Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Penyejuk udara alias air conditioning (AC) dewasa ini barangkali telah dianggap sebagai perangkat yang cukup ampuh untuk mengatur suhu ruangan oleh kebanyakan orang. Namun, pernahkah terpikir bahwa mendinginkan ruangan dengan perangkat tersebut justru menghasilkan ‘panas yang lain’?
Pernyataan yang tepat untuk menjawab hal tersebut sesungguhnya masih menjadi perdebatan yang cukup kompleks dan lumayan panjang. Sebab, sebagaimana diketahui, apabila sebuah perangkat AC berfungsi dengan normal, ia tidak akan melepaskan hydrofluorocarbons (HFC) ke atmosfer. Sebaliknya, HFC akan terlepas ke atmosfer jika sebuah perangkat pendingin mengalami kebocoran, dan ini juga berlaku untuk alat pendingin lainnya, misalnya, kulkas. Namun, siapa yang dapat menjamin miliaran AC yang beroperasi di dunia ini sepenuhnya dalam kondisi normal?
Namun, tidak dimungkiri bahwa menghidupkan AC, atau kipas elektrik, membutuhkan energi listrik yang sebagian besar bersumber dari energi fosil. Bahkan, International Energy Agency (IEA) pernah menyebut, penggunaan AC oleh rumah tangga akan menjadi pemacu terbesar kenaikan permintaan energi global, setelah kegiatan industri.
Berangkat dari dua hal itu, Kolumnis Bloomberg, Justin Fox belakangan ini membahas persoalan AC dalam opini terbarunya. Bahkan, dalam tulisan berjudul ‘Air Conditioning Is Making the World a Hotter Place’ itu, ia seakan memberi legitimasi bahwa AC telah membuat (suhu) dunia semakin panas.
Dalam tulisan tersebut, Justin memang tidak memberikan angka yang cukup gamblang untuk menjelaskan korelasi antara jumlah keluarga yang menggunakan AC dengan peningkatan suhu udara di Amerika Serikat (AS). Namun, persoalan tersebut nyatanya telah cukup berhasil memancing penelusuran lebih dalam, dan kebetulan pula pernah dibahas Jurnalis Perubahan Iklim The New York Times, Tatiana Schlossberg dalam sebuah kolom berjudul ‘How Bad Is Your Air-Conditioner for the Planet?’.
Dalam paparannya, Tatiana mengatakan bahwa AC kini telah menghadirkan persoalan lain terhadap perubahan iklim. Pada 2009 saja, hampir 90 persen rumah di AS memiliki pendingin udara, menyumbang sekitar 6 persen dari seluruh penggunaan energi perumahan. Ironisnya, seluruh pendingin udara itu justru telah melepaskan sekitar 100 juta ton karbon setiap tahun, dengan keberadaan AC secara luas selanjutnya memungkinkan lebih banyaknya bagian di negara tersebut terasa panas, mulai dari Selatan hingga Barat Daya.
Melihat kenyataan tersebut, persoalan yang disampaikan Justin kemudian menjadi masuk akal. Apalagi, Justin dalam paparannya juga mengatakan bahwa, “dengan adanya gelombang panas yang terjadi AS saat ini, kemudian menjadi saat yang tepat untuk berbicara tentang AC”.
Menurut Justin, ada beberapa hal yang memengaruhi tingginya angka pemasangan AC di AS. Pertama, tentunya adalah rata-rata suhu di AS itu sendiri yang ternyata kini telah melebihi 65 derajat Fahrenheit (18 derajat Celsius) setiap hari. Angka itu, kata Justin, sangat berbeda dengan tren kenaikan suhu udara di AS, pada 1970-an. Selain itu, Justin juga mengatakan bahwa ‘tingkat kemakmuran’ suatu keluarga dan pembangunan rumah turut memengaruhi kenaikan permintaan AC.
Menyoal tingkat kemakmuran, Justin kemudian mengatakan bahwa setiap keluarga di AS berpendapatan 20 ribu dolar atau kurang pada 2015, 80,3% diantaranya telah memiliki AC. Keluarga berpendapatan 120 ribu dolar atau lebih, 80,4% hingga 92,9% juga telah memiliki AC. Dari jumlah tersebut, Justin kemudian mengatakan bahwa 87% keluarga di AS telah memiliki beberapa jenis AC pada 2015, atau naik sekitar 55,6% sejak 1978. Sebagai perbandingan, dewasa ini keluarga di AS yang memanfatkan udara dari jendela hanya naik 41.8%, atau yang semula 22,6% kini menjadi 64,4%.
Sebelumnya, pada 2018, IEA merilis laporan 'The Future of Cooling' yang memproyeksikan kenaikan penggunaan energi oleh AC hingga tiga kali lipat pada 2050. Di masa itu, jumlah AC diestimasi meningkat dari 1,6 miliar menjadi 5,6 miliar unit.
Berangkat dari angka yang dipaparkan Justin, sekaligus mengingat apa yang disampaikan Tatiana, kemudian wajar rasanya jika kini suhu udara di AS menjadi semakin panas. Oleh karena itu pula, Justin kemudian memberikan solusi agar penggunaan AC sebaiknya ditopang dengan energi nonkarbon agar tidak membuat segala sesuatu di sekitarnya ‘ikut-ikutan’panas.
Dalam paparannya, Justin merujuk pada sebuah studi pada 2019. Dalam studi tersebut, para peneliti perubahan iklim dari Boston University, California, Foscari University of Venice, dan Institut Internasional untuk Analisis Sistem Terapan di Austria memproyeksikan bahwa, sebagian besar penyebaran AC, telah memicu peningkatan permintaan energi secara keseluruhan sebesar 25% hingga 2050, khususnya di daerah tropis dan selatan AS, Eropa dan Cina.
Suatu kebetulan pula, dalam studi tersebut dijelaskan bahwa penggunaan AC cenderung memuncak ketika matahari bersinar terang (siang). Maka dari itu, banyak permintaan energi tersebut dapat dipenuhi dengan SDA terbarukan, misalnya, tenaga surya yang lebih murah, sekaligus tidak memancarkan karbon. Namun, yang menjadi persoalan adalah, orang-orang tetap menggunakan AC pada saat matahari terbenam, sehingga permintaan energi tidak dapat ditanggung secara keseluruhan. Hal tersebut pada akhirnya menuntut perubahan secara cepat dan signifikan terhadap kemajuan infrastruktur penghasil energi nonkarbon. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved