Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Jalan Panjang Perjuangan para Buruh Migran Indonesia

Rizky Noor Alam
28/4/2019 00:00
Jalan Panjang Perjuangan para Buruh Migran Indonesia
Eni Lestari Andayani(Dok. Pribadi)

TANGGAL 1 Mei, seluruh dunia akan merayakan Hari Buruh Internasional. Isu-isu perburuhan di Indonesia seakan tidak ada habisnya, dari soal peningkatan kesejahteraan, kontrak kerja, hingga masalah lainnya seperti kese­lamatan dan jaminan pensiun. Namun, di balik itu semua ada sisi perburuhan lainnya yang patut menjadi perhatian, yaitu permasalahan para buruh migran yang kerap luput dari perhatian pemerintah.

Lalu, bagaimanakah seluk-beluk permasalahan buruh migran Indonesia saat ini? Apakah nasib mereka sudah semakin membaik sebagai pahlawan devisa bagi negara? berikut petikan wawancara Media Indonesia dengan Eni Lestari Andayani, Ketua International Migrants Alliance (IMA), melalui sambungan Skype, Jumat (24/4).

Bagaimana Anda melihat perkembangan kondisi buruh migran Indonesia saat ini dalam berbagai aspek, apakah jauh lebih baik?
Menurut data Bank Dunia 2017-2018, ada 9-10 juta buruh migran Indonesia yang tersebar di berbagai negara, baik yang legal maupun ilegal.

Pemerintah Indonesia memang berusaha mendongkrak skill dan tingkat pendidikan calon TKI, tapi secara kondisi di luar negeri sebenarnya tidak bisa dikatakan membaik. Hal ini dipengaruhi banyak aturan negara penempatan yang semakin represif, misalnya, dari gaji yang dulu lebih tinggi dan sekarang lebih rendah, masa tinggal yang dulu lebih panjang dan sekarang semuanya diperpendek, jam kerja yang rata-rata sangat panjang sekali, serta mereka punya sistem kuota yang mana setelah beberapa tahun kita diwajibkan pulang.

Seperti apa sikap pemerintah Indonesia menghadapi ini?
Hal ini semakin memburuk karena sikap pemerintah Indonesia memang sangat lemah. Pertama, sikap pemerintah sangat lemah di dalam menegakkan bargaining power-nya untuk memberikan perlin­dungan hukum bagi TKI di negara penempatan. Misalnya, tidak ada MoU ataupun kalau ada MoU tidak mengikat sehingga teman-teman kita masih ada yang tidak mendapat hak libur dan hak istirahat.

Banyak kasus yang mana mereka juga tidak tahu meminta pertolongan, kami sendiri juga banyak menangani kasus di Hong Kong, Malaysia, dan Timur Tengah. Mayo­ritas kasusnya tidak ada libur, tidak tahu jalan, dokumennya dipegang agen-agennya, ini menunjukan bahwa pemerintah juga masih tidak maksimum dan tidak dimonitor di lapangan, ini yang menjadi perhatian kami. Di sisi lain, pemerintah sangat agresif memberlakukan moratorium, contohnya di 2017, Timur Tengah dimoratorium.

Apa saja efek buruk moratorium?
Saat ini kami banyak menangani kasus buruh migran di Timur Tengah, termasuk di Suriah yang menjadi korban perdagangan manusia. Semakin dimoratorium akan semakin banyak penipuan. Bahkan, misalnya mereka ada yang dijanjikan bekerja di Abu Dhabi, tapi akhirnya malah di Suriah, itu salah satu contohnya. Makanya, kondisi di luar negeri itu sebetulnya semakin memburuk, bahkan mereka yang berpendidik­an tinggi, misalnya S-1 atau yang punya skill khusus seperti perkapalan, rata-rata mereka bekerja di kapal yang kontraknya pendek sekali cuma 1 tahun.
Walaupun bisa diperpanjang, tapi sistemnya ketat sekali karena sudah outsourcing dan gajinya juga tidak banyak dan ditambah lagi jam kerjanya panjang. Inilah yang menurut saya buruh migran Indonesia itu tidak membaik seperti yang sering diklaim pemerintah saat ini.

Kasus-kasusnya masih bersifat klasik seperti upah dan kekerasan, apakah masih terjadi?
Jadi, kasus klasik yang masih sangat sering terjadi ialah penyanderaan upah dan dilarangnya libur. Ditambah jam kerja yang sangat panjang, lalu bekerja tanpa alat pengaman baik PRT maupun buruh kon­s­truksi sehingga banyak kasus kematian, cacat, dan banyak juga kasus penahanan paspor yang merupakan kasus dominan serta penahanan dokumen-dokumen oleh PJTKI-nya.

Ada juga aturan pemerintah Indonesia yang masih sangat memberatkan, misalnya, biaya penempatan. Dalam kasus di Asia, biaya penempatan itu berkisar antara 6-7 bulan gaji sampai 9 bulan gaji, dan secara hukum legal di Indonesia. Namun, dalam praktiknya mayoritas membayar dua kali lipat serta uangnya itu disetor ke PJKTKI dan agen atas nama biaya training dan biaya keberangkatan, ini sampai sekarang kita protes.

Lalu, bagaimana kualitas skill para buruh migran saat ini?
Secara skill sebenarnya banyak sekali peningkatan karena ditunjang aturan pemerintah yang mengharuskan semua calon TKI untuk punya basic skill. Termasuk yang utama bahasa dan sekarang rata-rata yang bermigrasi ke luar negeri ialah orang-orang yang berpendidikan.

Anda menjadi buruh migran sejak 1999 dan pada 2010 mendirikan Asosiasi Buruh Migran Indonesia (ATKI) hingga pada 2016. Anda bicara di forum PBB terkait dengan masalah buruh migran dunia. Dari panjangnya perjuangan Anda tersebut, bagaimana Anda melihat pemerintah Indonesia dalam menangani dan mengatur para buruh migrannya saat ini? Apakah ada kemajuan yang berarti?
Sebenarnya kalau pemerintah yang banyak diperbaiki itu sistem perekrutan dan pengiriman tenaga kerjanya. Kenapa seperti itu? Karena sejak zaman SBY sampai Jokowi sibuk sekali mereformasi dan mengefektivitaskan sistem pengiriman yang mudah dan cepat dengan alasan supaya lebih murah, walaupun tidak murah sebenarnya.

Jadi, kalau saya katakan, 80% pekerjaan pemerintah itu benar-benar ada di dalam negeri, lebih mengurusi perbaikan PJTKI, pelatihan, dan juga mempercepat sistem pengiriman. Namun, kalau kita bicara perlindungan itu masih menjadi pertanyaan besar karena pemerintah melalui BNP2TKI masih sibuk mencari lowongan kerja di luar negeri. Di sisi lain, pemerintah juga minim upaya untuk meyakinkan yang di luar negeri merasa terlindungi. Contohnya, kami mengkritisi moratorium di Timur Tengah yang mana tidak menyelesaikan masalah karena hal itu pernah juga dipraktikkan di Malaysia dan Timur Tengah yang justru mengakibatkan meningkatnya jalur-jalur ilegal.

Hal-hal apa saja yang menurut Anda belum tersentuh pemerintah terkait dengan buruh migran? Inovasi apa yang harus dilakukan pemerintah dalam hal ini?
Yang belum tersentuh itu hal yang bersifat struktural, misalnya, pencegahan jika dibandingkan dengan pengobatan. Artinya, pemerintah harus menyiapkan para buruh migran untuk paham akan kondisi dan peraturan yang mana dirinya akan ditempatkan. Training prapenempatan atau sebelum berangkat itu hal yang vital, tapi sampai saat ini training itu semua diserahkan ke PJTKI dan tidak ada penyuluhan terkait dengan negara tujuan penempatan.
Semua yang datang ke luar negeri masih tidak tahu apa yang akan terjadi kalau ada masalah, bagaimana jalur hukumnya, dan hal itu yang sampai sekarang tidak direformasi pemerintah. Hal itu harus direformasi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Lalu, yang kedua ialah yang terkait dengan menciptakan kontrak kerja standar dan itu kontraknya harus bersifat mengikat.

Pemerintah Indonesia itu punya bargai­ning power yang besar karena Indonesia penyuplai tenaga kerja di berbagai negara dengan harga yang murah. Jadi, pemerintah bisa menggunakan hal itu untuk menekan secara diplomatik. Yang ketiga, pemerintah harus menghentikan aturan yang memaksa buruh migran harus masuk PJTKI, bagi PRT itu menyiksa karena sifatnya wajib dan menyebabkan kita tidak punya pilihan. Terakhir, poin saya ialah pemerintah harus menjamin akses peradilan bagi korban pelanggaran PJTKI. Sampai hari ini PJTKI melanggar kita tidak bisa melapor.

Lalu apa saran Anda bagi mereka yang tertarik menjadi buruh migran? Faktor-faktor apa yang menurut Anda masih menjadi faktor pendorong mereka menjadi buruh migran? Trennya bagaimana? Naik atau turun?
Masalahnya masih sama. Sebenarnya mendorong banyak orang ke luar negeri ialah hal melambungnya harga di Tanah Air sehingga mereka kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Trennya sendiri naik, sekarang ini bukan hanya orang miskin perdesaan yang bingung mencari pekerjaan ke luar negeri, orang perkotaan yang berpendidikan tinggi pun mencari lowongan ke luar negeri. Maka dari itu, kasus-kasus perdagangan manusia di Eropa umumnya justru menimpa mereka yang berpendidik­an tinggi atau berketerampilan tinggi, seperti chef atau orang tingkat manajemen.

Mereka dijanjikan kerja di Eropa, ternyata di sana tidak ada lowongan dan terdampar. Akhirnya tidak berdokumen. Di Belanda itu salah satu tempatnya pembuangan untuk orang-orang yang ditipu ke Eropa.

UU Buruh Migran telah disahkan tahun lalu. Bagaimana menurut Anda? apakah UU tersebut sudah mengakomodasi segala kebutuhan dan perlindungan bagi para pekerja migran kita? Hal-hal apa saja yang menurut Anda masih kurang diatur dalam UU tersebut?
Jadi, UU itu di satu sisi punya nilai positif bagi kami karena sudah memasukkan beberapa tuntutan yang selama ini kita perjuangkan. Misalnya, mengilegalkan pemungutan biaya penempatan yang berlebihan dan tidak sesuai aturan. Lalu, UU itu juga memberi peluang bagi korban penipuan PJTKI untuk menuntut PJTKI-nya.

UU itu juga sudah memasukkan anak buah kapal dalam UU minimal sekarang sudah berada dalam satu payung hukum. Namun, UU itu juga banyak kelemahannya, salah satunya ialah PRT yang hari ini jumlahnya 60% dari jumlah TKI itu masih diwajibkan untuk masuk ke PJTKI dan negara tidak mau mengurusi kebutuhan PRT ke luar negeri. Semuanya masih meng-outsourcing-kan kepada PJKTKI. Artinya, mayoritas buruh migran, yaitu PRT itu sendiri masih akan mengalami penindasan karena kita harus diserahkan ke PJTKI. Lalu yang kedua, pemerintah belum membuat aturan turunan dalam bentuk apa pun untuk meyakinkan pasal-pasal yang melindungi buruh migran nanti bisa dilaksanakan. Yang ketiga, UU itu juga mewajibkan kita punya BPJS.
Padahal, kita tidak butuh BPJS karena kalau di luar negeri kita sudah di-cover asuransi majikan. Kalau kita pekerja legal, sudah kewajiban majikan atau perusahaan untuk membelikan asuransi. Kalau BPJS kan bisa dipakai kalau di Indonesia saja. Ini kan lucu, terlihat seperti money making.

Bagaimana pendapat Anda atas bebasnya Siti Aisyah atas tuduhan pembunuh­an di Malaysia? Apakah hal ini sebagai pertanda adanya kemajuan diplomasi pemerintah dalam melindungi rakyatnya di luar negeri?
Satu sisi saya melihat itu ialah upaya positif untuk menyelamatkan Siti Aisyah. Memang itu tugas negara untuk selamatkan dia karena saya yakin dia korban lugu. Itu kasus klasik dalam orang-orang yang sudah terjebak dalam sindikat. Jadi, bagi saya itu memang tugas negara untuk selesaikan kasus itu. Namun, yang saya lihat, pemerintah hanya akan bekerja keras jika kasus yang ditangani itu go public.

Apa harapan Anda bagi presiden terpilih nanti untuk kemajuan para buruh migran Indonesia? mengingat kita baru saja melaksakan pemilu.
Harapan kami sebenarnya masih meneruskan harapan kemarin. Pemerintah selalu menjanjikan perlindungan dan negara hadir dalam perlindungan buruh migran. Cuma yang kami lihat baru case to case, cuma kasuistik baru high profile case, maka pemerintah akan intervensi. Sementara itu, tadi yang saya sebut masalah-masalah struktural yang berdampak pada jutaan orang itu tidak diperjuangkan dengan baik, antara lain jaminan kontrak kerja, menghentikan PRT dipaksa masuk PJTKI karena mereka hanya mafia yang mau ambil uang kita, dan bagaimana masyarakat kita atau calon buruh migran dipahamkan kondisi negara tujuan mereka bekerja.

Jangan hanya yang baik-baiknya, tapi juga kondisi masyarakatnya, budayanya, hukumnya, bahkan politiknya kita harus tahu sehingga kita tidak rentan ketika masuk negara tersebut. Yang kedua, pemerintah harus menjamin kalau kita ditipu, baik itu buruh migran maupun keluarganya, kita harus punya akses penuntutan yang lebih mudah. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik