Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
KRITIK klasik kepada eksekutif muncul lagi. Pemerintah (negara) dinilai tidak tegas terhadap sebuah organisasi yang konon religius, namun, sejak kelahirannya hingga saat ini kelakuannya kerap berangasan dan gemar bikin ontran-ontran (masalah) dengan terang-terangan menerjang peraturan.
Belakangan penilaian tersebut agak lumer setelah aparat bertindak. Seharusnya memang tidak ada alasan apa pun bagi alat negara di seluruh wilayah negeri ini untuk bimbang \menegakkan peraturan, Jangan biarkan ada gerombolan yang polah tingkahnya semau-maunya sendiri mengorak-arik bangsa.
Perselingkuhan keluarga
Dalam kisah wayang, ada raja (pemerintah/negara) yang berani dan tegas serta tidak pandang bulu menegakkan peraturan (hukum). Bahkan, terhadap kulit dagingnya sendiri sekalipun. Inilah amanah yang ia junjung tinggi-tinggi.
Persamaan di hadapan hukum (equality before the law) itu terjadi di Negara Dwarawati. Raja Prabu Sri Bathara Kresna alias Prabu Harimurti mengambil langkah menghukum putranya sendiri karena melakukan tindak pidana berat.
Alkisah, Prabu Boma Narakasura alias Sitija mondar-mandir di Sitihinggil Istana Trajutrisna. Ada raut wajah gelisah. Sesekali ia menggelenggelengkan kepala. Sejumlah nayaka praja yang sedang sowan pun larut dalam suasana mendung.
Boma gundah dengan sikap dan perilaku istrinya, Hagnyanawati, yang belum lama dinikahi. Pertama, sang istri minta dibuatkan jalan lurus yang tembus dari Trajutrisna hingga Dwarawati. Kedua, yang lebih pelik, ia tahu Hagnyanawati diam-diam berselingkuh dengan Samba, adiknya lain ibu.
Permintaan membuatkan jalan itu tidak mudah karena harus membebaskan tanah yang masuk wilayah Negara Mandura. Bahkan, jalan itu mesti menerjang Astana Gadamadana, tempat peristirahatan abadi para leluhur Mandura.
Apa boleh buat, Boma terpaksa memenuhinya. Tanpa palilah (izin) Raja Mandura Prabu Baladewa, ia perintahkan balanya meratakan Gadamadana. Juru kunci Gunadewa berusaha mencegah para raksasa Trajutrisna yang gegabah menghancurkan makam yang disucikan bagi warga Mandura tersebut.
Tak pelak terjadilah peperangan. Namun, Gunadewa tidak mampu menandingi sekelompok raksasa sehingga ia tewas dikeroyok. Wisatha, putra Prabu Baladewa, yang belakangan datang membantu, akhirnya juga meninggal di tangan pimpinan raksasa, Ditya Yayahgriwa.
Mendapat laporan Gadamadana diobrak-abrik sekelompok yaksa dan putranya gugur, Baladewa mengamuk. Puluhan raksasa mati konyol tersodet pusaka Nenggala, tak terkecuali Yayahgriwa. Ia kemudian buru-buru ke Dwarawati minta keadilan kepada Kresna, adiknya sendiri, atas perbuatan lancang Boma.
Pada kesempatan terpisah, Kresna menerima utusan Trajutrisna, Ditya Maudara dan Ditya Ancakogra di istana Dwarawati. Kedua duta ini meminta izin menjemput Samba. Boma berniat menikahkan Samba dengan Hagnyanawati untuk mengakhiri noda hitam dalam keluarga sendiri.
Boma ialah putra Kresna dari rahim Dewi Pertiwi. Adapun Samba anak dari Permaisuri Jembawati. Kresna masih memiliki anak lain, yaitu Siti Sendari, Setyaka, dan Gunadewa yang menjadi juru kunci Astana Gadamadana.
Kresna mengizinkan Samba pergi ke Trajutrisna. Semula, Samba sempat deg-degan saat bertemu dengan Boma. Namun, perasaan waswasnya itu hilang setelah sang kakak menjelaskan bahwa dirinya ikhlas melepaskan istrinya demi nama baik keluarga besar Dwarawati.
Pembunuhan keji
Sebelum acara pernikahan dilaksanakan, warangka Trajutrisna Pancatyana memanfatkan waktu tersisa untuk menyampaikan uneg-unegnya kepada Boma. Ia mengingatkan akan harga diri dan martabat sebagai raja. Bagaimanapun, katanya, Samba dengan terang-terangan telah menampar muka sang raja.
Sejenak setelah mendengar ucapan patihnya itu, muka Boma memerah dan matanya nanar. Jiwanya dirasuki sukma Bomantara, psikopat yang sebelumnya ia sirnakan karena mengobrak-abrik Kahyangan Jonggring Saloka. Ketika itu, Boma menjadi jagonya dewa.
Boma kehilangan kendali diri sebagai kesatria. Ia lantas mendatangi Samba yang saat itu hatinya sedang berbungabunga. Di matanya, Samba bukanlah adiknya lagi yang ia sayangi, tetapi iblis laknat. Ia kemudian menggelandang Samba dengan kemarahan luar biasa.
Tanpa mendengarkan permintaan ampun, Boma menyeret Samba dan diinjak-injak, digebuki hingga remuk. Boma melakukan pembunuhan keji. Tewasnya Samba dengan cara seperti dicabik-cabik itu terdengar hingga ke Dwarawati.
Kresna menyatakan hukum harus tegak. Semua warga sama di depan hukum. Tidak ada perbedaan, apakah itu anaknya sendiri atau orang lain. Boma dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berat, selain membunuh juga mengobrak-abrik Gadamanda, sehingga harus dihukum berat pula.
Pada akhirnya Kresna sendiri yang harus menghukum setelah sejumlah senapati kepercayannya takluk melawan Boma. Ketika Kresna menghampirinya, Boma melihat bukan sang ayah yang berada di depannya melainkan Bathara Wisnu.
Badannya tiba-tiba bergetar dan seketika ndheprok (terduduk lemas). Boma yang semula penuh amarah kemudian berubah seperti semula sebagai seorang kesatria sejati yang rendah hati, lembut, dan sopan.
Boma mengaku salah dan pasrah menerima hukuman. Kresna melepaskan pusaka Cakra Baskara yang menghujam badan Boma hingga hancur menjadi debu. Pada saat bersamaan, Dewi Pertiwi turun dari Kahyangan menjemput sukma putranya, Boma, menuju ke alam keabadian.
Dalam pakeliran, hukuman yang dijatuhkan Kresna kepada Boma itu terceritakan dalam lakon Gojali Suta. Sang bapak menyingkirkan cinta dan kasih sayangnya kepada sang anak demi tegaknya hukum dan wibawa negara.
Tidak ada keraguan
Kisah ini memberikan pesan bahwa negara tegas menerapkan aturan kepada siapa pun anak bangsa. Tidak ada kegamangan atau keraguan menindak mereka yang melanggar aturan dan atau perundang-undangan.
Di sisi lain, seyogianya janganlah ada pihak (elite) atau siapa pun yang malah membela atau mendukung orang atau kelompok yang sudah terang-terangan mengangkangi aturan. Buanglah kebiasaan suka merabuk aksi-aksi destruktif yang merusak tatanan dan keadaban hanya untuk kepentingan politik sesaat. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved