Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Jakarta Bisa Jadi Kota Sinema, Tapi Butuh Ini

Fathurrozak
10/12/2020 06:10
Jakarta Bisa Jadi Kota Sinema, Tapi Butuh Ini
Dalam diskusi publik virtual komite film Dewan Kesenian Jakarta, Selasa (8/12) mengemuka wacana menjadikan Jakarta sebagai kota sinema.(Unsplash/ Jake Hills)

SEBAGAI Ibu Kota negara, Jakarta unggul dalam fasilitas teranyar dan terlengkap, termasuk dalam industri hiburan dan perfilman. Tidak hanya jaringan bioskop, Jakarta pun menjadi markas banyak rumah produksi. Sederet hal itu dilihat membuat Jakarta berpotensi menjadi kota sinema.

Hal itulah yang mengemuka dalam diskusi publik virtual komite film DKJ, Selasa (8/12) malam. Namun untuk benar-benar mewujudkan status sebagai kota sinema, Jakarta masih butuh sederet hal lain.

Gugus tugas distrik seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Avianti Armand menyatakan, untuk bisa disebut sebagai kota sinema setidaknya ada delapan aspek yang merangkainya. Mulai dari kreasi, produksi, distribusi, eksibisi, penonton, apresiasi, dan pendidikan.

“Delapan fokus aspek itu diikat dalam simpul pusat data yang terintegrasi dan pengarsipan film. Pentingnya data untuk analisis situasi hari ini, melihat potensi dan kemungkinan untuk menyusun langkah strategis,” katanya. 

Dalam hal itu, anggota komite film DKJ Hikmat Darmawan menanggapi, yang perlu dibangun untuk membentuk imej sebagai kota sinema selain sebagai kanvas dan lahan penghidupan juga di antaranya adalah yang sifatnya infrastruktur.

“Ada beberapa yang sifatnya infrastruktur. Seperti membangun integrated box office system. Kalau Vivi (Avianti Armand) menyebut krusialnya pusat data dan arsip, salah satunya adaah dengan membangun sistem integrasi box office. Maksudnya adalah untuk sistem pendataan yang sangat terpadu, untuk mencatat setiap pembelian tiket nanti akan ada sistem yang bisa mendata dan langsung masuk ke sistem besar. Sehingga bisa dibaca dengan baik,” tanggap Hikmat.

Sejauh ini, dalam pengamatan Hikmat, publik dan banyak pihak hanya mampu mengira-ngira hasil pendapatan suatu film lewat jumlah penonton, yang sebenarnya tidak berarti apa-apa. Menurutnya, tolok ukur yang paling riil adalah jumlah pendapatan.

“Kalau langsung ada datanya, bisa untuk membangun banyak hal. Misalnya untuk menyusun kebijakan investasi, ada assesment yang lebih terukur. Calon investor yang mau membiayai film misalnya, itu bisa dijadikan tolok ukur. Selain itu demografinya juga terbaca. Maka perlu diupayakan adanya integrated box office system.”

Menanggapi usulan Hikmat, TGUPP Pemprov DKI Dedi Wijaya menyebut pihak pemerintah kota Jakarta sangat terbuka dengan inisiatif dari berbagai pihak. Dirinya menyebut, akan lebih cepat terwujud jika ada pihak seperti komunitas, swasta, maupun perusahaan tertarik untuk bekerja sama.

“Misalnya seperti usulan sistem box office terintegrasi, saya bisa mencontohkan dengan Jakarta Smart City. Itu terwujud karena ada pendekatan dari emerging tech company. Kami memfasilitasi, memberi akses. Contoh juga perusahaan rintisan yang fokusnya pada face recognition, kami memberikan akses ketika mereka ingin meluaskan akses jangkauan. Sehingga ketika misalnya nanti ada emerging company yang ingin kembangkan sistem box office terintegrasi ini, kami akan bantu terkait akses ke bioskop yang ada di area DKI,” papar Dedi. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Bintang Krisanti
Berita Lainnya