Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Merayakan Peter Carey, Menyelami Indonesia

Bintang Krisanti
23/3/2019 05:20
Merayakan Peter Carey, Menyelami Indonesia
()

SIAPA gerangan orang Inggris ini yang begitu rinci menuliskan sejarah kehidupan kakek ketujuh saya? bagaimana dia bisa sangat menguasai dengan sempurna sejarah pahlawan di negara lain?

Begitulah sederet pertanyaan yang muncul di benak Ki Roni Sodewo, keturunan ketujuh Pangeran Diponegoro setelah membaca buku The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855 karya Peter Carey (2007). Buku tersebut berasal dari tesis Carey yang membutuhkan waktu 30 tahun hingga diterbitkan.

Buku ini begitu detail mengungkap berbagai hal tentang Diponegoro, termasuk meluruskan hal salah dalam sejarah Indonesia selama ini. Salah satunya yakni alasan Diponegoro menentang Belanda yang sesungguhnya bukan hanya karena pembangunan jalan yang mengenai makam leluhur. Juga sama sekali bukan karena marah tidak diberi takhta. Melainkan sang putera sulung Hamengkubowono III itu ingin membela rakyat kecil dari kesewenangan Belanda dan karena berbagai pengaruh Belanda yang menggerus nilai-nilai luhur budaya Jawa.

Keheranan sekaligus kekaguman Ki Roni Sodewo, yang sejak 2015 menjabat Ketua Umum Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro, mengenai sosok Carey itu tertuang dalam buku Urip Iku Urub - Untaian Persembahan 70 tahun Profesor Peter Carey (2019). Sesuai judul, buku Urip Iku Urub ditulis untuk merayakan HUT ke-70 sang Indonesianis asal Inggris yang jatuh 30 April 2018.

Perayaan melalui sebuah buku memang sama sekali bukan berlebihan untuk sosok seperti Carey. Buku The Power of Prophecy itu telah berlaku seperti penggalan nama Diponegoro sendiri, yakni ‘dipa’ yang berarti lampu (mencerahkan). Dari buku yang kemudian terbit dalam bahasa Indonesia tahun 2012 (Kuasa Ramalan- Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855) itu pula mendorong banyak aksi maupun karya seni terkait Diponegoro.

Contohnya yakni upaya meluruskan sejarah Diponegoro yang dilakukan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro. Bahkan Wardiman juga yang kemudian mengajukan Babad Diponegoro untuk masuk Memory of the World (MOW) Unesco.

Sumbangsih Carey bagi ilmu pengetahuan dan generasi muda Indonesia pun terus mengalir lewat kelas-kelasnya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Posisi sebagai profesor tamu di UI dilakoni Carey yang bergelar profesor kehormatan dari Trinity College, Oxford sejak diminta Profesor Sejarah UI, Djoko Marihandono pada 2012.

Beragam sisi

Penuturan Wardiman Djojonegoro maupun Ki Roni Sodewo, soal sosok Carey hingga dampak karyanya menjadi bagian tulisan yang tertuang di buku Urip Iku Urub. Selain keduanya, ada 21 kontributor lain yang menyumbang tulisan bagi buku setebal 567 halaman tersebut.

Tulisan-tulisan mereka terbagi dalam lima bagian. Bagian pertama berisi perjalanan hidup Carey dan refleksi sosoknya termasuk dari Wardiman dan Ki Roni. Bagian kedua dipersembahkan bagi pencapaian Carey yang menembus batas akademik hingga karyanya menjadi inspirasi banyak kreasi seni. Di antaranya komik karya komikus Aji Prasetyo dan juga ikut menjadi rujukan film karya Subi.

Dalam bab pertama juga terdapat autobiografi singkat dari Carey sendiri. Dari situ pula pembaca bisa mendapat gambaran kemajemukan dan
kehidupan petualangan yang sudah dilakoni sejak zaman leluhurnya.

Asia sama sekali bukan dunia baru dalam garis generasi keluarga Carey.

Leluhur Carey, William Carey (1761-1834) adalah misionaris baptis pertama di India yang dengan bantuan seorang Brahmin, mampu menerjemahkan injil ke 27 bahasa yang ada di India. Sementara ayah Carey, Thomas Brian Carey, meninggalkan rumah kelahirannya di Liverpool, Inggris, ke Myanmar (Birma) dengan tugas membuka cabang perusahaan ekspor-impor. Di Myanmar itu pula Carey lahir dan baru kembali lagi ke Inggris saat usia 6 tahun.

Lewat bab ini pula kita dapat melihat totalitas yang dibutuhkan sejarawan. Begitu menetapkan hati untuk menulis tesis tentang Diponegoro, tidak ada yang mampu meruntuhkan niatnya, bahkan ketika kurang mendapat dukungan dari profesor pembimbingnya di Universitas Cornell, Amerika Serikat maupun ketika hampir mati saat pertama berlayar ke Indonesia.

Satu yang membuatnya sempat patah semangat dalam menuntaskan tesis doktoral itu ialah berita-berita tentang penindasan rezim Orde Baru di Timor Timur (kini Timor Leste). Penindasan itu bukan saja melukai rasa kemanusiaannya melainkan ia merasa seperti mengulang penindasan yang dialami rakyat Jawa di zaman Deandels dan Raffl es, juga ibarat melihat derita Diponegoro kala menjadi buron.

Setelah kemerdekaan Timor Leste pada 2002, barulah Carey dapat melanjutkan merombak tesisnya. Perjuangan Carey untuk Timor Leste dikupas juga dalam tulisan Subi.

Tidak hanya itu, sosok Carey yang kiprahnya melintas batas akademisi juga tergambar lewat gerakan kemanusiaannya. Memiliki seorang putra penyandang disabilitas yang meninggal di usia 24 tahun, diakui Carey membuatnya lebih peka pada penderitaan orang-orang serupa.

Hal itu pula yang membuatnya terlibat dalam mendirikan Yayasan Cambodia Trust pada 1989. Yayasan tersebut bergerak untuk membantu
orang-orang yang selamat dari ranjau darat dan orang-orang kurang beruntung lainnya di Kamboja, Sri Lanka, Birma, Filipina, dan Indonesia. Atas jasanya, Carey pun dianugerahi gelar Member of the British Empire (MBE) yang penyematannya dilakukan langsung oleh Ratu Elizabeth II di Istana Buckingham pada 2011.

Terlihat, bahwa lewat segala totalitas dan ketulusan yang dijalani di berbagai perannya, Carey pun bisa menjawab tiga pertanyaan yang ia sebut pokok eksistensial tentang identitas: siapa diri kita? Dari mana? Mau ke mana?

Tatanan lama dan baru Jawa

Bagian ketiga hingga kelima buku berupa tulisan-tulisan untuk merayakan karya besar (magnum opus) Carey. Perayaan ini berwujud tulisan-tulisan historis dari para sejarawan, di antaranya Sri Margana, Kuncoro Hadi, hingga sejarawan asal Belanda Henk Niemeijer yang juga Country Director MAIS Archival System (Groningen), sistem kearsipan daring terbaik di Belanda.

Lewat tulisan para sejarawan ini buku Urip Iku Urub pun sekaligus menjadi buku sejarah yang berharga. Terlebih banyak tulisan yang membawa kebaruan tema dan mengungkap sejarah-sejarah yang belum banyak diketahui di zaman kolonial serta kemelut-kemelut di dalam trah-trah di Jawa.

Tulisan sejarah di bagian ketiga ini sekaligus memberikan pemahaman akan tatanan lama Jawa yang hadir lewat sistem kekuasaan yang dijalankan raja-raja Jawa berikut pembagian kekuasaan kepada keturunannya. Tatanan lama itu kemudian perlahan berubah dan goyah dengan kedatangan bangsa Eropa.

Ada pula tulisan yang memberikan prespektif baru sejarah. Salah satunya ialah tulisan sejarawan Lilie soal faktor yang ikut melatari pembantaian Tionghoa di Batavia pada 9-10 Oktober 1740. Lilie dengan cermat menggali soal perseteruan lama dan bergenerasi di antara Gubernur Jenderal dan Ketua Dewan Hindia Timur saat itu. Kedua pejabat yang sesungguhnya masih bersepupu itu memiliki keluarga yang berbeda ideologi politik di Belanda yang berekor kepada kompetisi keduanya di Tanah Jawa.

Begitu beragamnya kajian sejarah yang dihadirkan di buku ini juga bisa dilihat dari tulisan yang fokus pada anasir-anasir sejarah perempuan sesudah tatanan lama Jawa runtuh, yang menjadi tulisan penutup bagian kelima.

Dengan sajian yang begitu baik, buku ini pantas menjadi bacaan untuk bukan saja bagi para pengagum Carey melainkan semua orang yang tertarik dengan sejarah lama Jawa dan era kolonial.

Apresiasi untuk keberhasilan buku ini pantas diberikan bagi para kontributor dan juga editor FX Domini BB Hera. Tentunya pula, apresiasi kepada Peter Carey yang perjalanan hidupnya telah selayaknya memberi arti buku itu sendiri, yakni hidup yang mencerahkan atau bermanfaat bagi sesama. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya