digambarkan Gladwell sebagai sosok yang juga memegang idealismenya untuk bisa membuat perang lebih minim korban jiwa. Ia menolak menggunakan bom yang bersifat merusak dan mematikan secara masif.

Dengan segenap kemampuannya, ia berupaya memikirkan stretgi terbaik untuk bisa memanfaatkan pembidik bom Norden di tengah segala kesulitan yang ada. Namun, usahanya tak berhasil karena pembidik bom sulit digunakan di wilayah Jepang yang memilki kondsi meteorologi ekstrem.

Akibat idealismenya tersebut, Hansell terpaksa harus merelakan posisinya di Mariana. Kepemimpinan di Mariana dialihkan kepada LeMay. Berbeda dengan Hansell, LeMay digambarkan sebagai jenderal berdarah dingin yang hanya fokus mengutamakan kemenangan.

Kisah lain yang juga diangkat oleh Gladwell ialah rapat yang dilakukan militer AS dengan para ilmuwan dari Harvard. Rapat rahasia tersebut menghasilkan sebuah keputusan untuk tak lagi mengutamakan minimalnya korban atau tak lagi perlu menggunakan pembidik bom.

Para profesor kimia asal Harvard membuat bom bakar yang dikenal dengan nama Napalm. Napalm menjadi bom yang akhirnya digunakan LeMay dan pasukannya meluluhlantakkan Tokyo dan kota-kota di sekitarnya pada Maret hingga Agustus 1945.

Setiap kisah yang ditulis dalam buku ini merupakan hasil penelusuran dan pengumpulan data, yang dibumbui dengan pemikiran kritis Gladwell. Ia menyertakan banyak kutipan dari sejarawan hingga tokoh-tokoh yang namanya muncul dalam buku.

Kutipan-kutipan itu ia kumpulkan dari buku, artikel, hingga berita yang pernah tayang di berbagai media massa sejak kurun waktu Perang Dunia II hingga saat ini. Penyertaan pandangan sejarawan hingga kutipan berita-berita tersebut membuat buku ini semakin tajam dan renyah untuk dibaca.

Pada bagian tengah buku juga disertakan beberapa foto pendukung. Di antaranya foto Hansell dan LeMay ketika baru saja serah terima jabatan di Mariana hingga foto ketika napalm pertama kali diledakkan sebagai uji coba di halaman belakang kampus Harvard.

Foto-foto tersebut membuat cerita yang dikisahkan dalam buku terasa lebih dramatis. Pembaca akan lebih mudah membayangkan kondisi yang terjadi pada masa Perang Dunia II di dalam pikirannya.

Bomber Mafia menunjukkan kemampuan Gladwell meromantisasi kisah berlatar belakang perang. Semua hal disajikan dengan lebih manusiawi meski tetap tak meninggalkan kesan ironis.

Melalui kisah para anggota Bomber Mafia dan Hansell, Gladwell menghadirkan sisi lain dari kelamnya kisah perang dunia. Lagi-lagi ia berhasil menampilkan perspektif yang berbeda dari peristiwa dan hal-hal yang ada dalam kehidupan manusia. (Pro/M-2)

Baca Juga

ASHRAF SHAZLY / AFP

Helo-Murr, Minuman Khas Masyarakat Sudan di Bulan Ramadan

👤Adiyanto 🕔Senin 27 Maret 2023, 16:35 WIB
Minuman Ini dapat ditemukan di hampir setiap meja di seluruh negara Afrika timur laut tiap menjelang buka...
CHANDAN KHANNA / AFP

Setelah Dihantam Tornado, Mississippi Bersiap Hadapi Cuaca yang lebih Ekstrem

👤Adiyanto 🕔Senin 27 Maret 2023, 13:48 WIB
Pada Jumat lalu, NWS juga telah memberi peringatan tentang tornado yang telah meninggalkan jejak malapetaka sepanjang lebih dari 100 mil...
Dok. Netflix

Deretan Anime Terbaru 2023 di Netflix

👤Fathurrozak 🕔Senin 27 Maret 2023, 13:20 WIB
Di antaranya adalah Ōoku:The Inner Chambers, Yakitori: Soldiers of Misfortune,...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya