Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Wastra Pemersatu Bangsa

Rosmery Sihombing
03/2/2019 04:40
Wastra Pemersatu Bangsa
(MI/ROSMERY)

Batik itu beatiful story
Batik itu way of life
Batik itu heritage
Batik itu pemersatu bangsa
Batik itu proses
Batik itu respect and inspiring

DEMIKIAN pendapat tentang batik yang terucap dari beberapa tamu undangan dalam acara Afternoon Coffee with Mei Chou Donovan and Susi Haworth, di rumah dinas Duta Besar Amerika Serikat (AS), di Taman Suropati Nomor 3, Menteng-Jakarta, Senin (7/1).

Mei Chou Donovan ialah istri Dubes AS untuk Indonesia Joseph R Donovan yang menyerahkan surat kepercayaan kepada Presiden Joko Widodo pada Januari 2017, sedangkan Susi ialah sahabat Mei Chou yang pernah sama-sama tinggal di Washington DC, AS. Ia ialah perempuan Indonesia yang menikah dengan pria Amerika Serikat.

Dalam bincang-bincang santai itu hadir 15 perempuan yang merupakan sahabat Mei Chou maupun Susi. Karier mereka pun beragam. Ada yang bekerja di bank, properti, pemerhati budaya, istri tentara, pengusaha, ahli radiologi, dan lain sebagainya. Namun, mereka semua memiliki kesukaan yang sama, yakni mencintai batik.

Pada pertemuan itu dihadirkan pula desainer Helen Dewi Kirana yang dikenal dengan batik motif selampadnya. Sedianya, diskusi batik akan diselingi mini-fashion show dari NES karya Helen.

Namun, fashion show batal karena semua material dan busana yang akan ditampilkan belum di-screening. Sebabnya, standar prosedur yang berlaku ialah memeriksa semua barang yang masuk ke rumah dinas kedubes AS.

“Saya minta maaf, mungkin saya harus mencari kesempatan lain untuk mengadakan fashion show,” ujar Mei Chou.

Perempuan asli Taiwan itu mengaku tidak mengajukan screening atas barang-barang yang masuk ke rumah dinas Kedubes, mengingat pemerintahan Trump sedang shutdown. “Ternyata prosedurnya tetap saja harus melalui screening,” tambahnya.

Pertemuan dengan topik batik datang dari Mei Chou yang menyukai batik dan ingin tahu lebih luas lagi tentang batik.

Sambil menikmati teh, kopi, dan makanan ringan yang diracik Nina D, diskusi yang dipandu Susi dimulai dengan berbagi pengalaman mengenai batik. Setiap yang hadir mengemukakan pendapat mengenai apa itu batik. Barulah Helen, sang desainer menjelaskan secara detail terkait dengan batik, khususnya batik motif Cirebonan.

Iwan Tirta

Sebagai tuan rumah, Ibu Dubes Mei Chou berkisah awal mulanya tertarik dengan batik lewat karya Iwan Tirta. Bahkan ketika memasuki rumah dinasnya, Mei Chou mendekorasi ruang tamunya dengan hiasan dinding batik karya Iwan Tirta. “I have two pieces of his (Iwan Tirta) batik at residence, both are on the wall,” ujarnya sambil jemarinya menunjuk ke sebuah dinding.

Kemudian ibu dua anak itu mengambil sejumlah koleksi buku tentang batik miliknya. Menurut Mei Chou, batik bukan cuma sebuah produk baju yang terlihat bagus ketika dipakai seseorang, melainkan juga ada cerita panjang di balik proses pembuatannya.

“Ada perempuan, para ibu yang terampil dan tekun membuat gambar-gambar halus. Ada kekuatan perempuan, budaya di sana. Ada inspirasi, kita harus menghargai itu. Bagi saya batik itu respect and inspiring,” jelasnya.

Lebih lanjut, Raida Syukur mengusulkan supaya menonjolkan batik bukan hanya sebagai produk yang kemudian ditampilkan lewat fashion show.

“Perlu juga mengangkat kisah atau cerita di balik proses pembuatan batik,” ujar lulusan Universitas Sydney yang juga istri dari Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ismunandar itu.

Sementara itu, Susi yang hampir 30 tahun tinggal di beberapa negara karena mengikuti sang suami yang bekerja di Bank Dunia mengatakan, batik menunjukkan identitas dan personality. “Misalnya, ada yang suka batik dengan motif kecil-kecil, besar-besar. Atau ada yang suka batik warna klasik, atau full colour. Itu menunjukkan kepribadian se­seorang,” ujar Susi.

Ia mengaku banyak mengoleksi batik dalam bentuk scarf, pasmina, dan kain. Dengan scarf atau pasmina, menurut Susi, ia bisa memperkenalkan batik secara praktis dan simpel.

Pemersatu bangsa

Setelah setiap orang sharing pengalaman, termasuk yang sama sekali buta tentang batik, karena 15 tahun lebih tinggal di Singapura, panggung pun diberikan kepada Helen, sang perancang.

“Batik itu bukan motif, melainkan proses, misalnya, motif parang lereng. Yang dilihat cara diprosesnya. Kalau motif lereng itu dibuat secara printing mesin, itu bukan batik,” ujarnya sambil memperlihatkan selembar batik tulis motif piring selampad.

Kepada ibu dubes, Helen menjelaskan, yang disebut batik bila proses pengerjaannya menggunakan canting dan malam atau cap dan malam.

Saat ini, tambahnya, hampir semua daerah di Indonesia memiliki batik dengan motif yang diambil dari latar budaya dan kesenian setempat.

“Itulah sebabnya, saya melihat batik adalah pemersatu bangsa karena  batik adalah kisah sejarah, kisah perjalanan bangsa Indonesia yang terekam di motif-motif batik sepanjang sejarah. Rasa saling memiliki akan batik mempererat persaudaraan sebagai satu bangsa,” ujarnya lagi.

Helen memulai kariernya sebagai perancang busana sejak 1986 dengan beragam karya batik orisinal dan inovatif. Di peng­hujung 2014, ia  meluncurkan label fashion terbarunya, yaitu NES.

Banyak motif batik yang ia pakai, tetapi sejak 2015 ia mengampanyekan secara khusus  piring selampad.

“Sebab selain motifnya yang hampir dilupakan, filosifinya piring selampad sangat perlu diingat kembali oleh bangsa kita, yakni tentang unity in diversity, tentang menghargai perbedaan, akulturasi budaya, tentang kisah cinta, dan lain-lain,” tutur Helen.

Sebagai kisah yang menarik, ia juga mengangkat isu kekinian di dalam motif batiknya, misalnya, tentang lingkungan dan sampah plastik.

“Untuk isu lingkungan saya banyak menggunakan motif pohon-pohon kehidupan dengan memadukan teknik jumputan lokal dan tie-dye Jepang, yaitu shibori.” (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya