Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Mendorong Kolaborasi Riset Berbasis Kelautan

Fathurrozak
07/11/2021 06:45
Mendorong Kolaborasi Riset Berbasis Kelautan
Dr Ratih Pangestuti, S.Kel, M.Si.(Dok. Pribadi)

BARU-BARU ini, salah satu universitas bergengsi di Amerika Serikat, Standford University, merilis data terbaru mereka bertajuk Top 2% World Ranking Scientist. Data tersebut memuat 2% ilmuwan di dunia yang dianggap paling berpengaruh.

Daftar itu didasarkan pada c-score yang merupakan jumlah sitasi publikasi di luar sitasi oleh diri sendiri (nonself-citation). Dengan kata lain, ilmuwan-ilmuwan yang ada di daftar tersebut adalah mereka yang risetnya paling banyak dikutip dalam pelbagai jurnal ilmiah.

Tahun ini ada lebih dari 180 ribu ilmuwan yang namanya masuk Top 2% World Ranking Scientists. Di dalamnya, ada 58 ilmuwan asal atau berafiliasi dengan Indonesia. Salah satunya Dr Ratih Pangestuti, S.Kel, M.Si., peneliti yang berfokus pada organisme kelautan.

Media Indonesia berbincang dengan Plt Kepala Balai Bio Industri Laut (BBIL) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu tentang capaiannya, dan yang perlu didorong dalam pemanfaatan riset serta ekonomi berbasis kelautan. Berikut petikan wawancara via surat elektronik, Jumat (5/11).

Anda masuk dalam daftar Top 2% World Ranking Scientist yang dirilis Stanford University. Apa yang bisa dimaknai dari hal ini?
Sebenarnya tidak hanya saya. Ada puluhan ilmuwan Indonesia yang masuk di dalamnya. Dari data tersebut, bisa dimaknai bahwa banyak ilmuwan Indonesia berkontribusi dalam perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) global. Dan hal ini tentu semakin menjadi pemacu semangat untuk terus berkarya dan berkontribusi terhadap tiga pilar iptek (science for science, science for society, dan science for policy).

Bisa diceritakan mengenai riset Anda yang paling banyak disitat?
Riset tentang manfaat kesehatan dari makroalga laut, baik yang cokelat, merah, maupun hijau, bagi umat manusia. Selama hasil riset itu bisa atau berpotensi untuk dimanfaatkan masyarakat, saya rasa akan banyak dibaca dan disitasi oleh umum.

Anda menempuh studi kelautan, biolo gi, lalu biomedical and life sciences serta terakhir S-3 marine biochemistry. Bagaimana fokus dan cakupan dari dua disiplin terakhir dan hubungannya dalam pemanfaatan potensi laut?
Dalam disiplin ilmu tersebut saya banyak belajar tentang senyawa aktif yang terkandung di dalam organisme laut, karena mereka ini unik. Dihadapkan pada faktor lingkungan dengan stres yang tinggi, baik suhu, salinitas, pH, ancaman predator, dan sebagainya sehingga banyak senyawa aktif yang hanya bisa ditemukan pada organisme laut. Banyak juga dipelajari teknik optimasi serta pemanfaatannya untuk kesehatan umat manusia. Oleh karena itu, latar belakang pendidikan saya sangat mendukung di bidang ini. 


Anda juga punya ketertarikan pada teripang, bagaimana sejauh ini perkembangan risetnya?
Riset tentang teripang di BBIL telah kami kembangkan teknologi terpadu IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) Terbaru (Teripang, Bandeng, Rumput laut). Jadi, dalam satu fase kultur, diperoleh tiga komoditas sekaligus. Hasil dari teknologi tersebut selanjutnya kami olah dalam bentuk teripang kering dan pangan olahan teripang yang akan menambah nilai jual dari teripang. 

Bagaimana cara untuk menentukan penelitian biota laut yang kemudian bisa dimanfaatkan potensinya, dan penentuan urgensinya didasarkan pada apa?
Saya rasa harus diubah dulu persepsinya, sebelum menyasar ke menentukan organismenya. Tentukan dulu urgensi riset kita
itu apa?

Misalkan, kami saat ini di BBIL mengembangkan teknologi budi daya dan pengembangan under-exploited makroalga laut. Urgensinya karena dari kurang lebih 900 spesies rumput laut di Indonesia, hanya beberapa yang memiliki nilai komersial. Produk rumput laut yang siap makan masih banyak yang impor. Di sini, urgensinya adalah untuk menemukan spesies rumput laut yang masih termasuk kategori underexploited untuk bisa dikembangkan dan bisa menjadi substitusi produk impor. 

Bagaimana juga untuk mendorong agar penelitian pada bidang kelautan, termasuk organismenya bisa lebih ideal?
Pertama, perlu mendorong terciptanya kolaborasi dan sinergi dari hulu ke hilir kegiatan riset berbasis kelautan. Di samping itu, memulai adanya riset dan inovasi kelaut an. Dengan adanya hasil riset dan inovasi yang dikenal luas dan dimanfaatkan masyarakat, akan semakin menstimulasi riset dan inovasi yang lain. 

Anda pernah menyampaikan saat ini kita melupakan lautan. Padahal, potensinya besar untuk bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan bangsa. Seperti apa besarnya potensi lautan kita?
Anda bisa membayangkan berapa persen wilayah daratan dan lautan kita? Lebih dari 70 % wilayah Indonesia terdiri atas lautan. Laut bisa berkontribusi dalam berbagai sektor dari pangan, kesehatan, energi, pariwisata, transportasi, dan masih banyak lagi.

Kalau dari kami di BBIL BRIN, kami mengembangkan budi daya biota ekonomis penting seperti teripang, abalone, kerang mutiara, rumput laut--khususnya spesies yang termasuk kategori under-exploited-- dan sebagainya.

Dari hasil budi daya tersebut, selanjutnya kami kembangkan juga produk pangannya. Hasil penelitian tersebut kami transfer ke berbagai mitra yang bekerja sama dengan BBIL BRIN, baik UMKM, industri, maupun kementerian terkait. Harapannya, dari hasil riset dan inovasi tersebut bisa berkembang startup, perusahaan, dan sebagainya yang berbasis kelautan. Pada akhirnya dapat mengungkit perekonomian masyarakat, khususnya masyarakat pesisir.

Saat ini, apakah masih marak ekspor produk laut dalam bentuk raw material? 
Ekspor produk mentah sudah mulai berkurang dengan adanya pengembangan produk jadi maupun setengah jadi (powder) dan sertifikasi-sertifikasi produk kelautan. Namun, memang ekspor dalam raw materials masih tetap ada sampai sekarang.

Apa kerugian bagi kita, dan cara untuk menguranginya?
Merugikannya dengan ya jika diekspor dalam bentuk bahan baku atau bahan setengah jadi, seharusnya bisa membuka pekerjaan dan menambah nilai jual. Yang perlu dirancang (untuk mengurangi kerugian itu) ialah terkait dengan pengawasan, riset dan inovasi berbasis kelautan, serta diseminasinya kepada masyarakat.

Salah satu yang juga jadi soal adalah bagaimana masyarakat kita juga lebih mengenali organisme laut serta potensinya. Apa saran Anda?
Di sini peran berbagai pihak sangat penting baik dari sisi ilmuwan, akademisi, pemerintah, industri, dan yang paling utama adalah rekan-rekan media. Ibarat pepatah tak kenal maka tak sayang. Jika tidak diperkenalkan potensi organisme laut, masyarakat tidak akan mengetahuinya.

Karena, pengungkapan potensi organisme laut biasanya dipublikasikan dalam jurnal ilmiah dan masyarakat tidak bisa mengaksesnya. Namun, dengan pemberitaan tentang potensinya di media massa, publik akan semakin mengenal dan kemudian menyadari potensinya. 

Dari riset yang telah dilakukan, apakah organisme laut kita sejauh ini peruntukannya memang lebih besar untuk sektor pangan? Bagaimana dengan sektor-sektor lain, seperti obat dan kosmetik?
Saya rasa cukup berimbang, baik untuk pangan, farmasi, maupun skincare. Bahkan suatu penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa polisakarida sulfat dari rumput laut, yaitu fukoidan dan karrageenan, menunjukkan aktivitas antivirus di antaranya Sars-Cov2.

Kemudian dalam dunia skincare banyak perusahaan global telah menggunakan rumput laut dalam produknya dengan klaim kesehatan antara lain anti-aging, antiphotoaging, skin whitening, dan sebagainya. Beberapa perusahaan nasional juga telah menggunakan rumput laut tropis dalam produknya mulai dari Ulva sp, Gracilaria sp, Eucheuma sp, dan sebagainya.

Untuk mengoptimalkan potensi kekaya an laut kita, langkah apa yang saat ini paling mudah dilakukan?
Menurut Badan Riset dan Sumber Daya Manusia KKP, nilai kekayaan kelautan Indonesia ditaksir mencapai US$1.338 miliar atau setara Rp19.113 triliun (kurs Rp.14.300) per tahun.

Pertama, kita perlu mengidentifikasi sumber-sumber kekayaan laut tadi, beserta tingkat pemanfaatan, valuasi nilai, dan optimalkan sektor-sektor yang masih minim pemanfaatannya. Saat ini mungkin baru beberapa spesies. Sebagai contoh udang, tuna, dan kemudian rumput laut yang menjadi komoditas utama dari biotiknya. Sementara itu, abiotik yang masih mendominasi, seperti mineral dan bahan tambangnya. Di lain sisi, (pengelolaan) nilai intrinsik seperti alur pelayaran, ekowisata, kekayaan hayati, dan lainnya masih sangat minim.

Krisis iklim yang melanda dunia tentu berpengaruh pada kehidupan di bawah laut. Seperti apa gambarannya?
Perlahan namun pasti, perubahan iklim akan membawa dampak yang sangat besar bagi keanekaragaman hayati laut. Perubahan iklim juga menyebabkan pergeseran rentang geografis serta pola migrasi spesies di laut, beberapa spesies akan bermigrasi ke wilayah geografis yang lain. Sementara itu, beberapa spesies lain akan menghadapi kepunahan. Tentu hal ini akan sangat memengaruhi riset dan inovasi di bidang kelautan dan lebih lagi kepada masyarakat pesisir yang bergantung pada hasil tangkapan laut sebagai sumber pangan dan ekonomi keluarga. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya