Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Bebuthek Banyu Bening

Ono Sarwono Penyuka wayang
16/8/2020 00:40
Bebuthek Banyu Bening
Ono Sarwono Penyuka wayang(MI/Ebet)

SECARA kodrati, setiap orang memiliki tabiat masing-masing. Tabiat yang dimaksud di sini ialah perangai, tingkah laku, atau perbuatan yang selalu dilakukan.

Misalnya, suka berisik atau gemar membuat gaduh dan keruh. Tabiat ‘receh’ demikian itu bisa kita temukan pada orang-orang di sekeliling kita, termasuk di kalangan elite dan/atau politisi.

Seperti baru-baru ini, di antara mereka berlagak membentuk koalisi aksi, yang konon, untuk menyelamatkan bangsa dan negara yang dianggapnya akan karam.

Dalam cerita wayang, ada kisah elite yang tabiatnya suka mengganggu, demen bikin gaduh, dan gemar memperkeruh. Namun, tabiat buruknya itu pada akhirnya bisa berubah setelah ia diwiradati (diikhtiarkan) dengan cara diruwat.


Berbagai cobaan

Syahdan, Negara Amarta dilanda pageblug mayangkara (pandemi penyakit). Akibatnya, banyak rakyat yang menjadi korban.

Dampak lain, terpuruknya ekonomi bangsa. Negara terancam jatuh ke jurang resesi yang dalam. Raja Amarta Prabu Puntadewa dan keluarga Pandawa pontangpanting karenanya. Mereka berjuang keras menyelamatkan rakyat dari ancaman kematian dan kemelaratan akut. Seiring dengan upaya itu, Pandawa tiada henti memohon ampun dan pertolongan Sanghyang Widhi.

Di tengah suasana kedukaan, mendadak Amarta diserang dua raksasa bengis bernama Kalantaka dan Kalanjaya. Sraya (bala bantuan) Kurawa itu membawa misi menyirnakan Pandawa  Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. 

Ini upaya kesekian kalinya Raja Astina Prabu Duryudana (Kurawa) untuk mengamankan kekuasaan mereka. Berbagai cobaan yang menerpa Pandawa (Amarta) membuat Kunti Talibrata (ibu Pandawa) prihatin. 

Saking beratnya pikiran yang disandang, Kunti sampai linglung dan kemudian melangkah meninggalkan istana tanpa tujuan jelas. Sepanjang jalan ia bergumam, kenapa penderitaan anak-anaknya tiada akhir.

Di tengah kegalauannya yang memuncak, tiba-tiba Bathari Durga datang menghampiri. Penghuni Kahyangan Setragandamayit itu  menyatakan bersedia membantu Pandawa terlepas dari semua persoalan.

Namun, itu bisa terlaksana bila Kunti mengiklaskan Sadewa untuk dijadikan tumbal. Serta-merta Kunti menolak. Berulang kali Durga merayu, tapi Kunti berkeras tidak akan menyerahkan anak bungsu tirinya itu.

Ia tidak rela Pandawa tanggal satu pun. Selamanya Pandawa terdiri atas lima orang. Durga tidak menyerah. Ia memerintahkan anak buahnya, jin Kalika, untuk memperdayai Kunti agar menyerahkan Sadewa.

Tanpa kesulitan, Kalika kemudian masuk ke dalam wadak Kunti yang mentalnya sedang tidak stabil. Mulai saat itu, Kunti dalam pengaruh Kalika. Tanpa kontrol kesadarannya, Kunti kembali ke istana Amarta. Di depan anakanaknya yang mencarinya, ia berujar Sadewa mesti dikorbankan untuk memulihkan Amarta.


Serahkan Sadewa

Puntadewa, Werkudara, Arjuna, dan Nakula terheran-heran dengan sikap ibu mereka yang bicara tidak seperti biasanya. Kunti lalu dengan ketus meminta Sadewa mengikutinya dan jangan ada yang bertanya ke mana perginya.

Kunti menggandeng Sadewa lalu meninggalkan anakanaknya yang lain yang masih terbengongbengong. Ia terus berjalan ke timur hingga masuk ke Hutan Dandangmangore.

Di sana, Kunti menyerahkan Sadewa kepada Durga yang telah menunggunya dengan muka semringah. Durga kemudian meminta Sadewa meruwatnya agar dirinya terlepas dari kutukan yang membelenggunya. Sadewa tercenung. Ia menyatakan dengan sejujurnya dirinya tidak bisa meruwat. Namun, Durga memaksa dan mengancam akan menggunakan kekerasan.

Pada saat bingung dengan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba ada sinar menyilaukan dari langit yang masuk ke raga Sadewa. Mendadak bungsu Pandawa itu bercahaya. Itu pengaruh Bathara Guru, sang penguasa Kahyangan Jonggring Saloka yang sedang manjing (bersemayam) dalam dirinya.

Beberapa saat kemudian Sadewa dengan wasis (pinter) meruwat Durga. Akhirnya, Durga yang semula berwajah raksasa berubah kembali menjadi Bathari Uma yang cantik jelita. 

Uma ini adalah istri Bathara Guru sendiri yang terkena kutukan pascadrama percintaan terlarang mereka di atas samudra. Seusai ruwatan, Bathara Guru keluar dari raga Sadewa dan mangejawantah. Sebelum bersama Uma kembali ke Kahyangan, guru memberikan gelar Sudamala kepada Sadewa.  Sudamala dari dua kata, suda yang berarti berkurang atau mengurangi, dan mala yang artinya penyakit. Makna filosofisnya, membersihkan dosa dan kesalahan.

Sepeninggal Guru dan Uma, Sadewa buru-buru mencari sang ibu dan kemudian membersihkannya dari cengkeraman Kalika. Setelah itu, ia kembali ke Amarta mengusir Kalantaka dan Kalanjaya yang telah menjamah seluruh negeri.

Berbekal ilmu dari Bathara Guru, kedua raksasa itu diruwat dan badhar (kembali ke wujud aslinya) menjadi Bathara Citraganda dan Bathara Citrasena. Sebelumnya, keduanya dikutuk menjadi raksasa karena mengintip Bathara Guru ketika sedang memadu kasih dengan Uma.

Selanjutnya, Sadewa secara maraton meruwat bangsa Amarta, khususnya mereka yang kerasukan bala Durga. Merekalah yang kerap membuat gaduh dan keruh, yang mengancam ketenteraman Amarta.

Singkat cerita, Amarta pulih seperti sedia kala, negara yang kalis dari pageblug dan gangguan lainnya. Warganya kembali hidup guyub rukun, bergotong royong, dan bersatu berjuang menggapai kemajuan yang adil dan makmur.


Meruwat diri atau diruwat

Kisah ini dalam seni pakeliran terceritakan dengan lakon Sudamala. Benang merahnya ialah wiradat terhadap kodrat. Dengan kata lain, mengupayakan adanya kebenaran sejati pada kenyataan yang semula tidak baik kemudian bisa berubah menjadi baik.

Dalam cerita ini ketidakbaikan itu digambarkan pada tabiat Durga dan balanya. Perilaku mereka bebuthek banyu bening, yang artinya membuat keruh air bening.

Maknanya, gemar mengacau atau membuat kegaduhan. Mengambil hikmah kisah itu, para elite dan politisi yang selama ini suka bebuthek banyu bening sebaiknya secara sukarela meruwat diri atau diruwat sehingga ‘berfungsi’ dengan semestinya karena mereka memang bukan orang-orang biasa, melainkan para titah yang sebenarnya berkemampuan. (M-2)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya