Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
BAGI sebagian orang berbisnis bukan hanya mencari keuntungan besar, melainkan juga membuat perubahan sosial untuk memajukan bangsa. Mereka kerab disapa sociopreneur.
Sejak 2013 semangat membangun usaha dengan misi sosial meningkat. Peningkatan itu diungkapkan Stephanie Arifi n, Direktur Platform Usaha Sosial (Plus), yang dilakukan melalui penelitian bersama British Council dan United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacifi c.
“Menciptakan dunia kerya yang lebih inklusif memang jadi tujuan hampir setengah dari usaha sosial para responden, walau kebanyakan memang usaha sosial di Indonesia masih berbentuk skala kecil,” kata Stephanie dalam mini talkshow young change maker sociopreneur (YCSE) kerja sama Plus dan Campaign--organisasi untuk perubahan sosial--di @america, Pasifi Place, Jumat (11/1).
Social entrepreneurship atau usaha sosial di Indonesia, kata Stephanie, turut membantu pemerintah mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Istimewanya lagi, banyak dari sociopreneur mempekerjakan karwyawan berbeda ras dan etnik, gender, disabilitas sehingga menciptakan dunia kerja yang lebih inklusif dan beragam.
Sayangnya, usaha-usaha ini masih menghadapi berbagai masalah, seperti pendanaan dan managemen.
Akan tetapi, selalu ada jalan bagi pelaku sosial. Tak jarang mereka mendapatkan pendanaan dari investor yang memiliki kepedulian serupa. Guna mengatasi masalah manajemen itu, YCSE ini diselenggarakan.
“Kami percaya ada kekuatan besar dalam anak muda untuk menggerakkan Indonesia.
Program ini bertujuan memberdayakan pelaku usaha sosial melalui pelatihan dan mentoring selama 3 bulan yang diberikan eksklusif kepada peserta,” kata CEO Campaign, William Gondokusumo, yang dilanjutkan pula dengan peluncuran program ini.
Program ini mengadopsi kurikulum dari Amerika Serikat (AS) sebagai bentuk dukungan AS pada pertumbuhan usaha sosial sekaligus menyebarkan lebih luas mengenai tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs). Nantinya selama 3 bulan akademi tersebut akan ada serangkaian kegiatan, seperti peluncuran dan talkshow, serta coaching classes yang tentunya berguna.
Anak muda
Indonesia memiliki wilayah yang luas dan belakangan kerap dilanda bencana, butuh anak muda yang bergerak di bidang sosial. Untungnya kepedulian masyarakat meningkat, terbukti menjamurnya komunitas relawan dan artis yang menjadi relawan.
Memang sedikit berbeda. Sociopreneur bisa mengambil bagian dalam bencana. Bukan mencari keuntungan, melainkan membantu orang lain.
“Penting bagi sebuah usaha sosial untuk menghitung dampak sosial yang dihasilkan dari usaha yang dijalankan,” ujar Stephanie.
Pendapat Stephanie diamini Helga Angelina Tjahjadi, Co-founder and Managing Director of Burgreens, sebuah kafe yang menyedikan makanan sehat. Menurutnya, anak muda bisa mulai dengan menjadi peduli terhadap lingkungan.
“Misalnya, kalau aku kemarin mulai bisnis karena aku sendiri ada permasalahan kesehatan dan harus selalu makan makanan sehat.
Tetapi di luar dari itu akan tetap ada banyak permasalahan lagi,” kata Helga.
Perkaya ilmu bisnis sosialmu Permasalahan di sekitar kita selalu ada, tapi membuat bisnis memanfaatkan itu pun tak gampang. Semua tantangan dan cara menghadapinya dibahas secara detail dalam akademi yang berlangsung tiga bulan itu. Namun, kamu harus menjadi anggota YSEALI (Young Southeast Asian Leaders Initiative), yakni program pendidikan short term yang diadakan pemerintah Amerika untuk pemuda negara-negara ASEAN usia 18-25 tahun. Setelah menjadi anggota, para peserta mendaftar sebagai tim yang terdiri atas dua orang dan satu pelatih.
Pendaftaran dibuka dari 2 Januari hingga 10 Februari 2019 dengan mengharuskan calon pesertanya mengirimkan ide proyek sosialnya. Semua ide tersebut akan diseleksi para pakar di bidang socio entrepreneur.
Nantinya 10 tim terbaik mendapatkan pelatihan intensif di Bandung dan Jakarta. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved