BUKU ini mengisahkan perjalanan hidup seseorang ibu yang harus menjadi nakhoda kapal keluarga setelah kepergian suaminya, seorang perwira TNI-AD yang meninggal secara mendadak di puncak karier ketika sedang menjalankan tugas negara. Perjalanan hidup tersebut dituturkan sang putri sulung yang disimbolkan dalam buku ini sebagai ‘si pensil kecil.’
Memang tepat sekali yang dikatakan Prof Dr Multamia RMT Lauser dalam bagian pengantar bahwa buku ini lebih cenderung sebagai sebuah memoar.
Menurutnya, memoar memiliki kekuatan psikoterapi sebagai penyembuh batin. Tidak semua penulis berani membuat memoar karena memang memoar ialah bukan kisah fiksi.
Memoar ini memang mencoba jujur menyikapi perjalanan hidup penulis dan ibundanya sendiri dengan pasang surut dan dinamika hubungan antara ibu tunggaldengan anak-anaknya termasuk dengan penulis, sedari mereka kecil hingga saat akhir hayat sang ibu. Memang terkadang kejujuran menulis menimbulkan nuansa kepahitan, kegetiran yang mendalam.
Buku memoar The Mirror on the Shine bisa disebut sebagai antiklimaks dari sang penulis dalam mengisahkan dirinya dengan sang ibunda. Kisah keluarga mereka sebelumnya telah tertuang dalam The Mirror of Life (2008), Never Give Up (2019), dan Never Lost Hope (2020).
Buku-buku itu banyak menggambarkan betapa pengalaman-pengalaman luka batin antara ibu dan anak benar benar membekas, bahkan seolah-olah menjelma trauma yang abadi. Tidak mudah untuk menjalin hubungan kembali setelah 18 tahun tidak bertegur sapa karena ketidakcocokkan pendapat, gaya hidup di masa lalu. Peristiwa inilah yang membuat ketidaknyamanan hubungan antara ibu dan anaknya tersebut, bahkan sampai penulis telah memiliki cucu.
Namun, keajaiban itu datang dari-Nya. Waktu Tuhan tak seorang pun tahu. Takdir-Nya berbeda dengan penilaian logika manusia. Rekonsiliasi terjadi. Perdamaian berjalan sesuai dengan rencana-Nya.
Di dalam buku inilah dialog akhir antara mereka. Yang memang sebaiknya antara keduanya dapat saling memaafkan dan saling mengasihi. Hal ini diungkapkan bundanya. “Duduklah kau dekat di sampingku, biar Mama bisa memandang jelas wajahmu.” Tak terasa air mata si puteri sulung menggenang tertahan mendengar ucapan dan keadaan bundanya.” (hal 78)
Saat itu, rekonsiliasi intens akhirnya terwujud, sejak 1 Februari 2020 sampai dengan 25 Maret 2021. Kontinu bertegur sapa dari hati ke hati menceritakan sakitnya pada putri sulungnya. Meski hanya melalui pertemuan dan pesan di WA. Namun, faktor usia ibunda yang semakin tua di tambah penyakit CA (kanker) di perut yang sudah lamanya dideritanya jadi fakta yang dijalani sehingga penulis selalu berusaha berkomunikasi guna meringankan beban penderitaan sakit bundanya.
Namun, sayangnya Tuhan berkehendak lain. Pada 25 Maret 2021 sore, suster yang menjaganya di rumah mengatakan bahwa bunda terakhir berpesan: “Saya akan tidur, nanti akan datang mobil putih.” Pernyataan ini menjadi isyarat bahwa ibunda, keturunan cucu dari Pahlawan Sisingamangaraja XII, akan menutup mata. Akhirnya selamat jalan bunda ke alam baka, yang dijemput mobil ambulans putih. Demikian cuplikan pendek memoar si pensil kecil. (Ros/M-2)
_________________________________________________________________________________________
Judul: The Mirror on the Shine & Selamat Jalan Bunda
Penulis Margaretha M Siahaan
Penerbit: Orenz Publishing Online, Nulisbuku.com
Tahun: 2021
Hal: 248