Headline
Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.
Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.
BANYAK orang pasti pernah merasakan cinta pertama. Namun, tidak semua orang punya kenangan mendalam tentang cinta pertama. Barangkali lebih sering sekadar lewat, anggap cinta monyet.
Buku ini bukan tentang cinta monyet, melainkan cinta unta berpunuk tiga. Setidaknya sesuai judulnya.
Unta berpunuk tiga, boleh jadi itu ialah sebuah ungkapan untuk sebuah guyonan yang lebih berguna mencairkan suasana. Begitulah kisah dari seseorang yang dipanggil dengan merek kaos kaki.
Sekali lagi, ini bukan tentang biologi, taksonomi, maupun cerita tentang binatang unik. Unta dikenal sebagai hewan dengan punuk satu atau dua. Hampir tidak ada unta yang mempunyai tiga punuk. Guyonan ala pendekatan anak SMA. Memang begitulah isi buku itu hendak sampaikan. Sebuah kisah yang dimulai remaja SMA, hingga hampir setengah abad setelahnya.
Unta Berpunuk Tiga, demikian judul buku itu, yang nantinya membimbing untuk penjelajahan halaman demi halaman.
Bermula dari sampul, kesan liar sudah tampak. Terdapat simbol-simbol yang menggelitik seperti gambar hati di sebelah kanan atas, seekor unta dengan tiga punuk, dua figur yang duduk di punuk masing-masing yang berada di ujung, serta mereka dipisahkan oleh punuk.
Figur pria memakai teropong untuk manjangkau pandang pada figur perempuan. Padahal, mereka berada di punggung unta yang sama. Mengapa pula butuh teropong?
Judul unik itu sengaja dipilih penulis Siswantini Suryandari untuk menjadi benang merah dari sebuah kisah panjang yang hanya disajikan singkat dalam 88 halaman. Padahal, buku itu membutuhkan 31 tahun untuk menyelesaikannya.
Sedemikian lama waktu yang diperlukan untuk menulis novel yang relatif tipis, terdiri atas lima bab. Bukan soal daya kreatif, melainkan soal bingkai nyata dari sebuah kisah cinta pertama. Penulis membutuhkan waktu selama 31 tahun untuk mengetahui ending dari kisah cinta pertamanya. Meski kisahnya pun tidak bisa dikatakan indah layaknya sinetron.
Rentetan waktu bermula dari 1986, dengan judul Bunga-Bunga Bersemi. Bab pertama itu mengisahkan awal pertemuan tokoh Ari dan Didot.
Berawal dari keisengan Didot menjahili Ari, kedua remaja dengan karakter yang bertolak belakang itu kemudian berteman. Didot pendiam dan lebih banyak memendam semua yang ia pikirkan. Sebaliknya, Ari, orangnya jauh terbuka dan periang.
Bab pertama dengan jelas akan membawa pada bangun peristiwa yang remaja banget pada masanya. Gadis malu-malu untuk mengakui sedang jatuh cinta, sedangkan dalam hatinya berharap perasaannya berbalas.
Bab kedua berlatar pada 1987 dengan judul Mulai Perjuangan, ketika keduanya lulus dari SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Pada bagian inilah unta berpunuk tiga muncul. Ketika mereka berdua sedang makan bakso.
"Tahu kan unta punya punuk. Ada yang satu. Ada juga yang punya dua punuk. Kalau unta berpunuk tiga, apa namanya?" (halaman 35).
Pertanyaan canda itu muncul untuk sekadar obrolan ringan. Mungkin kala itu, mereka belum sadar pertanyaan itu pula yang memecahkan tawa saat bertemu kembali 30 tahun kemudian.
Pada bab ketiga, Ulang Tahun yang Sepi, menceritakan tentang mula kerenggangan antarmereka pada 1988. Berlanjut dengan bab keempat yang berlatar waktu 1989, Melukai Relung Hati. Dua bab itu menjadi klimaks dari hubungan mereka.
Pembawaan Didot yang pendiam dan tertutup menjadi penghalang pada perjalanan pertemanan dengan Ari. Keduanya memang terkesan saling menyukai, tetapi tidak ada daya untuk mengungkapkannya. Kendati telah bertahun-tahun berteman, hati Didot tetap menjadi misteri bagi Ari. Bahkan, seusai menonton film Music Box, Didot menghilang tak tahu ke mana.
Pada bagian itu, penulis dengan cerdik menuangkan narasi peristiwa secara detail. Pembaca akan menemukan reluk dari kejiwaan seorang gadis muda.
Ari ingin sekadar beriringan atau bergandengan tangan dengan Didot saat menonton bioskop. Berlawanan dengan harapannya, mereka malah jalan sendiri-sendiri. Saat ia merajuk, malah disangka masalah permen.
Bab kelima mengambil loncatan waktu yang jauh, 28 Tahun Penantian. Latar bab terakhir ini menceritakan saat Ari tengah menunaikan liputan haji di Tanah Suci. Ketika itu, ia tiba-tiba mendapat pesan dari Didot lewat media sosial. Didot muncul kembali setelah nyaris tiga dasawarsa berlalu.
Keduanya kemudian melanjutkan komunikasi dengan kondisi sudah berbeda. Didot kini menjadi seorang guru sejarah dan idola para murid. Sementara itu, Ari berkarier sebagai wartawan. Ia juga orangtua tunggal dan masih menjalani pengobatan untuk penyakit kanker.
"Aku single parent dan saat ini sedang menjalani pengobatan kanker" (halaman 76-77).
Pada bagian itu pula, Didot baru mengucapkan rasa cintanya setelah semuanya sudah berubah tak bisa dikembalikan lagi seperti 28 tahun lalu.
Hanya lima bab, buku ini mampu merangkum kisah 31 tahun kasih tak sampai. Meski pada akhirnya tersampaikan, tetapi semua terlambat. Penyesalan pasti ada. Namun, begitulah hidup diuji untuk menerima jalan hidup yang terkadang tidak memihak.
Gaya tutur buku ini juga cukup unik. Ditulis dengan jalan cerita yang bisa membuat tertawa kecil membayangkan peristiwa yang tergambar. Meski demikian, jalan cerita dan pesan yang boleh jadi membuat orang akan berpikir ulang seusai membaca lengkapnya. Tidak ada kesan lucu, konyol seperti ketika mengarungi bab demi bab. Sebaliknya, termenung dan kagum atas cerita tentang kegigihan anak manusia untuk tetap berjuang dan bersetia dengan jalan hidup.
Buku ini memang diperuntukan secara spesial melalui penerbit Gue Bayar Sendiri.
"Ri, oh ya, unta yang hamil dahulu sudah lahiran ya?" tanya Didot tiba-tiba (halaman 86). Guyonan konyol saat pertemuan kembali keduanya itu ternyata mujarab untuk mengembalikan tawa. Meski sekadar tawa. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved