Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
DIGITAL dan milenial, dua kata tersebut mungkin ialah sebuah definisi dari dunia yang sedang kita pijak saat ini. Digitalisasi telah melumat habis peradaban dunia, mulai gawai, televisi, cara berpindah menggunakan alat transportasi, dan berbagai macam barang lainnya sudah terdigitalisasi.
Berangkat dari hal tersebut, A Setyo Wibowo, seorang filsuf, penulis, dan dosen filsafat, mencoba untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi di era digitalisasi saat ini pada sebuah ruang diskusi yang diadakan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Senin (21/11).
Sofisme, itulah awal kata yang keluar dari mulut pria yang biasa disapa Romo Setyo ini. Sofisme merupakan asal kata dari bahasa Yunani, yakni sophisma yang memiliki artian temuan yang cerdik. Dari asal-usulnya, Sofisme erat kaitannya dengan sejenis pengetahuan teknis atau kecerdikan menyiasati hal teknis, digambarkan layaknya tukang bangunan saat berhadapan dengan kesulitan praktis.
“Sofisme selalu dikaitkan dengan retorika yang memberi nilai tinggi pada efektivitas bahasa. Artinya, berbahasa itu bukan hanya omong ngalor-ngidul, atau bicara rumit tapi bikin puyeng. Berbicara mesti efektif, hasil bicara bisa membujuk, memersuasi, dan menggerakkan pendengarnya. Kepercayaan sofisme pada efektivitas bahasa bahkan bisa ‘mengadakan’ apa yang dalam pemahaman tiap orang ‘tidak ada’,” ungkap Romo Setyo hari itu.
Kebenaran merupakan kata kunci untuk memahami apa arti sofisme dalam diskusi ini. Secara jelas, Romo Setyo memaparkan mengenai sejarah bagaimana kebenaran bisa dilihat jauh sekali tepatnya pada 515 sebelum masehi melalui Parmenides. Parmenides merupakan sosok penggagas sebuah pemikiran mengenai ‘pikiran dan ada sejatinya satu sama lain’.
Sofisme secara garis besar dapat disimpulkan sebagai sebuah pemikiran mengakali dalam arti lain menipu. Terjadi pergeseran antara kata sophia atau sophos yang seharusnya kebijaksanaan atau orang bijak menjadi sophisma yang berarti menipu. Hal inilah yang menyebabkan Romo menyatakan bahwasanya saat ini ada sebuah sistem yang memiliki kuasa untuk mendikte kebenaran dan membuat kita semua seolah-olah tidak peduli pada kebenaran.
Kehilangan nalar
Google dan Facebook, kedua sumber ini merupakan hal yang membuat manusia kehilangan nalar sehat dalam menjalani kehidupan saat ini. Berpegang pada studi yang dilakukan Siva Vaidhyanathan di Amerika, Romo Setyo menjelaskan bahwa semakin banyak orang di sana percaya pada hasil pencarian mereka di Google sebagai sumber kebenaran.
“Mereka tidak lagi peduli pada kanal-kanal resmi kebenaran, seperti koran cetak dengan investigasi yang sudah teruji, survei para ahli, pernyataan resmi pemerintah, atau lembaga ilmiah. Bila info datangnya dari Google, apalagi info Google yang paling atas rangkingnya, info itu dianggap lebih benar daripada semua pendapat lainnya. Facebook juga seperti itu, orang lebih memberi perhatian pada news feed di akun mereka, bukan dari isi dari yang di-share, melainkan siapa yang nge-share news tersebut,” lanjut Romo Setyo.
Dua korporasi paling besar dan paling kaya di dunia saat ini tengah ditengarai sebagai sumber kepercayaan publik sebagai sumber kebenaran. Dia kemudian menjelaskan bahwa kedua korporasi ini yang mendiktekan apa yang mesti dibaca semua orang entah mengenai politik, pendidikan, kesehatan, dan semua isu di dunia saat ini. Sementara itu, banyak institusi tradisional seakan sedang mengalami kegoyahan dan krisis kepercayaan diri karena tidak diperhatikan lagi suaranya tentang kebenaran.
Situasi ini pun memunculkan sebuah teknopolis atau diartikan sebagai negara yang sepenuhnya didikte para penguasa teknologi. Romo menggambarkan Google layaknya VOC yang menguasai wilayah seluas Nusantara.
Hebatnya, Google menguasi tanpa melakukan kekerasan apa pun, justru malah disukai dan semua orang merasa terbantu dengan hadirnya teknologi. Saat ini Romo Mangun menganggap bahwa tengah terjadi era distruption, sesuatu yang ‘lama atau usang’ dibuang karena tidak sesuai lagi dengan teknologi.
Bahkan, hal ini berdampak pada proses pembelajaran, yaitu proses seseorang masuk dalam masalah, tinggal di dalamnya, dan berdeliberasi, melainkan sekedar searching, copying, dan pasting. Selain itu, dampak yang dihasilkan Facebook pun tak kalah hebatnya dengan Google. Pada dasarnya, Mark Zuckerberg sang empunya Facebook merasa optimistis bahwa ciptaannya telah memajukan umat manusia, khususnya demokrasi. Namun, optimiisme ini tidak berada dalam fakta.
Pengikisan budaya
Romo Setyo menggambarkan di Indonesia kita bisa menyaksikan naiknya aspirasi otoritarianisme dan pengikisan budaya demokrasi secara mengkhawatirkan, terutama sejak aksi 212. Facebook secara langsung berperan dalam maraknya penyebaran wacana ide-ide primordial (suku, agama, ras, dan antara golongan).
Suara bising dan polarisasi di Facebook serta media sosial lain membuat proses musyawarah atau disebut deliberasi tak dianggap serius lagi. Otoritas ulama-ulama tradisional dan lembaga-lembaga demokratis lainnya digerus oleh rakyat warganet yang haus dengan sensasi dan yang berbau viral.
“Facebook tidak menciptakan perpecahan. Facebook tidak menciptakan rasialisme atau primordialisme agama. Tidak. Semua itu sudah ada sejak dahulu kala. Bila pada era-era demokratis dahulu kala, ada koran, ada pakar, ada lembaga-lembaga penelitian yang teruji dan tepercaya, ada ulama yang memiliki otoritas, pada saat ini semua itu masih ada, namun dengan stabil tergerus tanpa daya. Ada sesuatu dalam cara kerjanya Facebook dan Google yang entah bagaimana, bukannya membuat hal-hal baik menguat, melainkan sebaliknya, segala hal buruk tergaungkan dengan nyaring dan sangat cepat menyebar ke kepala masing-masing orang saat ini,” ungkap Romo Setyo.
Di balik semua penjelasan yang Romo ungkapkan, tentunya ia tak menutup diri akan adanya sisi baik dari media sosial di dunia digital saat ini. Media sosial membantu untuk mendekatkan diri pada keluarga, teman, saudara, dan orang-orang lainnya yang tadinya sangat jauh untuk dijangkau. Internet pun membantu dengan mudahnya untuk mendapatkan segala informasi.
Hal-hal seperti menjual dan mencari barang, mencari alamat, dan banyak lainnya merupakan sebuah sisi baik dalam penggunaan media sosial dan internet.
Namun, Romo tak pula mengabaikan sebuah dampak negatif yang terkungkung sangat dalam dan tak tereksploitasi karena semua orang tengah menikmati kenyamanan internet dan media sosial saat ini. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved