Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
SUASANA perpolitikan di Negara Wiratha kian panas. Propaganda busuk terus-menerus berhamburan di kota hingga pelosok dusun. Sebagian besar warga termakan kabar kabur tersebut. Mereka pun tersulut dan larut dalam gerakan ganti pemimpin.
Gerakan radikal itu diinisiasi dan dikomandani trio pilar negara berwatak berangasan, yakni Kencakarupa, Rupakenca, dan Rajamala. Padahal, di Wiratha, mereka bukan hanya golongan elite negara, melainkan juga sebagai sentana dalem (anggota keluarga) istana.
Aksi itu dilatarbelakangi ambisi Kencakarupa yang ingin menguasai Wiratha. Ia kemudian mengajak saudaranya, Rupakenca dan Rajamala, membentuk Koalisi Mala dengan misi menggulingkan Prabu Matswapati. Mereka melegalkan segala cara untuk mencapai target tersebut.
Kodratnya, gerakan inskontitusional mereka akhirnya kandas. Bahkan, ketiganya sirna di tangan Jagalabilawa yang sejatinya Bratasena.
Gencarkan fitnah
Alkisah, pada suatu hari, Kencakarupa mengadakan pertemuan dengan Rupakenca dan Rajamala. Mereka memang secara periodik menggelar pertemuan membahas soal keamanan Wiratha. Maklum, ketiganya ialah para senapati dan tulang punggung keamanan dan pertahahan negara.
Namun, berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, ketika itu Kencakarupa dengan terbuka mengungkapkan keinginannya yang sudah lama terpendam. Ia pingin menjadi raja di Wiratha. Di luar dugaannya, Rupakenca dan Rajamala juga berkeinginan sama. Karena ambisinya sama, mereka kemudian membangun kekuatan dengan membentuk Koalisi Mala.
Maka dari itu, pertemuan yang biasanya membahas keamanan negara berubah menjadi arena rapat mengatur strategi perjuangan. Ketiganya untuk sementara menyingkirkan nafsu kekuasaan pribadi masing-masing. Mereka sepakat yang paling utama ialah menggulingkan Matswapati terlebih dahulu.
Kencakarupa yakin perjuangannya pasti berhasil. Menurut kalkulasinya, tidak ada orang Wiratha yang mampu menandingi kesaktiannya dan keampuhan Rupakenca serta Rajamala. Kekuatan ketiga putra Matswapati, yaitu Seta, Utara, dan Wratsangka pun dapat mereka ukur.
Inilah modal penting pembangkangan. Mereka akan menekan Matswapati agar bersedia menggelar tontonan adu jago, yakni jago dari Koalisi Mala melawan jago Matswapati. Siapa jagonya yang kalah, mereka harus meninggalkan istana. Rajamala menjadi jagonya Koalisi Mala.
Namun, langkah awal strategi politik mereka tidak langsung menusuk ke jantung istana. Mereka memanasinya dengan menebarkan fitnah, ujaran kebencian, berita bohong ke seluruh penjuru negeri. Rakyat diracuni dengan kabar bohong, misalnya, soal utang negara yang membebani rakyat, korupsi stadium empat, pajak yang mencekik, harga sembako yang kian tidak terjangkau, dan jumlah orang miskin yang semakin banyak.
Sebagai ujung tombak propaganda, Koalisi Mala merekrut tenaga sukarelawan dari kelompok-kelompok ‘sampah’ masyarakat. Pada sisi lain, mereka bersekongkol dengan pihak-pihak yang telah dinyatakan sebagai musuh negara. Koalisi Mala tidak peduli akan semuanya itu. Yang penting bersedia mendukung gerakan mereka menjatuhkan Matswapati.
Tujuan propaganda itu untuk membuat warga resah. Rakyat diprovokasi sehingga membenci Matswapati dan pemerintahannya. Pada akhirnya, mereka dikapitalisasi guna mendesak Matswapati turun takhta karena dianggap tidak becus mengurus rakyat dan negara.
Rajamala-Jagal Abilawa
Matswapati prihatin dengan kondisi negara yang tidak kondusif. Berdasarkan laporan telik sandi negara, ia tahu bahwa situasi yang meresahkan itu ternyata sengaja diciptakan Kencakarupa, Rupakenca, dan Rajamala yang ialah orang-orang kepercayaannya.
Padahal, ketiganya juga anggota keluarganya. Istri Matswapati, Rekatawati, ialah saudari trio komandan keamanan negara itu. Mereka merupakan anak angkat pasangan Durgandini-Palasara. Durgandini ialah adik kandung Durgandana, nama muda Matswapati.
Meski Matswapati tahu biang keroknya, ia tidak mau gegabah karena mengerti betul kedigdayaan para pengkhianat itu. Ia tidak ingin mengambil langkah frontal yang justru akan membuatnya terpental.
Pada suatu hari, Kencakarupa dan Rupakenca menghadap Matswapati. Dalam pertemuan yang kaku, Kencakarupa menyatakan bahwa situasi negara darurat. Rakyat menyatakan mosi tidak percaya. Solusinya harus ada pemimpin baru. Oleh karena itu, harus ada gelanggang adu kesaktian, siapa yang menang itu yang berkuasa. Kencakarupa menyodorkan Rajamala sebagai jagonya.
Matswapati yang tertekan, tidak ada pilihan lain kecuali menyetujui usulan tersebut. Seusai pertemuan, ia merintahkan putranya, Utara, mencari jago yang pantas dihadapkan dengan Rajamala.
Setelah blusukan ke berbagai tempat, Utara bertemu dengan lurah pasar bernama Wijakanka, nama samaran Puntadewa, sulung Pandawa. Atas usulannya, Utara menemukan jago, yakni tukang jagal bernama Jagalabilawa yang sejatinya ialah Bratasena.
Pada waktu dan tempat yang sudah ditentukan, terjadilah duel Rajamala dengan Jagal Abilawa. Berulang kali Rajamala mati tetapi hidup kembali setelah diceburkan dalam sendang. Hal itulah yang menyebabkan Bratasena kehabisan stamina sehingga terancam jiwanya.
Melihat situasi kritis tersebut, Wrahanala, pelatih tari istana Wiratha yang sesungguhnya Arjuna, melepaskan panah ke sendang tersebut. Ketika Rajamala mati, Kencakarupa dan Rupakenca memandikannya lagi ke sendang. Namun, Rajamala tidak kembali hidup seperti semula melainkan hancur lebur.
Seketika itu Kencakarupa dan Rupakenca mengamuk. Keduanya mengeroyok Jagalabilawa. Namun, mereka dapat disirnakan. Dengan matinya semua anggota Koalisi Mala itu, Wiratha kembali tenteram dan Matswapati tetap duduk di singgasana raja.
Nilai kemuliaan
Hikmah yang bisa diambil dari kisah ini ialah politik ampyak awur-awur, asal-asalan, dan melegalkan segala cara. Koalisi Mala menggunakan strategi tengik untuk meraih kekuasaan. Mereka tidak peduli bahwa itu semua merusak tatanan Wiratha.
Kekacauan yang melanda negara itu bukan karena keusilan bangsa lain atau infiltrasi musuh, melainkan justru oleh para elite negara itu sendiri yang kesetanan akibat kerasukan nafsu kekuasaan.
Dalam konteks kebangsaan, cara-cara seperti inilah yang dikhawatirkan pada hari-hari ini semakin deras menghujani negeri ini hingga pemilu mendatang. Pemilu harus diguyubkan sebagai budaya memilih pemimpin terbaik, bukan sekadar medan menang-menangan.
Janganlah kita berpolitik asal menang. Bangunlah peradaban politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan dan keluhuran. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved