Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
TANPA mengurangi rasa hormat, oposisi di negeri ini belum bermutu, paling tidak hingga saat ini. Aksi mereka serta para pihak yang berseberangan dengan pemerintah, masih berkelas saur manuk alias cuma banyak cerewet dan ribut.
Kritik yang kerap dihamburkan kepada pemerintah tanpa bobot. Sekadar waton sulaya atau tidak sepaham. Kecenderungannya mencaci, memfitnah, dan ngayawara (membual). Padahal, demokrasi yang sehat membutuhkan adanya checkbalance yang berkualitas.
Mencegat kesatria
Wajah oposisi seperti itu, kalau dalam cerita wayang, bak aksi Buta Prepat. Empat yaksa yang banyak teriak, galak, sangar, dan tampak mengerikan tetapi rapuh. Dan karena tidak ‘berisi’ (sakti), maka gampang mati.
Keempatnya itu yaitu Cakil, Rambutgeni, Pragalba, dan Butaterong. Gerombolan buta ini kebiasaannya usil, mengganggu, dan merecoki siapa pun (kesatria) yang menyentuh wilayahnya.
Dari sisi fisik, Cakil kelihatan menakutkan. Mukanya merah darah, mata licik, dagu memanjang dengan gigi dan taring amat runcing. Badannya liat seperti rotan. Geraknya trengginas, polahnya lincah.
Rekannya, Rambutgeni, tak kalah mengerikan. Warna rambutnya bak lidah api yang menjilat-jilat. Berbeda dengan Cakil, matanya bulat melotot dengan badan berotot. Mulutnya menyeringai dengan gigi mirip gergaji dan taring seperti belati. Ia pandai koprol dan bersalto.
Adapun Pragalba hampir sama dengan Rambutgeni. Badannya gempal dan lihai menjungkal. Gigi dan taringnya mingis-mingis (mengilap) seperti pisau yang baru diasah. Gemar berteriak-teriak dengan suara memerindingkan dan menyulut bulu kuduk.
Berbeda dengan ketiga rekannya, Butaterong berbadan gendut dengan perut buncit. Ia juga memiliki gigi dan taring runcing dengan mata melotot. Hidungnya sangat besar dan menggantung mirip terung. Bila bicara suaranya sengau.
Watak keempat buta tersebut keras dan tidak kenal kompromi. Selalu menganggap dirinya benar sehingga siapa saja yang tidak sejalan pasti dilawan dengan kekerasan. Suka main keroyok dan membabi buta.
Buta Prepat muncul pada sesi perang kembang. Disebut demikian karena sesungguhnya itu hanya ‘bunga-bunga’ cerita. Artinya, dari sisi cerita lakon, perang kembang bukan bagian pokok dari sebuah kisah, sekadar ‘aksesoris’ cerita sehingga selalu menarik.
Kisahnya, Cakil dan kawankawan tinggal di tengah hutan. Mereka merasa memiliki dan mengusai tempat tersebut. Oleh karena itu, siapa saja yang melewati belantara itu pasti dihentikan.
Dalam seni pakeliran, biasanya yang memasuki wilayah kekuasaan Buta Prepat itu seorang kesatria. Ia dalam perjalanan pulang atau sedang menuju ke tempat tertentu setelah mendapat wejangan luhur atau ilmu dari seorang begawan atau resi di sebuah pertapaan.
Misalnya, Arjuna, kesatria Pandawa, dalam perjalanan kembali ke Kesatriyan Madukara atau Istana Amarta setelah sowan kepada eyangnya, Begawan Abiyasa, di Pertapaan Saptaarga. Saat melewati belantara langkahnya diganggu Buta Prepat.
Keempat buta sirna
Biasanya, Cakil bertugas sebagai juru bicara. Ia bertanya kepada Arjuna mau ke mana. Sang kesatria tidak menjawab, tetapi hanya mengatakan bahwa dirinya memang harus menjelajahi hutan tersebut.
Cakil menegaskan tidak ada satu pun orang yang boleh melewati wilayah kekuasaannya. Arjuna dipaksa kembali atau mencari jalan lain. Tapi, karena sama-sama bertahan dengan sikap masingmasing, terjadilah peperangan.
Sebelum melancarkan serangan, Cakil mengeluarkan suara-suara mengerikan sambil menyeringai memperlihatkan taring dengan maksud merontokkan mental lawan. Tapi, sang kesatria tak takut dan keberaniannya tidak surut sedikit pun.
Langkah berikutnya, Cakil menyawuri (melempari) kesatria dengan tanah dan sampah sambil memamerkan sejumlah jurus pukulan. Namun, itu pun tak membuat kesatria mundur. Cakil kemudian dengan cepat menyerang, tetapi tidak ada satu pun kepalan tangannya yang mengenai sasaran.
Sebaliknya, ia mendapat pukulan counter (balik) dari ayunan tangan kesatria yang membuatnya jatuh terjerembab. Itu terjadi berkalikali sehingga Cakil kehabisan cara dan kemudian menghunus keris. Ia pertontonkan keterampilannya menggunakan keris.
Namun, berulang kali serangan dengan senjata itu pun hanya menusuk angin karena lawan lihai berkelit. Dengan kegesitannya, kesatria bisa merampas keris dan malah Cakil kemudian tertusuk perutnya akibat polahnya sendiri. Cakil mengerang lalu tersungkur.
Matinya Cakil membuat Rambutgeni dan Pragalba meradang. Keduanya bersamasama menyerang kesatria dari segala arah. Kesatria kewalahan mengimbang serangan bertubitubi. Ia mundur dan kemudian melepaskan dua anak panah yang tepat mengenai sasaran. Dua yaksa galak tersebut terkapar.
Muncullah Butaterong. Sanggit banyak dalang, yang menghadapi buta ini Petruk, salah satu panakawan yang mendampingi kesatria. Dalam adegan ini banyak tersuguhkan hiburan sebagai selingan ketegangan yang terjadi pada peperangan sebelumnya.
Tidak ada suasana permusuhan antara Butaterong dan Petruk dalam pertemuan ini. Keduanya malah geguyonan (bercanda). Misalnya, saling sapa dan bertanya kabar keluarga. Namun, karena suara Butaterong bindheng (sengau), Petruk kerap salah tangkap.
Salah mengerti yang terusmenerus itu membuat Butaterong kesal. Tapi, Petruk malah tidak berhenti menggodanya dengan melontarkan berbagai pertanyaan. Karena tidak pernah nyambung, lama-lama Butaterong stres dan akhirnya tewas.
Hanya kegaduhan
Secara filosofis, Buta Prepat melambangkan nafsu manusia, yakni amarah, aluamah, suapiah, dan mutmainah. Keempat nafsu itu selalu ada dalam setiap insan selama masih memiliki lakon (hidup).
Kemenangan kesatria atas Buta Prepat tersebut merupakan simbol tentang kemampuan mengendalikan keempat nafsunya. Oleh karena itu, Perang Kembang ini nyaris selalu muncul dalam setiap lakon yang melibatkan seorang kesatria.
Dalam konteks kebangsaan, polah Buta Prepat itu ibarat atraksi pihak-pihak yang selama ini beroposisi atau berseberangan dengan pemerintah. Gemar teriak, galak, dan tampak menggiriskan, tetapi tidak ‘sakti’ sehingga hanya menghasilkan kegaduhan. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved