Kisah Jagoan Silat di Batavia

Galih Agus Saputra
06/4/2019 00:00
Kisah Jagoan Silat di Batavia
Ilustrasi(MI/Caksono)

NAMA Si Pitung tentu sudah tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi sebagian besar orang yang tinggal di Jakarta. Sosoknya cukup kontroversial karena dikenal sebagai seorang 'perampok', yang dibenci pihak kolonial tetapi disegani orang Betawi. Menjelang akhir abad ke-19, suasana Jakarta atau Batavia memang sering diwarnai kriminalitas. Perampokan terjadi di mana-mana, dan tampak kontras dengan suasana Jakarta saat ini yang tampak banyak pembangunan di sana-sini.

Perampokan biasa terjadi di malam hari, dan untuk beberapa kasus keberadaannya sungguh dikagumi. Mereka bak selebritas karena merampok dari si kaya untuk dibagikan kepada si miskin. Mereka sering membuat kalang kabut polisi bentukan pihak kolonial, bahkan pertahanan mereka kebanyakan tampak tidak begitu berarti di mata para jagoan silat ini.

Versi cerita yang beredar tentang kisah sosok Si Pitung memang banyak selama ini. Saking melegendanya, bahkan ia pernah difilmkan berkali-kali. Di antaranya ada Banteng Betawi (1971), Si Pitung Beraksi Kembali (1976), dan Pembalasan si Pitung (1977). Semuanya disutradarai Nawi Ismail. Beberapa pihak pernah menyebut Si Pitung tidak bisa mati. Polisi kolonial sering tampak dibodohi, dan terlihat saat mereka menjaga kuburan Si Pitung karena takut bangkit lagi.

Margreet van Till pernah mengulas cerita para pemberani itu di buku Batavia Kala Malam (2018). Dalam buku tersebut, ia mencoba menawarkan ulasan yang cukup ringkas dengan gaya penyampaian ringan, tetapi tidak meninggalkan detail dalam setiap pembahasan. Tidak hanya Pitung, beberapa nama lainnya pun turut disoroti. Margreet mendalami sejarah di Universitas Groningen, dan belajar khusus untuk sejarah non-Barat. Sebelum menyelesaikan disertasi yang terbit pada 2011, ia juga pernah tinggal di Jakarta selama beberapa tahun untuk memahami Betawi.

Berawal dari Ommelanden

Setidaknya ada 10 bab yang diulas Margreet dalam Batavia Kala Malam (2018). Mula-mula, ada cerita tentang Batavia dan Ommelanden. Daerah itu, katanya, sudah lebih dahulu termodernisasi jika dibandingkan dengan daerah Nusantara lainnya. Di samping itu, pertumbuhan pers katanya juga sudah mulai terlihat dan mengabarkan masalah keamanan kala itu. Berawal dari masalah keamanan tersebut, kemudian terjadi desentralisasi aparat pemerintah ke wilayah-wilayah lain.

"Wilayah keresidenan itu mencakup daerah-daerah, seperti Tangerang, Bekasi, dan Buitenzorg (Bogor). Nantinya, wilayah bagian selatan, yakni Buitenzorg diatur lebih lanjut dalam karisedanan yang terpisah," tulisnya.

Menurut Margeet, Ommeladen (sebuah lahan luas di sekitar Batavia) pada abad ke-16 tidak begitu menarik sebagai tempat hunian. Tempat itu lebih berupa rawa-rawa, dan pada awal abad ke-17 daerah tersebut belum berpenghuni karena terjadinya perang antara VOC dan Kerajaan Mataram Jawa, Kerajaan Pajajaran Preanger (Priangan), dan Kesultanan Bantam (Banten). Setelah 1620, tanah kemudian dibuka oleh pemerintah atas dorongan Jan Pieterszoon Coen.

"Ia berharap dengan menempatkan orang-orang Eropa di sekitar Batavia dapat memberikan kulit luar berupa wilayah pertanian. Hal ini dilakukan untuk melindungi Batavia dari serangan," tulis Margreet.

Kaburnya para tahanan

Nama Si Pitung kemudian mulai terlihat di bab 2. Menurut Margreet, kala itu sering terjadi adu kekuatan antara pihak otoritas dengan 'perampok' setelah terjadinya penangkapan. Polisi bentukan kolonial berusaha merusak karisma para 'perampok' sementara 'perampok' berusaha mempertahankannya dengan berani. Ketika polisi menghina Si Pitung yang saat itu tertembak misalnya, Si Pitung bernyanyi satu lagu riang sebagai responsnya. Bahkan, ketika sidang pengadilan memutuskan hukuman kerja paksa bertahun-tahun terpidana malah tertawa, yang dianggap sebagai puncak penghinaan bagi orang Eropa.

Margreet selanjutnya mengatakan penangkapan para 'perampok' selalu dilakukan dengan pengawalan pihak kepolisisan. Peristiwa itu sering dibarengi kekerasan karena 'perampok' tidak berniat menyerahkan diri tanpa perlawanan. Walau demikian, hadiah bernilai tinggi untuk satu kepala 'perampok' sering diberikan, agar menjadi dorongan bagi para penduduk untuk menangkap mereka.

"Uang yang dapat diperoleh pada kesempatan macam itu bisa mencapai 1.000 gulden," kata Margreet.

Hukuman mati juga diterapkan dalam sebuah undang-undang tersendiri. Meski demikian, menurut Margreet, dalam kurun waktu hingga abad ke-20 jumlahnya berkurang, dan hanya diperuntukkan bagi para 'perampok' yang telah membunuh orang dalam aksinya. Pada 1893, Si Pitung Dji-ih, dan anggotanya pernah mendapat hukuman semacam ini. Namun, hukumannya kemudian diubah menjadi hukuman penjara yang amat panjang karena saat beraksi tidak terjadi pertumpahan darah. Atas kasus semacam ini, mereka bisa mendapat hukuman penjara atau kerja paksa selama 10-15 tahun.

Meski demikian, menurut Margreet, penjara di Hindia-Belanda tidak biasa memasukan tahanan ke sel karena hawa panas di dalamnya dan sering terjadi ketegangan. Sebagai contoh, ketegangan pernah terjadi di penjara besar daerah Glodok. Para pemilik warung dari luar tembok turut melempari makanan untuk para tahanan.

persentase pelarian para tahanan juga sangat tinggi. Satu alasan yang mendasarinya lantaran para tahanan tidak ditempatkan secara berpisah. Margreet yang menutip data resmi dari pemerintah menyebutkan, pada 1925 setidaknya ada 168 tahanan di Jawa yang kabur dari penjara, sedangkan 504 narapidana lainnya kabur saat kerja sosial di luar penjara. Sebagai perbandingan, di Cipinang, dari 3.000 tahanan yang ada setiap hari rata-rata ada satu tahanan yang kabur dari penjara.

Jumlah tahanan yang lari dari penjara di luar Pulau Jawa juga tidak kalah tinggi. Pada kali ini, Margreet menceritakan sosok Oesoep sebagai contohnya. Ia adalah pemimpin gerombolan di Batavia pada 1920, dan mungkin lebih ditakuti dari Pitung. Oesoep telah ditangkap beberapa kali, hingga dijebloskan ke penjara Glodok, dan tambang Ombilin di Sawah Lunto, Sumatra. Namun demikian, berkali-kali pula ia dapat kabur dari penjara karena jaringan sosial dan kerja yang luas sangat membantu. "Banyaknya jalan keluar dari tambang membuat pengawasan semakin sulit," tulis Margreet.

Reorganisasi kepolisian dan masa krisis

Menjelang akhir pembahasannya, Magreet bercerita tentang reorganisasi kepolisian oleh pemerintah kolonial, yang segera menyusul masa krisis para 'perampok'. Kepolisian bentukan pemerintah Hindia-Belanda yang semakin termodernisasi memang menjadi lebih efektif dalam memberantas perampokan. Mode transportasi dan infrastruktur menjadi faktor yang sangat memengaruhi keberhasilan sebuah pengejaran.

Penduduk pribumi yang dipekerjakan sebagai polisi juga memperoleh pendidikan yang semakin baik. Keberadaan mereka kemudian menjadi sangat penting dalam sebuah aksi pengejaran. Modernisasi kepolisian yang membuat proses pengejarannya semakin efektif itu kemudian berpengaruh pada krisis para 'perampok'. Pada 1930-an, berita-berita di koran juga lebih banyak dipenuhi dengan berita internasional ketimbang kabar soal Ommelanden itu sendiri.

Selain modernisasi kepolisian, pemerintah Hindia-Belanda juga mulai mempropagandakan kredit dan tabungan secara besar-besaran. Melarikan diri dengan sedikit hasil rampokan, dirasa pemerintah membuat peluang para perampok lebih mudah ditangkap. Selanjutnya, pada 1933, kedapatan hanya ada empat aksi perampokan, sedangkan pelaku dari tiga perampokan itu sudah ditangkap. Pada 1934 juga ada 15 perampokan, tetapi 11 pelakunya sudah ditangkap. "Cerita sukses seorang 'pemimpin rampok' tertentu tidak muncul seperti dalam dasawarsa sebelumnya," tulis Margreet. (M-4)

Keterangan Buku:

Judul: Batavia Kala Malam

Penulis: Margreet van Till

Penerbit: Masup, Jakarta

Terbit: Oktober 2018

Tebal: 303 halaman



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya