Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
MATAHARI beranjak naik, Sabtu (2/3), ketika saya dan sejumlah orang telah berkumpul di Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS). Intensi kami hari itu ialah hendak melihat habitat gajah dari dekat.
Sebelum berangkat ke lokasi, Sugeng, pemandu kami menyampaikan aturan-aturan selama perjalanan dan saat berinteraksi dengan mamalia berbelalai tersebut. “Ingat, nanti kalau Sultan dan Uli ajak main, cium-cium, biarkan saja. Mereka memang bulat, lucu, tapi biarkan saja. Nanti dia akan bosan sendiri,” kata Sugeng dengan penuh semangat.
Sultan dan Uli ialah dua anak gajah yang akan kami temui. Panduan itu penting diberikan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam perjumpaan.
Kalau diajak main, jelas Sugeng, nanti manusia dikira temannya. Padahal, manusia bukan teman main gajah. Teman main gajah ialah sesama gajah. Sekali anak gajah diajak main, memorinya akan sangat kuat. Mereka akan mengingatnya hingga puluhan tahun.
“Bayangkan, usianya 20 tahun, berat badannya sudah lebih 3 ton. Kalau mereka ajak main nyepak, ya sudah Innalillahi. Nah, ayo, kita berangkat,” ajak Sugeng.
Kami, tim wartawan, Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Sumatera, bersama tim dokter hewan--pun langsung berangkat menuju salah satu lokasi kawanan gajah. Tim dokter hendak memeriksa kesehatan gajah dan memberi obat cacing, sementara kami meliput kegiatan mereka, gajah, dan para mahout.
Perjalanan yang ditempuh sekitar 2 kilometer. Kami harus menembus hutan, melewati sabana, dan mendaki bukit untuk menjumpai salah satu kelompok gajah. “Di sini, gajah tidak mengikuti jadwal manusia. Kalau ingin melihat habitat gajah, manusia yang mengikuti jadwal gajah,” jelas Sugeng di sela-sela perjalanan.
Setelah melewati sungai kecil dan sedikit mendaki bukit, akhirnya kami melihat mereka. Lima gajah, termasuk Sultan dan Uli, bersama para mahout, pawang gajah. Perlahan, mereka menghampiri kami.
Perjalanan kami melihat habitat gajah di BNWS memberi pengalaman yang tidak terlupakan. Tidak sekadar melihat gajah dari dekat di habitat alami mereka, tetapi cerita dari Sugeng dan para mahout sedikit banyak menambah kecintaan pada makhluk mamalia yang sering dianggap hama oleh pemilik perkebunan.
Kesejahteraan hewan
Sugeng menceritakan, gajah-gajah di BNWS relatif jinak. Mereka tidak dijinakkan di BNWS, tetapi tempat mereka sebelumnya. “Mereka gajah-gajah telantar yang dikonservasi dari pusat pelatihan gajah,” tuturnya.
Agar jinak, tidak jarang mereka disiksa dulu supaya menurut. Bahkan, ada gajah yang menjadi buta. Tentu saja penyiksaan itu tidak sejalan dengan visi konservasi. Di tempat tersebut, kesejahteraan hewan (animal welfare) sangat diperhatikan, yaitu bebas dari rasa haus dan lapar, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, bebas berperilaku alamiah, dan bebas dari rasa tertekan.
“Di sini gajah tidak untuk ditunggangi umum. Hanya boleh ditunggangi oleh mahout-nya,” kata dia. Itu pun sebatas untuk mengendalikan gajah agar bisa tenang saat akan diperiksa ataupun diobati. Setiap gajah memiliki seorang mahout.
Salah satu mahout, Atong Harahap, menambahkan, setiap harinya gajah dibiarkan di alam bebas dari sekitar pukul 09.00 sampai pukul 17.00. Mereka akan mencari makan sendiri dan berjalan bersama kelompok mereka di padang sabana.
“Kami bawakan juga pisang. Setiap hari empat sisir pisang diberikan pagi dan sore,” kata pria berusia 21 tahun tersebut. Ia mengaku senang bisa berinteraksi dengan gajah. Menurut dia, laiknya manusia, gajah juga tidak ingin disakiti dan ingin diperhatikan.
Konservasi satwa
BNWS merupakan salah satu suaka satwa di Sumatra Utara. Tidak hanya gajah sumatra, tempat ini juga menjadi habitat konservasi sekaligus ekowisata bagi sejumlah satwa lain, seperti harimau sumatra, siamang, kera ekor panjang, elang, tenggiling, maupun landak, dan sebagainya. Khusus konservasi harimau sumatra tidak dibuka untuk umum.
Ekowisata BNWS yang berada di Desa Batu Nanggar, Aek Godang, Kecamatan Batang Onang, Padang Lawas Utara, Sumatra Utara, dikelola oleh Henry Sukaya, 39.
Menurutnya, sebelum menjadi BNWS, kawasan seluas 600 hektare milik ayahnya tersebut sempat diniatkan menjadi perkebunan sawit.
“Namun, saat ploting lahan, ternyata banyak potensi yang ditemukan di area ini dari danau, sungai, mata air, hingga keanekaragaman hayati,” kata dia.
Dari situ, Henry kemudian terpikir untuk membuat area tersebut menjadi tempat konservasi sekaligus ekowisata. Kini ada 4 ekor harimau sumatra, 15 gajah sumatra, dan aneka satwa lain yang dibiarkan bebas di area BNWS.
“Ada 400 hektare untuk area konservasi, termasuk 35 hektar konservasi harimau sumatra, dan 150 hektare untuk kebun sawit,” kata dia. Sekitar 50 hektare sisanya digunakan untuk bangunan tempat peristirahatan, rumah bagi pegawai perkebunan, dan fasilitas jalan.
Henry mengatakan, walau sebagai ekowisata, fungsi konservasi di BNWS tetap diutamakan. Dalam sehari, ia hanya menerima tamu maksimal 30 orang. BNWS dikelola dengan pembiayaan dari hasil perkebunan sawit dan donasi dari wisatawan ataupun individu. Donasi wisatawan domestik sebesar Rp500 ribu per orang sehari atau Rp1,5 juta untuk tiga hari, sudah termasuk transportasi dari Sidempuan, makan, dan coffee break.
Para tamu akan melihat keindahan alam Barumun dengan menggunakan mobil safari, mulai dari danau, padang sabana, gajah, hingga aneka satwa liar yang dibiarkan di alam.
“Tidak ada atraksi satwa di sini. Yang kita sajikan ialah mengajak wisatawan untuk tahu dan cinta pada satwa,” kata dia.
Henry menyebut kebanyakan wisatawan yang datang ke BNWS berasal dari luar negeri, seperti Australia, Swedia, Jerman, Selandia Baru, Amerika, Inggris, Kanada, dan Swiss. Sementara itu, dari domestik kebanyakan dari Surabaya dan Jakarta.
Tidak terasa hari sudah menginjak petang. Kami pun harus bergegas meninggalkan BNWS untuk menuju Sibolga dengan membawa banyak cerita tentang konservasi satwa dan keindahan alam Barumun yang harus terus dilestarikan. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved