Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Politik Tahu Diri

Ono Sarwono Penyuka wayang
09/8/2020 01:20
Politik Tahu Diri
Ono Sarwono Penyuka wayang(MI/Ebet)

SABAN menjelang pilkada, selalu muncul kegaduhan ‘endemik’, yaitu silang pendapat terkait dengan politik dinasti. 

Ini memang sisi kusut wajah bangsa ini, yang suka berkubang dan sulit beranjak dari sesuatu persoalan. Secara umum, politik dinasti ialah politik kekerabatan. Dari sisi asasi, tentu itu merupakan hak. Pun dari peraturan perundang-undangan, tidak ada larangan. 

Jadi, persoalan di mana? Terlalu centang-perenang bila mengutip alasan dari mereka yang menentang dan pihak yang tidak  mempermasalahkan. Dalam jagat wayang, ada  kisah unik terkait dengan hal ini. Kisah yang tidak umum.

Ada seorang raja besar yang tidak mewariskan takhtanya kepada putranya. Istrinya pun mendukung. Eloknya, sang anak juga berlapang dada.


Pemimpin pembaru

Alkisah, Raja Negara Amarta Prabu Puntadewa, alias Yudhistira, memiliki putra kandung tunggal bernama Pancawala yang lahir dari rahim permaisurinya, Dewi Drupadi.

Dari sifat dan pembawaannya, Pancawala tidak jauh berbeda dengan ayahanda yang rendah hati, santun, sabar, dan berbudi luhur. Berdasarkan paugeran negara (konstitusi), Pancawala berhak nglungsur keprabon atau menggantikan ayahnya di singgasana raja. Namun, Puntadewa menilai putranya tidak memiliki persyaratan yang dibutuhkan sebagai penerus dinasti sehingga tidak diberi predikat putra mahkota.

Ini kejujuran (fairness) Puntadewa sebagai pemimpin dengan visi ke depan. Ia menyingkirkan nafsu pribadi atau keluarga dan memprioritaskan kepentingan yang lebih besar, yaitu kejayaan bangsa dan negara. Sikap bijaknya ini dalam kearifan lokal dikenal sebagai watak ambeg paramaarta.

Langkah Puntadewa ini memang tidak biasa. Pada umumnya, setiap raja dengan segala upaya menyiapkan anaknya sebagai penerusnya. Namun, Puntadewa tidak demikian. Ia memelopori bahwa anak raja tidak selalu harus menjadi raja.

Sikapnya itu sudah ia terapkan pada dirinya sendiri. Ia ikhlas ketika takhta Astina yang ditinggalkan mendiang ayahnya, Prabu  Pandudewanata, dijarah Kurawa. Bahkan, ia rela bersama keempat adiknya terusir dari rumahnya, istana Astina, akibat keserakahan Kurawa, keluarga sepupunya.

Ketika kemudian Puntadewa menjadi Raja Negara Amarta pun sebenarnya itu bukan kehendaknya pribadi. Keluarga dan rakyat yang mendorongnya untuk memimpin negara. Bahkan, ia sempat pula mempersilakan Werkudara yang menjadi raja karena ia menganggap sang adik yang paling berjasa ketika mendirikan Amarta di atas lahan hutan angker yang bernama Wanamarta.

Walau menjadi raja, Puntadewa tidak seperti raja-raja lainnya. Kesederhanaan pribadinya tetap tampak seperti semula. Dalam kesehariannya, ia tidak berpakaian layaknya raja yang mengenakan mahkota kebesaran. Puntadewa tampil apa adanya dan setia bermahkotakan gelung keling.

Dalam pemahamannya, jabatan raja (pemimpin) bukan barang warisan yang bisa diturunkan kepada anak dan cucu. Jabatan membutuhkan berbagai persyaratan yang tidak sederhana mengingat itu merupakan amanah suci.

Drupadi juga sejalan dengan suaminya. Perempuan berhati mulia ini legawa buah hatinya tidak mewarisi kedudukan ayahnya. Ia hanya ingin putra tunggalnya menjadi anak anung anindhita, anak yang bisa menjunjung tinggi harkat dan martabat orangtua dan leluhur.

Drupadi adalah putri Raja Pancala Prabu Drupada dengan permaisuri Dewi Gandawati. Ia memiliki dua adik, yakni Dewi Srikandi yang menjadi istri Arjuna dan Drestajumna.


Tinggal di Pancala 

Sejalan dengan kedua orangtuanya, Pancawala juga semeleh. Ia menyadari dirinya tidak memiliki ‘wahyu kanarendran’ sebagai raja. 

Oleh karena itu , ia tidak iri ketikaAbimanyu, putra pamannya, Arjuna, yang digadang-gadang sebagai pemegang estafet kepemimpinan Amarta di masa depan. Ketika pecah Bharatayuda, Pancawala juga terjun ke medan laga. Ia salah satu di antara sedikit putra Pandawa yang masih hidup ketika perang antartrah Abiyasa berakhir.

Malah, Abimanyu gugur di palagan secara mengenaskan. Setelah memenangi peperangan, Pandawa dan keluarga besar yang tersisa mudik ke Astina. Puntadewa dinobatkan menjadi raja bergelar Prabu Kalimataya. Negara yang ia pimpin berubah nama menjadi Yawastina yang merupakan gabungan antara Amarta (Indraprastha) dan Astina.

Pada masa itu, Pancawala memilih tinggal di Pancala, rumah ibunya. Kakeknya, Prabu Drupada (Sucitra), gugur membela Pandawa. Ia menjemput ajal ketika bertarung dengan saudara seperguruannya sendiri, Durna (Bambang Kumbayana), yang berpihak kepada Kurawa.

Sejarahnya, Pancala bagian dari kekuasaan Astina pada rezim Prabu Pandu Dewanata. Maka, ketika Bharatayuda berakhir dengan kemenangan Pandawa, wilayah itu kembali menjadi bagian Yawastina.

Pada suatu ketika, karena faktor usia dan juga merasa darmanya di marcapada telah mendekati akhir, Prabu Kalimataya turun takhta. Pilihan sebagai pemimpin penerusnya ialah cucu Arjuna yang bernama Parikesit.

Parikesit adalah putra Abimanyu dengan Dewi Utari dari Negara Wiratha. Ketika perang Bharatayuda berlangsung, Parikesit masih berada dalam kandungan sang ibu. Ia lahir tidak lama setelah perang itu rampung. 

Pancawala senang Parikesit menjadi raja karena yakin di tangan pemimpin muda, Yawastina akan semakin kuncara. Berdasarkan aturan tata pemerintahan, ia (Pancala) tunduk kepada kekuasaan Parikesit.


Kesadaran introspeksi

Kisah sekelumit ini menggambarkan bahwa antara ayah, ibu, dan anak memiliki pandangan yang sama; kekuasaaan bukan segalagalanya. Mereka memahami menjadi pemimpin harus memenuhi berbagai persyaratan mumpuni. Bukan hanya berani dan nekat atau bermodalkan nafsu belaka.

Itulah hikmah yang bisa dipetik terkait dengan persoalan politik dinasti yang terus berulang menjadi perbincangan di negeri ini. Ada ‘aturan’ substansial yang ada dalam diri sendiri, yaitu kesadaran dan kemauan mengintrospeksi, apakah memang pantas dan mampu menjadi pemimpin sejati.

Seyogianya itulah yang perlu menjadi pertimbangan bagi siapa pun yang ingin maju menjadi pemimpin di segala level. Jadi, bukan karena perihal hak asasi dan tidak adanya aturan yang dilanggar, tetapi berani jujur mengukur diri. (M-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya