Headline

PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia

Fokus

MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan

Rerepen Dhandhanggula

Ono Sarwono Penyuka Wayang
19/7/2020 00:35
Rerepen Dhandhanggula
Ono Sarwono Penyuka Wayang(MI/Ebet)

SEBAGAI pamong, Semar Badranaya jengah dan gelisah mengetahui Raja Dwarawati Prabu Kresnaalias Harimurti melanggar etika dan norma. Dengan niat baik, lalu ia menghadap sang raja untuk menyampaikan unek-uneknya.

Ketika itu, Kresna sedang menyelenggarakan pesta besar perayaan pernikahan putrinya, Siti Sendari, dengan Abimanyu, putra Arjuna. Banyak raja dari negara lain yang hadir dalam perjamuan. Acara yang berlangsung berhari-hari itu juga dimeriahkan dengan berbagai macam tontonan seni.


Kehilangan roh Wisnu

Yang menjadi pertanyaan besar, acara sakral itu tidak dihadiri besannya, Arjuna, yang kebetulan sedang mindra (pergi) meninggalkan Amarta. Ia diduga lelana brata (menjalani laku prihatin), tapi tidak diketahui rimbanya. Pun pernikahan tersebut tidak disaksikan keluarga Pandawa lainnya.

Saudara yang datang hanya Baladewa, yang hadir pas menjelang ijab dan kabul. Kakak kandung Kresna ini merasa dikesampingkan karena dirinya diundang seperti orang lain. Ia juga tidak diberi kabar sebelumnya seperti adat kebiasaan saudara yang akan memiliki hajat.

Baladewa menyarankan demi kebaikan dan kemaslahatan, pernikahan diundur. Paling tidak menunggu hingga Arjuna bisa hadir. Namun, Kresna menolak. Alasannya, ribuan undangan telah tersebar sehingga ia tidak mau menanggung malu dan membuat tamu menggerutu.

Berulang kali Baladewa menyodorkan alasan agar pernikahan keponakannya itu sebaiknya ditunda. Namun, Kresna kukuh melanjutkanya pada hari itu juga. Malah, kemudian ia ‘membungkam’ kakaknya itu dengan mengumukkan diri sebagai titisan Bathara Wisnu yang berhak menentukan dan melakukan apa pun.

Keberanian Kresna berbicara seperti itu lantas membuat Baladewa mafhum. Bisik hatinya, sang adik sedang kehilangan ‘roh’ Wisnu-nya. Maka, ia berlapang dada dan mempersilakan Kresna yang ‘kosong’ itu berbuat sekehendaknya. Pada saatnya, gumannya, Kresna akan pulih jati dirinya.

Di tengah suka-parisuka (pesta), datang Semar menghadap. Sang pamong itu tidak disertai Gareng, Petruk, dan Bagong. Ketiga anaknya itu memilih leyeh-leyeh di bawah pohon ringin kurung kembar yang rindang di tengah alun-alun.

Semar meminta maaf karena menyelonong. Kresna menganggap Semar yang tidak diundang tapi datang ingin numpang makan. Ia lalu mempersilakan Semar menghabiskan sisa-sisa menu para tamu. Semar tersenyum kecut dan kemudian mengatakan dirinya tidak bermaksud ikut berpesta, tapi ingin menyumbang.

Kresna bertanya, apa yang akan disumbangkan, sementara Semar sendiri wong cilik ongklak-angklik (berderajat rendah dan melarat). Semar matur (berkata) bukan rajabrana (materi) yang ia sumbangkan karena dirinya memang tidak punya harta benda, melainkan ‘kado’ sederhana berupa rerepen (kidung).

Tuan rumah mengatakan tidak butuh karena sudah terlalu banyak hiburan. Namun, Baladewa menyela dan mempersilakan Semar mengidung. Raja Mandura ini mengaku kangen karena sudah lama tidak mendengar titah pangejawantahannya Bathara Ismaya itu menyekar.

Mencuplik sanggit dalang Ki Nartso Sabdo (alm), rerepen Semar itu berupa sekar (tembang) Dhandhanggula: Kacarita Nagri Dwarawati, tan prabeda Kahyangan Kaindran, kabeh bab upa renggane, dasar ratu misuwur, kalokengrat lumahing bumi, yaiku Prabu Kresna titising Hyang Wisnu, nyata ratu binathara, kabeh dewa tresna padha asih tintrim, pinter sak barang karya.

(Diceritakan Negara Dwarawati, tidak berbeda dengan Kahyangan Kaindran, dalam semua hal, dasar rajanya hebat, terkenal di seluruh dunia, yaitu Prabu Kresna titisan Sanghyang Wisnu, benarbenar raja agung, semua dewa suka sayang hormat, pintar segalanya).

Mung cacate ratu Dwarawati, nadyan pinter kurang wicaksana, tega kalawan kadange, denira amemantu AbimanyuSiti Sendari, datan tinengga besan, kang nedheng wulangun, ngendelke dupeh kuwasa, wis tetela lamunta kekurang adil, asor samining titah.

(Namun kekurangannya raja Dwarawati, walaupun pinter tapi tidak bijaksana, tega dengan saudaranya, dalam hal menikahkan Abimanyu-Siti Sendari, tidak dihadiri oleh besan, yang sedang menjalani laku prihatin, mengandalkan kekuasaaan, jelas-jelas bersikap tidak adil, rendah
derajatnya sebagai manusia).

Kresna murka. Ia perintahkan menantunya, Abimanyu, mengambil langkah kepada Semar yang dianggap lancang. Tanggap apa yang sedang bergolak di hati sang mertua, Abimanyu bangkit dari tempat duduknya dan meludahi kuncung Sang Badranaya yang wingit.

Melihat penistaan itu, Baladewa marah. Ia mengingatkan Abimanyu tidak gegabah terhadap Semar, pamongnya Pandawa yang adalah para pepudennya sendiri. Baladewa memintakan maaf kepada Semar atas semua yang terjadi.

Semar tidak sakit hati. Ia merasa tidak aneh bila diperlakukan sehina itu karena dirinya memang wong cilik derajat aceplik (rendah). Bahkan, bila seluruh pusaka Dwarawati dihunjamkan ke dirinya, pun pasti tidak ada yang peduli. Semar lalu pamit dan pergi karena merasa tidak ada gunanya berada di antara orang-orang yang tidak waras.

Dalam perjalanan mencari keadilan jagat, Semar bersua dengan Bathara Indra, Brahma, dan Bayu. Ketiga titah kahyangan itu turun ke marcapada untuk memberikan hukuman kepada Kresna yang bertindak semena-mena kepada Semar. Namun, Semar mewanti-wanti kepada ketiga dewa itu bahwa dirinya tidak melarang dan juga tidak menyuruh.

Dwarawati lalu dilanda badai dan hujan lebat yang menyebabkan banjir bandang. Sebelumnya, terjadi kebakaran di manamana. Geger yang mengharu-biru itu memaksa Kresna dan keluarga disertai Baladewa mengungsi ke Amarta. Mereka bertemu Pandawa dan menceritakan awal mula hingga terjadinya bencana.


Lebih beradab

Mereka kemudian bersama-sama mencari Semar dan menemukannya sedang ‘menghadap kiblat’ di tengah belantara. Pada saat itu Semar memancarkan cahaya kekuningkuningan, pertanda Sanghyang Wenang sedang ‘mampir’ dalam raganya. Kresna, Baladewa, dan Pandawa kemudian bersujud.

Semar bersabda bahwa kekuasaan dalam bentuk apa pun jangan digunakan sewenang-wenang. Itu amanah yang mesti diemban sebaik-baiknya dengan senantiasa bersandar pada ke-eling-an kepada Sang Pencipta Jagat.

Nilai dari kisah ini ialah bagaimana Semar menyampaikan kritik. Ia memilih lewat rerepen. Dengan seni, termasuk humor, lebih beradab daripada jurus kenyinyiran, kebencian, dan aksi verbal anarkitis lainnya. (M-2)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik