Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
SELAMA memegang tampuk kepemimpinan di Negara Maespati, Prabu Arjunasasra tidak pernah marah terhadap para nayakapraja.
Ini bukan karena ia tidak bisa ‘naik darah’, tetapi karena semua pembantunya di jajaran Kabinet Kerja memang orang-orang workaholic, penggila kerja.
Mereka adalah para putra bangsa ampuh yang menempati bidang sesuai dengan kepakarannya. Ada kesadaran penuh bahwa menjadi pejabat negara bukan panggung bergaya dan gagah-gagahan, tetapi palagan pengabdian diri bagi nusa dan bangsa.
Di antara orang-orang Arjunasasra yang paling menonjol justru berasal dari dusun terpencil, yakni Bambang Sumantri. Atas keberhasilannya mengemban tugas-tugas berat yang membutuhkan langkahlangkah extraordinary (luar biasa), Sumantri akhirnya mendapat jabatan sebagai patih.
Melamar Citrawati
Alkisah, pada suatu hari Bambang Sumantri matur (bicara) kepada bapak dan ibunya, Resi Suwandagni-Dewi Darini, di Pertapaan Argasekar. Ia meminta izin untuk pergi ke kota mencari pekerjaan. Niatnya ingin mengabdi kepada Raja Maespati Prabu Arjunasasra.
Saat itu Sumantri adalah pemuda sentosa yang memiliki kesaktian mumpuni. Budi pekertinya pun sangat baik dan berparas tampan. Berbekal itulah ia ingin mengabdikan diri bagi kejayaan negara yang ia cintai.
Suwandagni tahu luar-dalam anak sulungnya ini. Maka, ketika Sumantri punya niat luhur ingin berbakti kepada tanah airnya, ia mendukungnya. Ia berpesan agar sang anak memegang teguh watak kesatria. Ibunda pun tak lupa mewanti-wanti putranya itu untuk senantiasa eling kepada Yang Mahakuasa.
Kebetulan, pada saat yang sama Arjunasasra sedang mencari calon nayakapraja berkualitas. Setelah para pelamar melewati berbagai uji kompetensi, munculah nama di antaranya Bambang Sumantri. Ternyata, Arjunasasra merasa tidak asing ketika Sumantri menceritakan bahwa dirinya putranya Resi Suwandagni.
Berdasarkan aturan, Sumantri menjadi pejabat magang. Selama itu ia mampu menyelesaikan berbagai pekerjaan dengan baik. Hingga suatu ketika sangpemimpin memerintahkan Sumantri melamar putri Negara Magada, Dewi Citrawati, yang akan dijadikan permaisuri.
Ini tugas yang sangat berat karena pada saat itu ratusan raja sedang antre berebut Citrawati. Sebagian besar mesanggrah (mondok) di alunalun Magada dan sekitarnya. Secara langsung, Magada terancam ketenteramannya. Saat itu Magada dipimpin Prabu Citragada, adik Citrawati. Ia menggantikan ayahanda, Prabu Citradarma, yang lengser keprabon karena lanjut usia.
Citrawati kondang kecantikannya. Para resi dan wiku menyebutnya sebagai perempuan suci trilaksita (hati, pikiran, dan ucapannya). Lebih dari itu, dalam dirinya menyatu ‘roh’ Bathari Sri Widowati, dewi kesuburan dan kemakmuran.
Tibalah Sumantri di Magada. Ia langsung meminta izin menghadap Prabu Citragada. Di depan raja, ia mengungkapkan bahwa dirinya diutus Prabu Arjunasasra dari Maespati untuk melamar Citrawati.
Citragada senang dengan lamaran Arjunasasra yang ia yakini sebagai titisan Bathara Wisnu. Ia berharap kakaknya menjadi permaisurinya. Namun, bagaimana dengan raja-raja yang telah menunggu jawaban lamaran mereka. Kekhawatiran ini ia ungkapkan kepada Sumantri.
Sumantri menjawab dirinya sanggup memulangkan para raja. Singkat cerita, satu per satu para pelamar dari berbagai negara itu, termasuk Prabu Darmawasesa dari Negara Widarba, ditaklukkan. Atas keberhasilannya, Sumantri berhak memboyong Citrawati ke Maespati.
Taman Sriwedari
Tugas berat lain yang harus diselesaikan Sumantri ialah ketika negara memiliki proyek mercusuar Taman Sriwedari. Ini gagasan Citrawati yang harus diselesaikan dalam waktu singkat. Taman ini harus sama persis dengan yang ada di Kahyangan Untarasegara, kampung halaman Bathara Wisnu.
Nalarnya proyek itu tidak mungkin bisa dikerjakan. Sejujurnya ia merasa tidak mampu dan ragu apa bisa melakukannya, tapi pantang menyerah. Di tengah kebingungan yang memuncak, tiba-tiba datanglah sang adik, Sukrasana.
Pertemuan itu menjadi momen melepas kangen setelah sekian lama tidak bersua. Meski saudara kandung, fisik keduanya berbeda. Sukrasana bermuka raksasa, tapi badannya kerdil. Walau demikian, ia berbudi luhur. Pun memiliki kesaktian yang tak tertandingi.
Tanpa dikasih tahu, Sukrasana sudah bisa membaca kegelisahan Sumantri terkait dengan tugas negara yang mahaberat. Sukrasana meminta sang kakak tidak miris. Ia sanggup membantu membangun Taman Sriwedari hanya dalam waktu semalam.
Dikisahkan, pada waktu yang ditentukan, Taman Sriwedari benar-benar muncul di istana Maespati. Sukrasana meminta kakaknya untuk tidak bercerita tentang dirinya kepada sang raja. Akuilah bahwa taman itu merupakan hasil pekerjaannya sendiri.
Betapa gembiranya Citrawati melihat Taman Sriwedari yang tidak ada bedanya dengan yang ada di kahyangan. Pun juga Prabu Arjunasasra. Sang raja semakin kagum kepada Sumantri yang selalu mampu melaksanakan tugas dengan baik, padahal sangat tidak gampang.
Tidak berhenti di situ. Masih ada kisah yang menceritakan tugas-tugas berat yang membuat Sumantri jantungan. Di antaranya proyek bendungan raksasa di aliran Sungai Gangga. Lagi-lagi atas bantuan sang adik, Sumantri akhirnya juga bisa menyelesaikan pembangunan itu.
Dengan adanya waduk itu, tanah yang sebelumnya tandus dapat teraliri air sepanjang musim sehingga menjadi subur untuk ditanami aneka tumbuhan. Berkahnya, rakyat Maespati tidak pernah kekurangan pangan.
Di bawah kepemimpinan Arjunasasra dengan permaisuri Citrawati, Maespati menjadi negara makmur dan masyhur. Kegemilangan negara itu tidak terlepas dari kerja keras dari para nayakapraja, terutama Bambang Sumantri yang bergelar Patih Suwanda.
Tiga dasar kemampuan
Tentu, Sumantri tidak sendiri. Ia bisa menuntaskan tugas-tugas sangat berat berkat bantuan ‘staf khususnya’ yang bernama Sukrasana. Sang adik yang tidak ingin namanya disebut-sebut di balik kesuksesan sang kakak.
Dalam pemahaman Sri Mangkunegara IV yang tertuang dalam Serat Tripama, Sumantri memiliki tiga dasar kemampuan sebagai nayakapraja, yakni guna, kaya, dan purun. Guna, yang dimaksud memiliki kesaktian.
Kaya, memiliki apa saja yang dibutuhkan sehingga selalu berhasil. Purun, selalu memiliki tekad, semangat, dan keberanian. Demikianlah nayakapraja semestinya. Pantas saja Arjunasasra tidak pernah marah kepada para anggota kabinetnya. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved