Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Gergasi di Reksamuka

Ono Sarwono
27/1/2019 05:40
Gergasi di Reksamuka
(Dok.)

MULAI tahun ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberlakukan pemborgolan terhadap para tersangka korupsi. Ini penerapan aturan baru yang ‘lebih maju’ setelah sebelumnya lembaga antirasywah itu mendandani para pelaku lancung dengan rompi oranye.

Tentu, setiap langkah sebagai bagian dari penegakan hukum, dalam hal ini pemberantasan korupsi, sepatutnya didukung. Selain itu, tentu masih banyak langkah dan cara lain yang bisa dipertimbangkan untuk juga diterapkan guna mencapai tujuan mulia itu.

Misalnya, dalam kisah wayang. Ada cerita menarik tentang bagaimana memberantas perilaku ‘korup’ yang efektif. Bukan hanya memberikan ‘baju’ baru dan lamanya hukuman bagi terpidana, melainkan juga menjatuhkan vonis berupa hukuman sosial yang menjerakan.

Hukuman itulah yang dialami dua penghuni Kahyangan, Bathara Indra dan Bathara Bayu, setelah dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran hukum. Keduanya harus ‘salin baju’ menjadi gergasi (raksasa) dan hidup di marcapada di belantara Gunung Reksamuka selama bertahun-tahun.

Tujuh bidadari elite

Pada suatu ketika, Raja Kahyangan Jonggring Saloka Bathara Guru alias Manikmaya mengadakan pertemuan agung. Agenda utama dalam forum resmi yang dihadiri semua warga Kahyangan itu ialah mengevaluasi kinerja dan program ke depan sebagai komunitas elite pengatur jagat.

Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, dalam acara tahunan itu juga disuguhkan berbagai hiburan. Kali ini, puncak hiburannya berupa tarian para bidadari dengan penari utama Bathari Wilutama.
Wilutama ialah salah satu dari tujuh bidadari upacara Kahyangan. Kecantikan setara dengan  Bathari Supraba, Bathari Lenglengmulat, Bathari Gagarmayang, Bathari Tunjungbiru, Bathari Irimirin, dan Bathari Warsiki. Karena berbagai kelebihannya, Manikmaya menetapkan Wilutama sebagai pimpinan ketujuh bidadari elite tersebut.

Kecantikan Wilutama sudah dikenal hingga ke seluruh pelosok Kahyangan. Tidak terbilang para dewa yang jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang kuasa meminangnya. Ini karena ada perilaku Manikmaya yang seperti ‘melindungi’ Wilutama dari sentuhan para dewa.  

Dengan Wilutama sebagai bintang utama dalam tarian, seluruh peserta pertemuan berebut untuk berada paling dekat panggung. Mereka bernafsu dapat melihat dari dekat kecantikan sang bidadari. Mereka pun ingin menghirup luh (keringat) Wilutama yang konon berbau wangi.

Sejumlah dewa teras pun tidak ketinggalan. Bedanya, mereka bermain halus. Misalnya, Bathara Indra dan Bathara Bayu, ikut bergabung dalam tim penabuh gamelan pengiring tari. Dengan demikian, keduanya berada dalam jarak jangkau ideal untuk menikmati kemolekan Wilutama.

Sebelum hiburan utama berlangsung, para niaga ‘memanasinya’ dengan membunyikan atau menabuh gamelan dengan irama yang lembut. Tembang-tembang yang dilantunkan para waranggana menambah suasana keindahan dan rasa jenjem (tenteram) kahyangan.

Tidak lama kemudian, tibalah hiburan tarian utama yang telah lama ditunggu-tunggu. Wilutama muncul membawakan tarian dengan gerakan lemah gemulai merakati (menyenangkan). Penampilannya semakin menggairahkan karena kostum yang dikenakan Wilutama tembus pandang.

Hembusan angin nakal

Banyak penonton yang tampak berulang kali menelan ludahnya masing-masing. Tidak terkecuali Bathara Indra sebagai pengendang dan Bayu yang menabuh gong. Para niyaga lain pun tampak kelimpungan dengan pemandangan indah yang berada di depan mereka.

Namun, Bayu tidak puas dengan pemandangan yang sebatas transparan itu. Ia menginginkan sesuatu yang lebih jelas pada tubuh Wilutama. Ia lalu mengeluarkan ajiannya secara diam-diam. Lalu mengalirlah angin semilir yang kemudian menyingkap wastra (kain) tipis Wilutama. Maka, tampaklah puncak keindahan kerahasiaan bathari berkulit kuning langsat tersebut. Kontan, publik pun geger genjik (gaduh).

Tangan Indra pun tiba-tiba gembregel (gemetar) akibat detak jantungnya bertambah kencang. Jadinya, suara kendangannya kacau. Padahal, kendang merupakan pengatur aransemen gamelan. Seluruh bunyi gamelan lain jadi berantakan. Apalagi, niyaga lainnya juga kehilangan konsentrasi akibat ‘tragedi’ panggung itu.

Wilutama merasa dikacaukan penampilannya. Ia lalu menghentikan gerak tarinya. Bibirnya mengatup rapat dan pipinya tampak memerah. Air matanya pun mulai meleleh. Sejurus kemudian ia menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya sambil berlari kecil meninggalkan panggung.
Seketika itu pula Bathara Manikmaya menggelar pertemuan terbatas bersama para elite Kahyangan. Intinya mencari akar masalah yang mengakibatkan keberantakan pertunjukan. Peristiwa yang baru pertama terjadi itu sungguh mengotori martabat Kahyangan.    

Hasil pertemuan menugaskan tim yang dipimpin Bathara Narada untuk menemukan siapa yang paling bertanggung jawab. Dengan cepat tim menemukan pihak yang bersalah, yakni Bathara Bayu dan Bathara Indra.    

Bayu mengaku mengeluarkan angin nakal, sedangkan Indra menjadi biang keladi ketidakkeruannya irama gamelan sehingga pertunjukan kacau.

Dalam sidang, Manikmaya menyatakan Bayu dan Indra terbukti melanggar hukum. Oleh karenanya, keduanya kemudian dijatuhi vonis. Keduanya tidak pantas berstatus dewa. Seketika itu Bayu dan Indra berubah wujud menjadi gergasi bernama Ditya Rukmuka dan Ditya Rukmakala. Keduanya pun diharuskan mengejawantah ke marcapada dan bertempat tinggal di belantara Gunung Reksamuka.

Hukuman sosial

Bertahun-tahun Rukmuka dan Rukmakala hidup di belantara. Hukuman keduanya berakhir setelah mereka bertemu dengan kesatria bernama Bratasena. Panenggak (anak nomor dua) Pandawa itu berada di Reksamuka untuk mencari banyu perwitasari mahening suci.

Rukmuka dan Rukmakala terlibat perkelahian dengan Bratasena yang pada akhirnya membuat keduanya badhar, kembali ke wujud aslinya, yakni Bayu dan Indra. Kisah ini terjadi dalam lakon Bima Suci.

Hikmah dari kisah itu ialah ketegasan penegak hukum, dalam hal ini Manikmaya, yang menjatuhkan vonis setimpal kepada terpidana yang terbukti bersalah. Bukan hanya memberikan ‘baju baru’, yakni berubah menjadi raksasa tetapi juga harus turun dan hidup di marcapada.

Bila dikontekskan dengan pemberantasan korupsi di negeri ini, selain pemborgolan juga diperlukan vonis yang lebih ‘gila’. Salah satunya ialah vonis ‘turun derajat’ itu. Implementasinya bisa berupa hukuman sosial. Misalnya, vonis menjadi pekerja kasar. Terpidana pun mesti mengenakan seragam khusus. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya