Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Negarawan Kahyangan

Ono Sarwono Penyuka wayang
20/12/2020 00:30
Negarawan Kahyangan
Ono Sarwono Penyuka wayang(MI/Ebet)

PACEKLIK negarawan di negeri ini tampaknya akan berkepanjangan. Era reformasi yang digadanggadang sebagai jembatan kemajuan bangsa, hingga usianya lebih dari dua dekade, ternyata hanya banyak menyemai petualang politik. Mereka tidak lebih daripada pencari kerja (job seeker).

Para elite sibuk jalan sendirisendiri mengikuti ngeng (naluri)-nya masing-masing. Tidak memiliki visi dan elan perjuangan bersama bagaimana bangsa dan negara dibangun. Lebih suka berselisih karena hal-hal sepele.

Menurut banyak orang bijak, bilamana tidak memiliki banyak negarawan, sebuah negara akan kerap mengalami krisis multidimensi yang  berat. Negara pasti rapuh dan, bahkan, bukan tidak mungkin bisa runtuh.


Teja memancar

Dalam dunia wayang ada cerita menarik tentang negarawan sejati yang pantas diteladani. Sejak menjabat sebagai paranpara Kahyangan Jonggring Saloka, ia tanggalkan urusan pribadi. Jiwa raganya untuk terjaganya muruah Kahyangan. Sang negarawan itu bernama Bathara Narada.

Alkisah, penguasa Kahyangan Jonggring Saloka Bathara Guru terpukau dengan adanya teja, sinar berwarna-warni nan indah, yang memancar dari marcapada. Guru lalu memerintahkan putranya, yakni Bathara Sambu, Bathara Brahma, Bathara Indra, Bathara Bayu, dan Bathara Wisnu, menyelidiki asal cahaya itu.

Kelima dewa muda itu mendapati bahwa teja yang sinarnya hingga tembus langit kahyangan berasal dari seorang laki-laki yang sedang bersemedi di atas samudra. Sang petapa itu menggenggam cupu Linggamanik.

Sambu membangunkannya dan menanyakan maksud dan tujuannya. Lelaki tampan itu mengaku bernama Kanekaputra dan ingin menjadi penasihat para dewa. Sambu dan adik-adiknya menertawakannya, kecuali Bathara Wisnu yang tampak serius memperhatikan lelaki itu.

Kanekaputra tidak bereaksi apa-apa dan kembali bersemedi. Merasa tidak diacuhkan, Sambu dan saudaranya tersinggung dan kemudian dengan kasar mengusir lelaki itu dari tempat tersebut. Keajaiban terjadi, tiba-tiba tubuh Kanekaputra mengeluarkan angin kuat yang melemparkan mereka.

Hanya Wisnu yang selamat dari tiupan angin dahsyat. Wisnu yang sejak awal tidak mengganggu sang petapa kemudian dengan baik-baik mohon pamit dan menyusul kakakkakaknya yang tunggang-langgang kembali ke kahyangan.

Setelah mendapatkan laporan, Guru menemui titah yang membuatnya penasaran di tengah samudra. Ia mengonfirmasikan, apakah benar Kanekaputra lancang ingin menjadi penasihat para dewa. Tanpa tedeng alingaling (terbuka), Kanekaputra membenarkannya.

Keduanya kemudian terlibat adu ilmu. Setiap pertanyaan Guru bisa dijawab oleh Kanekaputra. Bukan hanya jawaban yang didapat, Guru juga malah banyak mendapatkan ilmu baru. Sebaliknya, Guru kerap gagu ketika menjawab pertanyaan Kanekaputra.

Lebih dari itu, Guru merasa diremehkan karena setiap menjawab pertanyaan, Kanekaputra selalu mengemasnya dengan membanyol. 
Gemas dengan cara itu, Guru lalu menyebut Kanekaputra seperti badut. Seketika wajah dan badan titah yang berada di depannya berubah total.

Kanekaputra yang semula tampan dan bertubuh normal menjadi berwajah tua dan lucu dengan muka sedikit mendongak. Badannya gemuk dan pendek sehingga kalau berjalan megalmegol bak menthok atau itik serati.

Bathara Guru menyesali sabdanya yang menyebabkan Kanekaputra berubah jelek. Namun, ia menerima lamarannya menjadi paranpara  dewa. Gumamnya, kahyangan memang membutuhkan penasihat yang berilmu luas.


Diobrak-abrik

Setelah menelusuri asal-usulnya, Guru mengetahui Kanekaputra ternyata kakak sepupunya sendiri, sulung dari empat putra Sanghyang Caturkaneka-Dewi Laksmi. Dari sinilah kemudian Guru memanggil Kanekaputra dengan sebutan kakang atau kakak.

Sejak diangkat menjadi paranpara kahyangan, Kanekaputra mendapat nama baru Bathara Narada dan bertempat tinggal di Kahyangan Sidikpangudal-udal.

Narada tidak pernah bergeser dari sumpah jabatannya. Jiwa raganya untuk menjaga muruah para dewa sebagai pengatur kehidupan titah. Ia benar-benar menunjukkan kualitas dan kualifi kasinya sebagai negarawan tulen.

Banyak kisah yang menceritakan perdebatannya dengan Guru terkait langkah atau kebijakannya yang dinilai keliru. Bahkan, ia legawa ketika jabatannya dicopot garagara menentang Guru. Baginya, tidak ada yang bisa menggoyahkan integritasnya sebagai paranpara.

Misalnya, ketika Guru menuruti rajukan istrinya, Bathari Durga, yang memintanya agar menikahkan putranya, Dewasrani, dengan Bathari Dresanala, putri Bathara Brahma. Padahal, Dresanala sudah menjadi istri sah Arjuna, kesatria Pandawa, dan saat itu sedang mengandung. Narada menentang keras Guru yang memisahkan Dresanala dengan Arjuna dan menikahkan dengan Dewasrani. Ia menolak dalih Guru menjunjung ajaran Anak polah bapa kepradah, yang artinya ayah mesti memenuhi permintaan anak.

Menurut Narada, anak yang mesti dituruti bila keinginannya benar dan tidak menerjang norma, nilai, dan aturan. Justru ayahnyalah yang harus menasihati dan meluruskan apabila anaknya kurang ajar atau melenceng.

Seperti biasanya, terjadi perdebatan sengit yang pada akhirnya Guru kalah berargumen dan kemudian menggunakan kekuasaannya sebagai pemimpin. Sabdanya, siapa saja yang tidak sejalan dengan keputusannya dipersilakan menanggalkan jabatan dan pergi meninggalkan kahyangan.

Pada kasus ini, Narada menyatakan pamit dan tidak bertanggung jawab jika ada karma yang mendera kahyangan. Guru dengan ketus mengatakan dirinya berwenang menentukan apa pun di jagat triloka, tidak ada yang berhak menghalanginya.

Kisah selanjutnya, anak yang dikandung Dresanala lahir bernama Wisanggeni. Anak yang kemanjingan (tersusupi) Sanghyang Wenang ini mengobrak-abrik kahyangan. Tidak ada dewa yang mampu menundukkannya. Bathara Guru pun takluk.


Meminta maaf

Guru sadar dan mengaku khilaf. Ia memerintahkan Indra mencari Narada. Tidak lama kemudian, Narada menghadap. Guru meminta maaf karena mengabaikan nasihatnya sehingga kahyangan morat-marit diinjak-injak Wisanggeni.

Nilai moral kisah ini ialah integritas Narada sebagai negarawan. Kehidupan pribadinya sudah paripurna sehingga tak pernah sekali pun menggunakan jabatan atau kedudukan untuk kepentingan diri. Tanpa dia, kahyangan akan kehilangan ‘kahyangannya’. (M-2)


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik