Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
MASYARAKAT Papua haruslah berbangga. Dari tanah cenderawasih itu, lahir seorang penulis hebat John Waromi yang melahirkan karya Anggadi Tupa Menuai Badai (2015).Dalam novel itu pria Papua tersebut bercerita tentang kehidupan sosial dan budaya suku Ambai di Papua. Suku Ambai menjaga kearifan lokal ekologis dengan selalu memelihara keberkelanjutan keanekaragam an alam. Anyaman cerita dalam novel begitu hidup saat menampilkan berbagai dilema yang muncul akibat kerusakan lingkunganyang berawal dari keserakahan. Hukum adat tidak lagi mampu melindungi hidup mereka. Proses penulisan novel ini pun terbilang singkat, tidak sampai dua bulan. Menurut John, materi dan bahan tulisan sudah ada dalam pikirannya. Mengendap sedemikian lama, menunggu masa tiba untuk membuncah keluar. “Itu karena sudah ada dalam pikiran. Sekian banyak timbunan dalam pikiran dari dulu,” terang John saat membeberkan proses kreatif novel Anggadi Tupa Menuai Badai dalam Obrolan Pembaca Media Indonesia (OPMI) di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta (12/3). Diskusi bedah buku kerja sama antara Media Indonesia, Yayasan Lontar, dan Dewan Kesenian Jakarta ini berlangsung secara dinamis. Sekitar 60 peserta tampak antuis bertanya pada penyair asal Papua ini. Ada tamu istimewa pada OPMI kali ini, karena hadir penyanyi yang kerap membawakan lagu tentang kritik sosial, yakni Iwan Fals dan Oppie Andaresta. Penulis novel legendaris Ali Topan Anak Jalanan, Teguh Slamet Hidayat
Adrai atau yang lebih dikenal dengan Teguh Esha, juga turut hadir dalam diskusi ini. Iwan Fals mengungkapkan pandangannya terhadap sosok penulis asal Papua ini. Dalam pandangan Iwan Fals, John ialah sosok yang rajin. Sering kali saat berkumpul dengan John, Iwan Fals mendapati John yang meminta izin untuk ke ke belakang. Ternyata John mencari tempat untuk membuat catatan-catatan kecil. Dua puluh lima tahun berteman bukan waktu yang pendek bagi Iwan Fals untuk mengenal John Waromi. “Saya harus datang ini. Jhony (John) begitu serius ngomong tentang dirinya lewat laut. Itu kan tidak semua orang bisa menggalami kayak Jhony. Saya tahu dia itu serius dalam hal tulismenulis,” terang Iwan Fals. John Waromi juga bercerita tentang aksi heroik di suatu habitat. Lingkungan ini menjadi tempat bersua makhluk darat
dan laut. Mereka hidup harmonis. Sampai ketika sosok tamak muncul.
Melalui petualangan seekor ikan amfibi bernama Ande vavait, yang diberi kemampuan hidup di laut maupun daratan, John menganyam cerita itu secara menarik dengan menampilkan berbagai dilema yang dialami makhluk hidup ketika lingkungan mereka dirusak. Hukum adat tidak lagi mampu melindungi hidup mereka. Cerita keseharian Alegori John merupakan keprihatinan seorang suku Ambai yang senantiasa mencari jalan untuk bertahan di Papua Barat. Tokoh Bohurai dikisahkan sebagai binatang air yang rakus dan serakah. Andevavait gambaran kearifan manusia. Meski begitu, Bohurai dan Andevavait sahabat seperti manusia biasa. Menurut John, tema binatang laut sebagai cermin karakter manusia sudah terta nam sejak kecil. Sebagai anak Ambai, John mendapati wejangan atau nasihat orangtua melalui cerita keseharian. Orangtua suku Ambai sering mengambil perumpamaan dengan berbagai biota laut untuk mencerminkan karakter yang kurang patut. “Kau jangan rakus seperti ikan porobibi, jangan kayak ikan lalat. Jangan nakal kayak ikan banyak-banyak,” terang John. Dalam keseharian orangtua suku Ambai menasehati agar tidak merugikan orang lain. Hanya mengambil hak sendiri, tidak merampas hak orang lain. “Kalau itu hakmu ya kamu ambil. Jangan berlebihan, jangan ambil milik orang lain,” lanjutnya. Itulah kenapa, kesederhanaan seorang John Waromi begitu kental. Tak terke cuali saat OPMI, ia tampak bersahaja dalam balut anbaju batik dan celana kain. Ketika John di Papua dan melihat kebijakan otonomi khusus tengah berlangsung, ia melihat begitu meriah pejabat korupsi secara besar-besaran. Hal itu pun diterima sebagai sesuatu
yang wajar. “Bagi kita itu aneh,” terangnya. Namun itulah John, seorang yang hanya mampu berprotes dan menjerit lewat karya. “Yang saya buat, ya, saya menulis ini. Yang menkritik diri saya, saudarasaudarasaya, paman-paman saya yang juga pejabat yang lupa diri,” tegasnya. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved