Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
‘HAMPIR semua orang mampu bertahan menghadapi kesengsaraan atau kesulitan, tetapi bila Anda ingin mengetahui atau menguji watak
atau pribadi sejati seseorang, berilah dia kekuasaan.’ Demikian kurang lebih wasiat mendiang Presiden ke-16 Amerika Serikat (AS) Abraham Lincoln (1809-1865).
Wejangan kuno itu kembali menemukan mantranya di negeri ini setelah dalam waktu yang berdekatan ada dua menteri Kabinet Indonesia Maju dijadikan tersangka tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebelumnya, kedua pembantu presiden itu, lewat perkataan dan pernyataannya, kerap menempatkan diri sebagai sosok antikorupsi. Namun, faktanya keduanya diduga melenceng. Apakah mereka benar-benar koruptor (berwatak bejat)? Itu akan dibuktikan di pengadilan kelak.
Ikhlas dan legawa
Dalam cerita wayang, tokoh yang karakternya bersih dan lurus serta lulus dari aneka tantangan, termasuk ujian kekuasaan, bernama Puntadewa. Ketulenan wataknya yang antisyahwat duniawi terbuktikan lewat perilaku sepanjang hayatnya.
Selama menjadi penguasa Negara Amarta, Puntadewa tidak pernah sekalipun memanfaatkan kedudukannya untuk pribadi dan keluarga. Ia sungguh-sungguh menjunjung tinggi amanah dengan penuh tanggung jawab.
Puntadewa ialah putra sulung Raja Astina Prabu Pandudewanata dengan Kunti Talibrata. Ia memiliki dua adik kandung, yakni Bratasena dan Permadi. Selain itu, masih punya adik kembar lain ibu, Nakula dan Sadewa. Lima lelaki itu dikenal dengan sebutan Pandawa.
Watak mulia Puntadewa terbangun sejak kecil. Dalam usia belia, ia sudah gemar dan tekun membaca kitab suci serta menjalani laku prihatin. Oleh karena kegenturannya sinau (belajar) itu, ia sejak dini paham makna kehidupan. Bahwa hidup itu sejatinya untuk manembah (beribadah) dan lakunya berdarma.
Pribadinya rendah hati, sopan, santun, jujur, dan welas asih. Ia juga antikekerasan dan antipermusuhan. Sikapnya menghindari pertengkaran atau pertikaian. Baginya, urusan duniawi yang di mana-mana selalu menjadi sumber konflik, hanyalah wujud nafsu kotor.
Sikapnya yang demikian itu tampak jelas ketika ia mengetahui tabiat buruk Kurawa, saudara sepupunya sendiri, yang semula sama-sama tinggal di Istana Astina. Kurawa, keluarga yang terdiri dari seratus orang, adalah putra-putri uaknya, Drestarastra-Gendari.
Kurawa menginginkan kekuasaan takhta Astina. Padahal, menurut paugeran (konstitusi) negara, itu hak Pandawa sebagai ahli waris mendiang bapaknya. Namun, Puntadewa dengan ikhlas dan legawa menyilakan Kurawa berkuasa.
Konsekuensinya, Puntadewa bersama keempat adiknya tidak hanya kehilangan haknya atas kekuasaan Astina, tetapi juga terusir dari tanah kelahirannya.
Mereka hidup terluntalunta dan berulang kali menjadi sasaran pembunuhan Kurawa karena keberadaannya dianggap merucik (menganggu) kekuasaannya.
Bratasena kerap tidak tahan dengan kebrutalan Kurawa. Ia ingin melawan dan menggebuki kakak-kakak sepupunya itu.
Tapi, Puntadewa selalu ngreripih (menasihatinya) agar senantiasa eling serta tetap sabar dan mengalah. Tidak baik dan malu bertengkar dengan saudara gara-gara berebut ‘rumah’.
Membangun Amarta
Pandawa memilih membuat tempat tinggal sendiri daripada bermusuhan dengan Kurawa. Atas palilah (izin) Drestarastra, mereka membangun rumah (negara) sendiri di atas lahan belantara Wanamarta yang masih masuk wilayah Astina.
Upayanya tidak mudah. Bukan hanya sulit membabati lebatnya hutan dan pekatnya semak belukar, tetapi Pandawa terpaksa harus
menaklukkan binatang-binatang buas yang menghadang. Yang lebih pelik, menyampaikan keinginan dan kehendaknya kepada para penghuni hutan yang tidak kasat mata.
Lewat perjuangan berat, akhirnya Pandawa berhasil membuat rumah dengan berswasembada. Tempat tinggal barunya itu diberi nama Amarta atau Indraprastha karena keindahannya, konon, serupa dengan kemegahan istananya Bathara Indra, Kahyangan Tenjamaya.
Puntadewa dinobatkan sebagai raja di negara baru itu bergelar Prabu Yudhistira. Semula, ia menolak dan menyerahkan jabatan itu kepada Bratasena, yang dinilai berkontribusi paling besar serta memiliki nilai pengorbanan tertinggi dalam membangun negara. Namun, semua adiknya serta eyangnya, Raja Wiratha Prabu Matswapati, meminta sang sulung menjadi pengarep (pemimpin).
Sebagai raja, Puntadewa emoh menggunakan busana kebesaran. Tidak mengenakan kuluk sebagai simbol raja dengan segala asesorisnya. Ia memilih apa adanya seperti selama ini, yang hanya tetap bergelung keling dan tanpa mengenakan pernak-pernik perhiasan.
Sikapnya yang polos itu merupakan wujud kesederhanaannya. Tidak mau neka-neka karena kekuasaan bukan panggung untuk petotang-petenteng atau gaya-gayaan melainkan gelanggang pengabdian. Dengan tampil seperti apa adanya, ia merasa nyaman ketika blusukan atau berada di tengah-tengah rakyat.
Selama berkuasa, Puntadewa jauh dari sikap otoriter yang menjadi kebiasaan para raja. Kepemimpinannya kolektif kolegial. Tidak pernah mengambil kebijakan atau keputusan sendiri, tetapi pasti dibicarakan dengan keempat adiknya. Ia selalu bermusyawarah, tetapi keputusan tetap berada di tangannya.
Ketika menghadapi situasi atau persoalan rumit dan sulit, Pandawa selalu meminta pendapat, saran, dan nasihat paranparanya, Sri Bathara Kresna, titisan Bathara Wisnu. Pun tak jarang memohon wejangan pamongnya, Ki Semar Badranaya, pangejawantahan Bathara Ismaya.
Belahan jiwa sejati
Dengan langgam kepemimpinan yang ‘demokratis’ seperti itu, Puntadewa tetap terjaga kualitas budi luhurnya. Ia selamat dari ketergelinciran nafsu dan luput dari tindakan sewenang-wenang serta terhindar dari sepak-terjang yang melenceng dari garis-garis keutamaan.
Satu hal yang juga berperan penting memelihara muruah Puntadewa adalah sang permaisuri, Drupadi. Ia istri solehah, cantik raga dan jiwanya. Perempuan berhati kumala. Seorang garwa sigaraning nyawa (belahan jiwa) sejati. Ia bukan istri yang silau dengan wangi dan gemerlapnya duniawi.
Singkat cerita, Puntadewa insan berwatak akhlakul karimah, tiada henti berlomba berbuat kebaikan. Bukan berkamufl ase lewat katakata suci. Ia tidak hanya mampu memayu-hayuning (menjadikan baik) pribadi dan keluarganya tetapi juga memayu hayuning bawana membangun peradaban dunia. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved