Headline
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.
HABIS gelap terbitlah terang, ungkapan tersebut pantas disematkan pada sosok Tri Mumpuni. Perempuan berusia 54 tahun itu konsisten berupaya untuk menerangi desa-desa di Indonesia. Ia menggagas gerakan untuk membangun listrik mandiri pada wilayah yang tidak terjangkau akses listrik PLN. Gerakan itu berawal dari konsep penerapan teknologi tepat guna menyelesaikan permasalahan desa.
Pada 1992, didirikan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka). Ibeka ini memiliki misi untuk mengembangkan energi terbarukan yang bermanfaat terhadap kemandirian masyarakat dalam sosial ekonomi serta lingkungan. Sejak 1996 bersama masyarakat lokal, Ibeka membangun pembangkit listrik dengan memanfaatkan sumber air.
Hingga pada 2010 sudah terdapat 60 sumber tenaga listrik bertenaga kecil atau mikrohidro yang dibangun di berbagai wilayah di Indonesia. Saat ini diperkirakan sudah ada 100 desa yang diterangi listrik dari mikrohidro dan turbin angin di Pulau Sumba.
Aliran listik itu mampu meningkatkan panen masyarakat dan kesadaran untuk menjaga alam pun semakin tinggi. Penerapan teknologi tepat guna terbukti mampu memberikan dampak positif dalam bidang sosial dan lingkungan desa. "Saya melihat di desa itu penuh dengan kedamaian, ketenangan, dan apa yang kita kerjakan itu diapresiasi luar biasa. Kadang sampai membuat kita menitikan air mata kalau melihat bagaimana mereka menghargai apa yang kita kerjakan di luar apa yang kita pikirkan," ungkap Tri.
Awal dirinya menjajaki desa ialah dengan mendatangi peternak ikan nila merah di daerah Danau Toba. Dirinya dan rekannya membuat jaring apung yang bertujuan memudahkan panen melalui jala tersebut selama dua tahun. Setelah itu, dirinya berkesempatan untuk mengikuti kursus ke Amerika untuk mengembangkan kemampuan leadership empowerment and development selama dua tahun.
"Saya jadi belajar dari orang-orang di Afrika dan Amerika Latin mengenai bagaimana mereka membangun desanya sendiri. Ini merupakan ilmu yang sangat luar biasa, jadi inilah yang membuat saya semakin meyakinkan diri bahwa komitmen saya memang ada di desa," ceritanya.
Sementara itu, keterlibatan Tri dalam membangun desa dimulai pada 1996. Suami Tri yang disapa Iskandar sempat membangun listrik di salah satu desa yang ada di Subang.
Listrik di perdesaan memiliki banyak manfaat. Awalnya desa lebih mementingkan bisa memperoleh air bersih ketimbang listrik. Namun, lama-kelamaan kebutuhan itu muncul. Tidak adanya listrik membuat anak-anak sulit untuk berkembang menjadi pandai karena biasanya setelah pulang sekolah mereka membantu orangtua di ladang dan pulang ke rumah sore hari dalam keadaan kelelahan.
Dengan adanya listrik, anak-anak bisa belajar pada malam hari. Orangtua pun dibuat menjadi lebih produktif pada malam hari dengan membuat kerajinan rotan. Selain itu, ibu-ibu bisa kehilangan beban untuk mencari kayu bakar karena bisa menggunakan rice cooker dan menggunakan alat-alat yang meringankan pekerjaan kaum perempuan.
Proses Tri Mumpuni dalam memberdayakan desa dimulai dari hobinya dengan sang suami yang jalan-jalan ke perdesaan terpencil. Kemudian, mereka melihat potensi desa yang ada dan melakukan diskusi dengan masyarakat. Mereka melakukan proyek yang melibatkan masyarakat. Untuk pedanaan, pada awal 10 tahun merintis rupanya dibantu Pemerintah Jepang. Sementara itu, di Sumba, bagi Tri sangat menantang dalam proses pembangunan listrik karena tidak adanya jalan sehingga penduduk itu harus membuat jalan sendiri dengan cara memotong bukit sepanjang 2,6 km. Setelah itu, harus mengangkat barang yang beratnya hampir satu ton secara bersama-sama.
"Saya agak gimana saat Ketua Adatnya mengatakan ini: Bu, sebetulnya kami berat melakukan ini. Namun, kalau kami tidak berkorban, anak cucu kami tidak akan pernah menikmati kemajuan karena akan selalu berada dalam kegelapan," kisahnya.
Dalam perjalanannya, Tri bahkan sempat diculik dan ada permintaan tebusan senilai Rp2 miliar. Saat itu Tri memiliki tantangan untuk memasuki hutan yang paling dalam di Aceh, setelah masuk ke sana ternyata ada orang-orang di sana yang kecewa terhadap Jakarta dan menganggap orang Jawa ini terlalu memanfaatkan sumber daya alamnya.
Seiring dengan berjalannya waktu dan usia, Tri dan Iskandar menyadari bahwa tidak selamanya mereka bisa terjun ke desa mengingat usia yang semakin bertambah. Akhirnya, mereka memutuskan untuk bisa menelurkan anak ideologis yang bisa meneruskan perjuangan mereka melalui gerakan Patriot Negeri. Dirinya sempat membantu di Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) lalu membuat program yang awalnya bernama Patriot Energi. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved