Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Politik Nglandak

Ono Sarwono Penyuka wayang
06/9/2020 01:50
Politik Nglandak
Ono Sarwono Penyuka wayang(MI/Ebet)

KATA nglandak pada judul di atas diambil dari lakon dalam dunia pakeliran, Aswatama Nglandak.

Pokok cerita ini mengisahkan tentang cara Aswatama bergerak secara diam-diam menuju target sasaran bak binatang landak. Ia membuat jalan menyerupai gorong-gorong dari tempat persembunyiannya hingga sampai ke jantung Istana Astina. 

Di situlah Aswatama kemudian menyelinap melampiaskan syahwat politiknya kepada mereka yang ia benci. Secara filosofis, kini taktik nglandak tampaknya telah menjadi bagian dari cara sebagian elite dan warga dalam mencapai tujuan, terutama dalam berpolitik di negeri ini. 

Seperti dalam lakon wayang tersebut, bila hal itu tidak diwaspadai atau dicegah, akan terlalu mahal akibatnya. Kartamarma-Aswatama Alkisah, Perang Bharatayudatelah berakhir dengan kemenangan Pandawa. 

Kurawa dan bala tentaranya habis dalam pertempuran yang berlangsung 18 hari di Kurusetra. Akan tetapi, walaupun sudah lenyap, ternyata masih ada sisa-sisa rezim Kurawa yang masih hidup, di antaranya Kartamarma dan Aswatama.

Ketika pecah perang antartrah Abiyasa itu, Kartamarma diberi tugas oleh Prabu Duryudana menjaga istrinya, Banowati. Ia gagal  melaksanakan perintah karena permaisuri raja itu bermain mata dengan Pandawa.  Setelah perang berakhir, Kartamarma menggelandang.
Adapun Aswatama, pada awalnya juga terjun ke medan perang di pihak Kurawa meski ia bukan anggota keluarga putra-putri pasangan Drestarastra-Gendari tersebut. 

Ia membela Kurawa karena ayahnya, Durna, menjadi paranpara rezim Duryudana. Kesetiaannya kepada raja total dan setulus hati. Aswatama diusir Duryudana karena lancang menuduh Prabu Salya berpihak kepada Pandawa.

Menurut Aswatama, mertua Duryudana yang juga raja Mandaraka itu menjadi biang kerok gugurnya senapati Karna ketika berperang melawan Arjuna. Pada suatu hari, secara tidak sengaja Kartamarma bertemu Aswatama di tengah hutan. 

Mereka pangling satu sama lain karena penampilannya sama-sama seperti wong alasan, matanya nanar, berkulit kusam, rambut panjang awut-awutan dengan pakaian seadanya.

Setelah berbagi cerita, Kartamarma dan Aswatama sepakat melanjutkan perjuangan dengan target menghabisi Pandawa dan semua keluarganya yang tersisa. Namun, Kartamarma sempat ragu karena hanya berkekuatan dua orang.

Aswatama menawarkan ide masuk ke istana Astina dengan dhedhemitan, yaitu lewat bawah tanah dengan membuat terowongan. Itulah strategi yang ditempuh karena bila misi balas dendam dilakukan secara terbuka, pasti akan sia-sia.

Kerpa, paman Aswatama, menyarankannya agar mengurungkan niat tersebut. Ia mengajak keponakannya itu mencari kehidupan baru dengan menjadi orang biasa di desa. Namun, Aswatama menolak dan tetap dengan tekadnya.

Pada suatu hari, Aswatama dan Kartamarma memulai membuat terowongan. Pekerjaan yang tidak mudah. Hanya karena semangat membara, mereka terus menggali. Tiba-tiba bagian terowongan roboh sehingga keduanya terjebak di dalam.

Mereka panik. Beberapa saat kemudian muncul sinar terang. Dari dalam cahaya itu terdengar suara Bathari Wilutama. Tampaknya sang ibu tidak tega melihat nasib anaknya, Aswatama.

Ia lalu membuatkan jalan agar putranya bisa keluar dari perut bumi. Wilutama menasihati Aswatama agar membatalkan niatnya. Aswatama meminta maaf bahwa tekadnya sudah bulat. Karena sudah tidak bisa mencegah, sebelum kembali ke Kahyangan, Wilutama memberikan pusaka yang kesaktiannya bisa untuk membuat terowongan sampai ke tujuan.


Banyak korban

Pada suatu malam yang dingin, Pandawa beserta  keluarganya tertidur pulas di tempat peraduan masingmasing. 

Mereka baru saja mangayubagya atas kelahiran putra mendiang Abimanyu dari rahim Dewi Utari. Orok laki-laki itu diberi nama Parikesit.

Pandawa kembali ke Astina setelah Bharatayuda berakhir. Keturunan Prabu Pandudewanata itu pulang ke tempat mereka dilahirkan setelah hidup terluntalunta belasan tahun karena terusir oleh Kurawa yang merampas takhta Astina.

Tanpa ada yang menyadari, dua bayangan muncul merayap dari lubang tanah di kompleks istana Astina. Semua prajurit penjaga yang bertugas pada malam itu terlelap. Sesuai rencana, Aswatama langsung mengendap masuk ke bagian bangunan, sedangkan Kartamarma berada di luar.

Aswatama menemukan Pancawala dan Drestajumna tidur nyenyak di sebuah kamar. Tanpa pikir panjang, ia sirnakan putra Puntadewa itu dengan pusaka cundamanik. Berikutnya Drestajumna menjadi korban kedua.

Setelah itu, Aswatama menyelinap ke kamar berikutnya. Di sana ia melihat Srikandi yang tidur dengan kain tersingkap. Sejenak terlintas pikiran lain, tapi itu segera ia buang. 

Secepatnya ia habisi senapati Amarta tersebut. Korban berikutnya Sembadra, Niken Larasati, dan Banowati. Dengan berjingkat-jingkat, Aswatama mencari Parikesit. Matanya melihat Drupadi, istri Puntadewa, tertidur pulas. Ketika baru akan mendekati, terdengar suara tangis bayi.

Aswatama berbalik mencari sumber tangisan itu. Matanya nanar melihat bayi tergolek di tempat tidurnya. Aswatama yakin itulah Parikesit. Tanpa membuang waktu, ia ayunkan cundamanik ke tubuh bayi. 

Hampir bersamaan kaki bayi menjejak pulanggeni yang berada di sampingnya dan bak kilat pusaka itu menghunjam dada Aswatama hingga mati seketika. Teriakan Aswatama menjemput ajal membangunkan Drupadi dan Utari.  Keduanya histeris melihat jasad di samping Parikesit dan banyaknya korban pembunuhan. Werkudara dan Arjuna terbangun karenanya. Werkudara, yang baru saja melangkah ingin mengetahui apa yang terjadi, mendadak dihantam gada Kartamarma. Terjadilah perkelahian. Akhirnya, Kartamarma mati remuk digebuk dengan gada rujakpolo.


Harus waspada

Pandawa dirundung duka mendalam. Prabu Kresna, botoh Pandawa, kecewa tidak bisa menjaga ketenteraman istana Astina. Ia meminta Puntadewa segera menyiapkan pemerintahan baru.

Setelah Pandawa berembuk, ditunjuklah Parikesit menjadi raja. Karena Parikesit masih bayi, Puntadewa menjadi wali bergelar Prabu Kalimataya. Patihnya, terpilih bungsu Pandawa, Sadewa.

Belajar dari kisah itu, diperlukan kewaspadaan terhadap caracara nglandak yang bisa menghancurkan dari dalam. Cara tersebut sangat kejam dan bengis. Lakukan perjuangan apa pun dengan jiwa kesatria. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya