Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Moral Gandamana 

Ono Sarwono Penyuka wayang
20/9/2020 01:55
Moral Gandamana 
Ono Sarwono Penyuka wayang(MI/Ebet)

KONTESTASI menduduki jabatan sebagai pemimpin di daerah sudah memulai tahapannya. Para bakal pasangan kandidat telah
mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Ada petahana, ada pula calon baru. Ada yang lewat rekomendasi parpol, ada pula yang dari jalur nonparpol atau perseorangan. Menjadi pemimpin pada level apa pun merupakan hak asasi. 

Akan tetapi, yang perlu terus dibangun di negeri ini ialah peradaban moral menjadi pemimpin. Paling tidak diawali dengan kesadaran mengaca diri, apakah pantas. Ini bukan soal keberanian dan kenekatan atau karena memiliki modal finansial melimpah.

Dalam konteks moral tersebut, ada kisah dalam dunia wayang tentang keikhlasan mengintrospeksi diri meski hak menjadi pemimpin sudah berada dalam genggaman. Karena merasa ada kekurangan, ia dengan penuh kesadaran mencampakkannya. Sang tokoh ini bernama Raden Gandamana.


Diasuh Bathara Bayu

Alkisah, meski sudah sekian lama berumah tangga, pasangan Prabu Gandabayu-Gandarini belum memiliki anak. Namun, raja Negara Pancala ini tidak galau dan putus asa. Setiap hari ia bersama sang istri terus berusaha seraya memohon kepada Sang Pencipta agar diberikan keturunan.

Usaha dan doa mereka akhirnya terkabul. Mereka memiliki anak kembar. Anak yang lahir awal perempuan diberi nama Gandawati, sedangkan yang lahir berikutnya laki-laki diberi nama Gandamana. Betapa bahagianya keluarga Gandabayu dengan kelahiran kedua anak sekaligus itu.

Namun, untuk sementara, Gandabayu-Gandarini harus berpisah dengan anak laki-laki mereka. Bathara Narada, warangka raja Kahyangan Jonggring Saloka, membawa Gandamana dan kemudian menyerahkannya kepada Bathara Bayu untuk diasuh dan dibesarkan.

Selama menjadi ‘anak’ Bathara Bayu, Gandamana pernah menjadi sraya atau bala bantuan dewa mengusir Resi Jarwada yang mengobrak-abrik Kahyangan. Pasukan dorandara dan paradewa tidak ada yang mampu menghentikan amarah pengacau yang bertiwikrama menjadi raksasa menggiriskan itu.

Jarwada mengamuk karena kecewa kepada dewa yang menolak permintaannya agar menghidupkan kembali saudara tuanya, Jarwati. Kakaknya itu bunuh diri karena malu setelah cintanya ditolak Pandu, pangeran tampan Astina putra Prabu Kresnadwipayana.

Setelah dinilai cukup modal sebagai kesatria, Bathara Bayu memerintahkan Gandamana kembali ke marcapada. Wanti-wantinya, kesatria adalah pejuang di garis keutamaan serta tidak mempunyai pamrih lain.

Gandabayu sangat gembira putranya telah kembali. Apalagi keturunannya itu telah menjadi pemuda yang gagah perkasa. Tidak ada kekhawatiran akan kelanjutan kepemimpinan di Pancala. Gandamana pun kemudian diwisuda menjadi putra mahkota yang berarti bakal menjadi raja berikutnya.

Pada suatu ketika, atas izin sang ayah, Gandamana mengadakan giri patembaya (sayembara perang), siapa saja yang bisa mengalahkan dirinya berhak memboyong Gandawati. Satu sisi, ia ingin meneter (menguji) kekuatan otot dan tulangnya, di sisi lain berharap kakak iparnya adalah orang sakti mandraguna.


Menjadi murid Pandu 

Tidak terhitung banyaknya raja, pangeran, kesatria, dan pemuda dari berbagai negara yang mengikuti sayembara. Namun, tidak ada satu pun yang mampu menundukan Gandamana.

Mereka kembali ke negara masingmasing dengan tangan hampa. Terakhir, datanglah Sucitra yang langsung naik ke gelanggang perang. Namun, seperti peserta lainnya, pemuda yang mengaku dari Negara Astina ini tidak berkutik. 

Pada saat itu Gandamana berpesan kepada Sucitra agar Raja Astina Prabu Pandu Dewanata saja yang mengikuti sayembara. Keikutsertaan Sucitra, yang aslinya warga Negara Atasangin, dalam sayembara tersebut sebenarnya diperintah Prabu Pandu yang juga gurunya. 

Ia memohon maaf karena gagal mengemban misi. Sucitra pun menyampaikan pesan undangan Gandamana. Terkesan dengan keampuhan Gandamana, Pandu lalu menjajalnya. Ternyata putra mahkota Pancala itu memang pilih tandhing, tidak sembarangan.

Namun, di depan Pandu, Gandamana masih kencur, takluk tanpa syarat. Sebagai pemenang, Pandu berhak memboyong Gandawati. Namun, dengan hak prerogatifnya, putri Pancala itu ia berikan kepada Sucitra. Di kelak kemudian hari, Sucitra menjadi raja Pancala bergelar Prabu Drupada.

Gandamana kagum kepada Pandu. Meski secara fisik tampak biasa saja dan berpembawaan halus, Pandu sangat sakti. Ia merasa masih belum apa-apa sehingga muncul keinginannya ngangsu (menimba) ilmu kepada Pandu.

Saking kuatnya keinginan serta keseriusannya memburu ilmu, ia tanggalkan kedudukannya sebagai putra mahkota. Ia menyadari menjadi pemimpin mesti memiliki modal hebat luar dalam. Inilah hakikat pelajaran yang ia terima langsung dari Pandu.

Pascasayembara, Gandamana mohon pamit kepada bapak dan ibunya untuk mengabdi kepada Pandu ke Astina. Meski agak kecewa, Gandabayu mengizinkannya. Ia sangat mengenal Pandu, apalagi dirinya juga berkawan dekat dengan ayahnya, Prabu Kresnadwipayana.

Dengan tangan terbuka Pandu menerima Gandamana sebagai muridnya, yang kemudian menjadi salah satu siswa terbaik. Berkat ketekunan menyerap berbagai ilmu, terutama aji kawijayan (kesaktian), Gandamana disegani siapa pun.

Menurut seni pakeliran, Gandamana memiliki banyak ajian. Di antaranya, aji sepi angin sehingga ia bisa berlari bak kilat. Kemudian bandung bandawasa yang membuatnya memiliki tenaga seribu gajah dan bisa menghancurkan apa pun. Ada pula blabag pangantol-antol yang menjadikannya tidak mempan senjata.


Menjadi patih

Pandu terkesan dengan Gandamana dan kemudian mengangkatnya menjadi patih di Astina. Gandamana bangga karenanya. Ini kepercayaan besar yang harus diemban dengan jiwa pengabdian dan sepenuh hati.

Duet kepemimpinan Pandu dengan Gandamana menjadikan Astina semakin kuncara. Banyak negara yang tunduk dan menjalin
persahabatan. Astina pun menjadi negara yang adil dan makmur.

Rakyatnya hidup sejahtera dan tenteram. Kisah Gandamana ini merupakan contoh kerelaan mengukur diri. Hak sebagai pemimpin sudah di tangan, tapi dilepas karena merasa tidak pantas, ada kekurangan dalam dirinya. Baginya, jabatan adalah amanah suci, bukan untuk gagahgagahan dan gemblelengan (mainmain). (M-2)
 


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya