Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
ADA kegelisahan masyarakat tentang fenomena ulama di negeri ini yang nganeh-nganehi (tidak umum). Sebenarnya kerisauan itu sudah lama, tetapi belakangan kian membuncah. Yang dimaksud nganeh-nganehi ini karena ucapan dan perilakunya bertolak belakang dengan muruah predikatnya tersebut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau pengetahuan agama Islam. Biasanya mereka yang mendapat sebutan (derajat) ulama menjadi panutan umat karena akhlakul karimah-nya.
Menerima mandat
Dalam dunia wayang, ada ulama sejati yang kemasyhurannya bukan hanya nyaring terdengar di seluruh pelosok marcapada, tetapi hingga menembus langit Kahyangan. Sosoknya benarbenar mencerminkan kualitas keulamaannya.
Sang ulama itu bernama Abiyasa. Karena jiwanya yang sangat resik, titah sahaja yang tinggal di Pertapaan Retawu di lereng Gunung Sapta Arga itu ketika melangkah ke alam keabadian dikisahkan tanpa melewati kematian.
Banyak ulama yang luntur karena tidak kuat menahan godaan kenikmatan duniawi. Limbung dengan materi dan kekuasaan. Namun, tidak demikian dengan Abiyasa. Ia teguh dan lulus dari semua ujian nafsu tersebut.
Sejak kecil, Abiyasa hidup bersama ayahnya, Palasara, di Retawu. Palasara adalah seorang resi. Hari-harinya banyak dihabiskan untuk membaca kitab suci dan gentur menjalani teteki (laku prihatin).
Ibunya ialah Durgandini, putri Raja Wiratha Prabu BasuparicataDewi Andrika. Perkawinan kedua orangtuanya kandas tidak lama setelah ia lahir. Palarasa bertemu dan jatuh cinta kepada Durgandini yang ketika itu bernama Lara Amis dalam kisah penuh romantika di Sungai Gangga.
Bak peribahasa kacang ora ninggalke lanjaran, kehidupan Abiyasa tidak jauh berbeda dengan sang ayah. Ia pun ingin menjadi resi (ulama) seperti bapaknya yang sepanjang hidupnya menyebarkan ajaran suci firman-fi rman Ilahi.
Proses laku menggayuh kemuliaan hidupnya itu tidakmudah. Ia terpaksa memikul mandat dari ibunya untuk menjadi raja Astina. Ini dilematis. Di satu sisi sebagai ulama mesti menjauhi (kenikmatan) duniawi, pada sisi lain jangan sampai dirinya dicap anak durhaka.
Durgandini, setelah berpisah dengan Palasara, menikah dengan Raja Astina Prabu Sentanu. Dari pernikahan itu lahir Citranggada dan Wicitrawirya. Keduanya sempat menjadi raja setelah Sentanu mangkat. Namun, keduanya meninggal di usia muda dan tidak memiliki anak.
Berdasarkan paugeran Astina, bila tidak ada keturunan raja, yang duduk di singgasana ialah ‘orang suci’. Maka, Durgandini menugasi Abiyasa yang dinilai sebagai ‘orang resik’ dan kebetulan putranya sendiri.
Sebenarnya ada satu putra Sentanu dari pernikahan sebelumnya dengan Dewi Gangga, yakni Dewabrata alias Bhisma. Namun, putranya itu bersumpah wadat dan menolak menjadi raja. Ia hanya ingin menjadi paranpara di Astina.
Setelah istikharah, Abiyasa sendika dhawuh (menerima) perintah ibunya. Ia terpaksa bersentuhan dengan kekuasaan yang notabene urusan hawa nafsu. Amanah itu sekaligus ia jadikan tantangan untuk menguji kualitas jati dirinya.
Revolusi akhlak
Sepanjang jalan menuju istana, Abiyasa melihat banyak baliho penyambutan dan selamat datang bergambar dirinya. Ia risih dan meminta nayaka praja yang mendampingi segera mencopotinya.
Pertemuan Abiyasa dengan sang ibu berlangsung haru. Ini karena antara anak dan wanita yang melahirkannya itu lama tidak bersua dan sama-sama rindu. Abiyasa sungkem dan mata kedua insan itu berkacakaca.
Durgandini pangling melihat putranya yang berkulit hitam dan bermata tajam. Adapun Abiyasa semula agak canggung melihat perempuan matang di depannya itu ibu kandungnya, mengingat ia berpisah sejak masih bayi.
Abiyasa matur (menyatakan) dirinya menerima mandat, tetapi meminta syarat. Bila nanti sudah ada keturunan yang bisa menggantikannya, ia diizinkan turun takhta. Durgandini menerima persyaratan tersebut.
Pada hari yang telah ditetapkan, Abiyasa dinobatkan sebagai penguasa Astina bergelar Prabu Kresnadwipayana. Untuk melengkapi kedudukannya sebagai raja, Abiyasa diharuskan memiliki pendamping. Lagi-lagi Abiyasa mesti ngestoke (melaksanakan) perintah ibunya untuk berpoligami.
Wanita yang menjadi istri Abiyasa bukan pilihannya sendiri. Ia dinikahkan dengan dua janda mendiang Citranggada dan Wicitrawirya, yakni Ambika dan Ambaika. Abiyasa juga dijodohkan dengan Datri, pengidung istana yang usianya juga sudah tidak muda.
Karena berlatar belakang resi, revolusi akhlak menjadi salah satu program prioritas. Kresnadwipayana memberi keteladanan. Lakunya, ati, lati, lan pakarti nyawiji, artinya antara hati, ucapan, dan perbuatan selaras.
Di bawah kepemimpinannya, rakyat Astina yang berbineka hidup rukun, ayem, dan tenteram. Pada sisi lain, banyak negara lain yang menjalin persahabatan dengan komitmen saling menghormati.
Waktu terus berjalan. Tidak terasa tiga putra Kresnadwipayana dari ketiga istrinya sudah dewasa, yakni Drestarastra, Pandu, dan Yama Widura. Sang raja merasa sudah saatnya mengakhiri ‘pengembaraannya’ dalam dunia kekuasaan yang membuatnya pengap.
Pada suatu hari yang baik, Kresnadwipayana lengser keprabon (turun takhta). Ia menyerahkan kekuasaan kepada Pandu yang wasis (pintar) dan jangkep (lengkap) indranya. Pandu naik takhta bergelar Prabu Pandudewanata.
Kembali ke Retawu
Kresnadwipayana kemudian melucuti diri dari segala aksesori kebesarannya sebagai raja dan fasilitas yang melekat. Setelah ‘bersih’, ia pamit kepada keluarga, sentana dalem (kerabat) serta nayaka praja, dan rakyat Astina untuk kembali ke Retawu.
Abiyasa menolak perjalanan ke tanah leluhurnya dilepas dan diantar dengan seremoni kerajaan. Ia tegaskan dirinya sudah menjadi rakyat biasa dan ingin pulang ke kampung halaman melanjutkan nawaitunya sebagai ulama.
Dunia menjadi saksi, Abiyasa adalah ulama yang ber-akhlakul kharimah. Tutur katanya halus dan pesan-pesannya menenteramkan.
Kepribadiannya rendah hati, sopan, dan santun. Kesimpulannya, ia bukan ulama-ulamaan, atau dalam bahasa gaulnya, ia bukan ‘ulama kaleng-kaleng’. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved