Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Bertualang di Istana Ular

Fathurrozak
29/11/2020 03:15
Bertualang di Istana Ular
Ular Phyton yang kami jumpai pada sisi gua(MI/Fathurrozak)

MANGGARAI Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), bukan sekadar Labuan Bajo dan deretan pulau cantiknya. Agak melipir dari Labuan Bajo, kita dapat mencari lonjakan adrenaline dengan menyambangi Istana Ular di Desa Galang.

Dengan menumpangi mobil, Media Indonesia berkendara ke desa yang berjarak sekitar 76 kilometer dari Labuan Bajo tersebut, pada pertengahan bulan ini. Sepanjang perjalana  yang berlangsung sekitar dua jam setengah itu, tampak pepohonan dengan daun yang memantulkan warna putih. Rupanya, itu ialah pohon Kemiri, yang menjadi komoditas utama di Manggarai. Selain Kemiri, pohon cengkih juga menjadi salah satu pemandangan menuju Desa Galang.

Saat memasuki desa yang termasuk Kecamatan Welak itu, bunyi njieng (garengpung) nyaring terdengar hingga ke dalam mobil.  Mengingatkan pada suasana di serial animasi Jepang.

Istana Ular terletak agak jauh dari area perkampungan. Tiba di kawasan itu, masih ada beberapa pekerja yang tengah membenahi akses jalan. Terlihat juga para pekerja yang tengah membangun toilet umum.

Untuk mencapai Istana Ular, ada jalan menurun yang perlu diikuti. Tidak curam, sebab warga telah membangun anak tangga untuk mempermudah pengunjung yang datang.

Bicara tentang istana, tentu jangan kita bayangkan bak istana keraton, atau kerajaan ala Eropa. Istana Ular berupa gua, atau nua dalam bahasa Manggarai. Sesampai di mulut gua, pengunjung tak bisa nyelonong masuk begitu saja. Ada ritual yang harus dijalani. Ritual dipimpin pawang dan tetua adat Desa Galang.

Menurut Kepala Desa Galang Ari Samsung yang menemani Media Indonesia dan personel Badan Penghubung Pemerintah Provinsi NTT, pawang diharuskan dari keturunan Suku Ronggot yang konon memiliki keterikatan asal-usul dengan nua ular tersebut.

“Tidak semua bisa. Ada satu suku, namanya Suku Ronggot, dan mereka yang punya keterkaitan sejarah dengan tempat ini. Jadi sebelum masuk, dilakukan acara tabe (permisi). Diharapkan agar tamu terlindungi, tidak mengalami kejadian buruk di dalam,” ungkap Ari kepada Media Indonesia.

Menggunakan bahasa ibu, sang pawang berdoa di mulut nua. Ia lantas memecahkan bagian atas satu butir telur ayam kampung yang telah ia siapkan. Telur yang telah menganga itu lalu ditaruh di sebatang pohon yang menancap di mulut gua. Ritual ini ditujukan sebagai ‘salam’ kepada leluhur, meminta keselamatan saat kami menyusur nua, dan agar ular yang ada di dalam menunjukkan diri.

Seolah menjawab salam kami, tidak beberapa lama kemudian, seekor ular berwarna hijau menampakkan diri. Ia melingkar di salah satu dahan pohon yang ada di luar gua. Melihatnya, Ari mengatakan kehadiran ular hijau itu jadi pertanda keberuntungan. Jika ia muncul, amat mungkin pengunjung akan dapat melihat ‘rekan-rekannya’ di dalam gua.

Kami pun masuk ke gua dengan ekspektasi tinggi, sekaligus rada berdebar. Jalur masih cukup nyaman di sekitaran pintu gua. Namun, seiring perjalanan menuju ke dalam kegelapan perut gua, kondisi jalur berangsur berubah.

Telapak kaki kami mulai terbenam dalam lumpur. Sementara itu, cericit kawanan kelelawar yang bertengger di atap gua terdengar semakin ramai. 

Semakin ke dalam, langkah kami melamban. Sebab, jarak pandang makin terbatas. Kondisi gua yang lembap juga membuat nafas agak
tersenggal.

Hingga kurang lebih 50 meter kami berjalan, belum terlihat tandatanda keberadaan si pemilik istana. Padahal, keringat sudah gencar mengucur, kaki kian terbenam, dan para kelelawar terasa mulai lebih dekat di atas kepala. Belum lagi aroma kotoran mereka yang menusuk hidung, meski kami telah mengenakan masker.

Namun, kami ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Setelah sekitar 100 meter dari pintu gua tempat kami masuk, sang ular unjuk diri. Ular yang merupakan jenis Phytonae, atau piton, atau sanca, itu tengah meringkuk di dinding gua.

Ari dan pawang yang menyertai kami lalu mengarahkan cahaya senter ke tempatnya bersemayam. Ia bergeming. Hingga saat Media Indonesia mencoba memotretnya dengan cahaya minim, kepala ular itu mulai bergerak, dan hap! Ia mencaplok kelelawar yang di dekatnya.


Cerita kemiri dan ular

Ular, bagi warga Manggarai sama sakralnya seperti buaya bagi masyarakat Kalimantan. Menurut penuturan Ari, salah satu cara warga dalam melakukan upaya konservasi pada ular-ular ialah juga dengan mendedahkan cerita-cerita rakyat dari generasi ke generasi.

Mereka yang datang ke Istana Ular juga diharapkan tidak memiliki niatan buruk. Dalam salah satu riwayat cerita rakyat yang dituturkan Ari, dulunya ada seorang tetua adat yang berniat untuk memotong ular di nua itu. Namun, malamnya si tetua adat justru didatangi mimpi diserang ular.

“Dari cerita itu diyakini, yang datang ke nua ular niatnya harus bersih. Sehingga tidak ada satu pun orang yang datang ke sini berani memukul atau membunuh ular. Karena dipercaya akan ada hal buruk yang akan menimpa dia,” kata Ari, yang sebelum menjabat kepala desa di kampungnya pernah bekerja di BirdLife Indonesia.

Dalam riwayat lain, Ari juga menuturkan ada suatu keyakinan jika seorang menyakiti ular, perlakuan itu akan berbalik kepada pelakunya. Cerita itu juga punya kaitan dengan Kemiri yang bijinya tampak banyak dijemur di pelataran rumah warga desa di siang bolong tersebut.

“Kita ada ungkapan lokal, disebutnya Itang. Ini semacam pengajaran yang bernilai edukasi. Kalau membunuh ular apalagi tidak mati, kelak ketika punya anak, di kehidupan ke depannya nanti saat ular itu sakit, dia yang menyakiti juga akan mengalami sakit serupa. Sehingga perlu dilakukan ritual khusus untuk penyembuhan,” papar Ari.

“Menggunakan kemiri yang sudah dibakar lalu dibagi dua. Satunya dikasihkan ular, lalu satunya lagi untuk manusianya. Itu menjadi obat untuk si ular dan manusia, jadi biar si ular itu juga menyembuhkan sendiri. Atas dasar ini, orang Manggarai paling takut untuk memukul ular.”

Sebagai tujuan wisata yang tengah dikembangkan, Istana Ular memang masih bersiap diri. Salah satu yang perlu Anda perhatikan saat berkunjung ke Istana Ular di Desa Galang, persiapannya ialah jas hujan agar baju dan badan Anda tidak kotor oleh kotoran kelelawar. Menyiapkan celana pendek, senter, dan sangat dianjurkan menyiapkan oksigen agar lebih leluasa saat menyusur gua.

Wisata Istana Ular rasanya cocok bagi pelancong berhati petualang dan penyuka medan menantang atau para pencinta reptil. Namun, jika Anda bukan termasuk keduanya, tidak ada salahnya menjajal sensasi di Istana Ular layaknya masuk ke latar tempat yang ada di film horor yang dibintangi Suzanna.

Saat ini, Istana Ular belum mematok tiket masuk. Tentu ini bisa menjadi pilihan alternatif dan tambahan kunjungan di sela Anda berlibur di Labuan Bajo.


Kelapa muda dan gula merah

Seusai menyusur Istana Ular, Ari mengajak Media Indonesia bertamu ke salah satu rumah warga. Setelah cukup ngos-ngosan karena perjalanan dari gua ular harus menanjak anak tangga, dahaga terbayarkan dengan menikmati kesegaran kelapa muda.

Di Desa Galang, cara menikmati kelapa muda cukup berbeda dengan yang ada di Pulau Jawa. Bila di Pulau Jawa kebanyakan menyatukan air kelapa dan dagingnya lalu dicampur dengan gula merah cair, di sini Media Indonesia mencicip cara lain menikmati kelapa muda.

Setelah dibelah, air kelapa dipisahkan dari dagingnya untuk diminum terlebih dahulu. Daging kelapa kemudian bisa kita santap dengan taburan gula merah bubuk. Cara ini melahirkan sensasi beda dengan kebiasaan menikmati kelapa muda. Meninggalkan kesan yang kelak bakal dicoba kembali, setelah pulang dari Manggarai Barat. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya