Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Mengerdilkan Kata

Meirisa Isnaeni Staf Bahasa Media Indonesia
01/3/2020 04:10
Mengerdilkan Kata
(Dok Pribadi)

MASALAH kebahasaan tidak terlepas dari kehidupan penuturnya. Seperti halnya pada kasus singkatan kata atau akronim dalam bahasa Indonesia yang makin hari makin banyak digunakan masyarakat Indonesia, terlebih kaum milenial. Perkembangan singkatan kata atau akronim semakin meluas sehingga membanjiri perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia.

Hingga saat ini, kenyataannya masih banyak kesalahan singkatan, baik dalam penulisan maupun pengucapan.Singkatan kata atau akronim muncul karena penutur bahasa Indonesia menginginkan pengucapan suatu kata atau tulisan yang dimaksud singkat, tidak memakan waktu banyak, atau menghindari tulisan yang panjang.

Pada percakapan sehari-hari di dalam kehidupan bermasyarakat, memang tidak ada larangan membuat singkatan atau akronim, tetapi bukan berarti kita sebagai penutur bahasa, bisa seenaknya membuat singkatan kata dengan mengabaikan atau melanggar kaidah bahasa Indonesia. Dalam menyingkat sebuah kata, hendaknya kita tidak asal ucap atau menabrak aturan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Ada kaidah-kaidah yang harus ditaati sebagai acuan dalam menyingkat kata, harus mengikuti pedoman baku. Kaidah-kaidah itu tergantung pada kata apa yang akan dipendekkan menjadi sebuah singkatan atau akronim. Sejauh ini banyak sekali kaum milenial (anak zaman now) yang memendekkan kata.

Menyingkat, memendekkan, atau memotong kata seenaknya, menjadi salah satu penyebab utama dari kacaunya situasi bahasa kita, bahasa Indonesia. Penyingkatan kata yang digunakan kelompok anak milenial karena budaya instan, ingin gampang mengucap, latah atau seringnya meniru orang-orang yang menggauli bahasa.

Pada kasus seperti ini, singkatan kata atau akronim cenderung hanya dimengerti kelompok/kalangan tertentu. Akronim bak jargon. Misalnya, pada kata bandara. Orang-orang atau masyarakat pada umumnya lebih suka dan sering memakai istilah bandara daripada bandar udara. Padahal, tidak semua orang tahu kepanjangan dari bandara itu sendiri.

Pun pada kata rudal. Umumnya orang lebih sering menyebut rudal ketimbang peluru kendali. Ada juga kata sidak, kependekan dari inspeksi mendadak, tilang (bukti pelanggaran), atau toserba (toko serbaada).

Di samping itu, ada juga singkatan atau akronim yang sudah sering digunakan, sangat familier/akrab di telinga kita, tetapi sebenarnya salah besar dan belum ada dalam KBBI, seperti kata demo yang disingkat dari kata aslinya demonstrasi. Kata promo yang dipotong dari kata promosi. Kata lab yang asal katanya dari kata laboratorium. Kata pro dari kata profesional. Kata rehab dari kata rehabilitasi, dan kata konsen yang dipendekkan dari kata konsentrasi.

Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, dampaknya sebagian besar kata-kata bahasa Indonesia akan terdiri atas singkatan atau akronim saja, yang tumbuh bak jamur di musim penghujan. Kondisi seperti itu mengakibatkan terjadinya kesalahan berbahasa Indonesia, juga semakin menyesatkan orang lain mengenai ucapan atau tulisan mana yang benar dan salah.

Menurut hemat saya, alangkah baiknya kita menekan dan mengurangi produksi singkatan atau akronim yang serampangan. Batasi pada hal-hal yang sangat perlu saja.

Pun media massa ikut turut bertanggung jawab terhadap penciptaan akronim dan istilah yang kadang rancu. Penyingkatan akan tetap bermanfaat, khususnya bagi pekerjaan yang butuh penulisan cepat, seperti notulen, jurnalis, dan pelajar, atau mahasiswa. Namun, bila tulisan tersebut untuk dipublikasikan ke khalayak, memotong kata-kata harus dihindari sebisa mungkin. Masalah singkatan kata atau akronim tidak boleh kita abaikan begitu saja.
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya