Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
SUMAN alias Tri Gantalpati sudah mengantisipasi, bahkan siap menerima risiko apa pun akibat kebrutalan langkah politiknya terhadap pemerintahan Prabu Pandudewanata. Namun, di luar jangkauan akalnya, dan tentu juga bagi banyak orang, ia malah mendapat penghargaan bintang mahaputra.
Yang lebih tidak masuk nalar lagi, juga bagi Suman sendiri, karier politik yang ia garap dengan modal ‘bandha nekat’ bisa menghantarkannya mencapai posisi tinggi, yakni menjadi warangka-nya raja bergelar Mahapatih Sengkuni.
Barangkali ini yang dimaksud oleh sejumlah kalangan bahwa dalam politik itu segala sesuatu bisa saja terjadi? Yang pasti, dalam kisahnya, berpolitik tanpa fondasi tatanan, nilai, etika, dan moral, pada akhirnya menanggung karmanya.
Menjadi patih
Alkisah, Suman ialah warga negara asing yang mendapat berkah bisa masuk kalangan elite di Astina. Keberuntungannya itu semata karena mengikuti kakaknya, Gendari, yang dinikahi Drestarastra, putra sulung raja Astina saat itu, yakni Prabu Kresnadwipayana. Suman adalah putra Prabu Suwala, raja Negara Plasajenar.
Langkahnya terjun ke politik dilatarbelakangi oleh desakan Gendari yang menginginkan putra mbarep (sulung)-nya, Kurupati, menjadi raja di Astina. Kala itu tampuk kekuasaan Astina dipegang Pandudewanata, adik Drestarastra.
Berdasarkan paugeran negara, Drestarastra sebenarnya berhak menggantikan ayahnya sebagai raja. Namun, ia tidak bersedia lantaran merasa tidak mampu mengusung amanah tersebut akibat cacat netra (buta). Ia legawa dan mempersilakan adiknya, Pandu, yang meneruskan estafet kepemimpinan di Astina.
Pada suatu ketika, dalam pertemuan dengan para nayakapraja, Pandu mempertanyakan ketidakhadiran Tremboko dalam beberapa kali pisowanan agung Astina. Pandu khawatir ada sesuatu pada raja Pringgondani itu.
Selama ini, hubungan kedua raja itu sangat akrab. Saking raket (dekat)-nya, mereka sudah seperti saudara. Malah, Tremboko menganggap Pandu sebagai gurunya dalam berbagai ilmu, baik dalam pemerintahan maupun kanuragan (kesaktian).
Maka, menjadi kebiasaan Tremboko rajin sowan ke Astina. Pada saat mereka membicarakan Tremboko, di alunalun ada tiga yaksa Arimba, Brajadenta, dan Brajamusti utusan dari Pringgondani.
Mereka dicegat Suman dan ditanya apa keperluannya. Arimba mengatakan dirinya bersama kedua adiknya diutus bapaknya (Tremboko) menghaturkan surat kepada Pandu. Menurut aturan Astina, kata Suman, raksasa dilarang menghadap raja.
Suman meminta surat itu dan dirinya yang akan menyampaikan kepada Pandu. Ketiga utusan itu diminta menunggu kabar di alun-alun. Sebelum masuk ke setinggil, di pojok istana, Suman membuka surat tersebut.
Isinya permohonan maaf Tremboko karena sudah sekian lama tidak sowan ke Astina karena kesibukan mengurus negara. Surat itu lalu dibakar dan diganti surat baru dengan isi tantangan perang. Suman lalu menghadap Pandu dan matur bahwa ada utusan Pringgondani datang menghaturkan surat. Akan tetapi, kata Suman, duta tersebut meminta dirinya untuk menyampaikan. Pandu kaget setelah membaca surat tersebut. Ia tidak menduga Tremboko berani lancang. Namun, masih ada sedikit keraguan dalam hatinya sehingga ia mengutus Patih Gandamana untuk mengonfirmasi kebenarannya.
Mendengar rencana itu, Suman bergegas menemui Arimba agar segera kembali ke negaranya. Dengan berlagak berbaik hati, ia bocorkan kabar bahwa Pandu akan mengirim Gandamana untuk menghancurkan Pringgondani.
Arimba dan kedua adiknya buru-buru kembali ke negaranya dan dengan cepat menyiagakan bala pasukan di perbatasan. Ketika Gandamana baru beberapa langkah masuk ke wilayah Pringgondani, ia dikeroyok Arimba dan pasukannya.
Situasi itu dimanfaatkan Suman. Ia memerintahkan keponakannya, Kurawa, membuat lubang yang dalam di perbatasan wilayah Astina yang disamarkan dengan ditutupi ranting dan daun. Gandamana yang terdesak mundur akhirnya kecemplung dalam luweng tersebut.
Kurawa, di bawah komando Suman, beramai-ramai menimbunnya dengan batu dan tanah hingga rata. Ia pastikan Gandamana mati di dasar luweng. Suman lalu secepatnya menghadap Pandu dan melaporkan bahwa Gandamana gugur dikeroyok prajurit Pringgondani.
Suman juga mengaku bersama Kurawa mampu menahan laju pasukan Pringgondani di perbatasan. Ia informasikan juga bahwa Tremboko tengah mempersiapkan kekuataan untuk menggempur Astina dalam waktu dekat.
Pandu menerima semua laporan Suman itu sebagai kebenaran. Bahkan, ia terkesan dengan ‘patriotisme’ Suman dan dinilai telah berjasa besar bagi bangsa dan negara. Atas usulan Dewan Gelar Tanda Jasa Kehormatan Astina, Pandu memberikan penghargaan Bintang Mahaputra kepada adik ipar Drestarastra itu.
Malah, untuk mengisi kekosongan jabatan patih, atas usul Drestarastra tapi itu sebenarnya desakan dari Gendari, Pandu mengangkat Suman sebagai patih menggantikan Gandamana dengan gelar Mahapatih Sengkuni.
Ketika sedang digelar pasewakan, tidak lama setelah pelantikan Sengkuni sebagai patih, tibatiba datanglah Gandamana. Tanpa meminta izin sang raja, ia menggelandang Sengkuni ke alunalun dan menggebuki hingga babak belur.
Gandamana, yang dengan kesaktiannya lolos dari luweng maut, lalu lapor kepada Pandu apa yang sesungguhnya terjadi. Sumanlah yang menjadi biang kerok kekacauan. Dirinya juga dijadikan target pembunuhan karena Suman ingin mendapatkan jabatan patih.
Pandu tidak menerima laporan itu. Ia malah menyalahkan Gandamana yang dinilai tidak tahu uda negara (tananan negara), berani main hakim sendiri terhadap Sengkuni. Puncaknya, Gandamana diusir dari Astina.
Mati mengenaskan
Langkah politik culas Sengkuni tidak berhenti di situ. Dialah yang kemudian menjadi ‘kreator’ terjadinya peperangan besar antara Astina dan Pringgondani.
Dalam peperangan itu, yang dalam seni pakeliran disebut Perang Pamuksa, kedua raja itu sama-sama gugur. Setelah Pandu wafat, semakin terbuka lebar Sengkuni bermain. Dengan berkolaborasi bersama Gendari, lewat kekuasaan ad interim Drestarastra, Kurupati akhirnya menjadi raja di Astina bergelar Prabu Duryudana.
Sejak itulah terbangun permusuhan antara Duryudana (Kurawa) dan Pandawa (keturunan Pandudewanata). Perseteruan itu berakhir dalam Perang Bharatayuda yang dimenangi Pandawa. Sengkuni mati mengenaskan di tangan Werkudara sebagai ongkos politik tengiknya. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved