Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
PRESIDEN Joko Widodo menyatakan pesan moral pidatonya yang menggunakan metafora Game of Thrones dalam sidang paripurna Pertemuan Tahunan International Monetary Fund (IMF)-World Bank Group (WBG) di Bali, Jumat (12/10) adalah bahwa perselisihan dan konfrontasi menyebabkan penderitaan. "Bukan hanya yang kalah, namun juga yang menang," ujar Jokowi saat menyampaikan orasi ilmiah pada Lustrum XIII dan Dies natalis ke-65 Universitas Kristen Indonesia di Jakarta, Senin, (15/10).
Pesan moral inilah yang Presiden tekankan pula kepada bangsa ini, khususnya dalam berpolitik. Menurut kepala negara, meski setiap kontestasi politik selalu berbalut rivalitas, hal itu jangan sampai mengorbankan fondasi kebangsaan. Jangan ada kebencian dan permusuhan, karena itu akan menghancurkan persatuan.
Kerukunan retak
Dalam dunia wayang, permusuhan antaranak bangsa yang menyebabkan kehancuran dan penderitaan kedua belah pihak yang berseteru terjadi di Negara Astina. Yakni, antara keluarga Kurawa dan Pandawa. Mereka sama-sama keturunan Raja Astina Prabu Kresnadwipayana, alias Abiyasa.
Kresnadwipayana, sebelum lengser keprabon madeg pandhita ratu, pernah berwasiat kepada semua keturunannya agar senantiasa menjaga keguyub-rukunan sampai akhir zaman. Jangan ada perselisihan, apalagi bermusuhan antarsaudara. Ini prinsip yang mesti dipegang teguh.
Ketika berkuasa, Kresnadwipayana menikah dengan Ambika, Ambalika, dan Datri. Dari ketiga istrinya, ia menurunkan tiga anak laki-laki, yakni Drestarastra, Pandu, dan Yama Widura. Mereka berlimpah kebahagiaan.
Menurut paugeran negara, ketika Kresnadwipayana lengser, yang menggantikannya duduk di singgasana seharusnya Drestarastra. Tapi, putra sulungnya itu menolak karena merasa tidak mampu akibat menderita buta. Takhta kemudian diserahkan kepada Pandu.
Di bawah kepemimpinan Pandu--yang bergelar Prabu Pandudewanata, Astina kian berkembang dan maju. Masyarakat hidup adil makmur. Banyak pemimpin negara lain yang menjalin persahabatan. Bahkan, tidak sedikit raja kagum kepada Pandu yang kaya ilmu sehingga menjadi 'murid'-nya.
Pandu memiliki lima anak dari dua istrinya (Kunti dan Madrim). Kelima anaknya yang dikenal dengan sebutan keluarga Pandawa itu adalah Puntadewa (Yudhistira), Bratasena (Werkudara), Permadi (Arjuna), Tangsen (Nakula) dan Pinten (Sadewa).
Drestarastra, yang beristrikan Gendari, menurunkan seratus anak yang dikenal sebagai keluarga Kurawa. Yang sulung bernama Duryudana alias Joko Pitono. Sedangkan si bungsu Yama Widura, yang menikahi Padmarini, memiliki dua putra, yaitu Sanjaya dan Yuyutsuh.
Ketiga putra Kresnadwipayana beserta anak-anak mereka hidup rukun. Pinisepuh Astina, Maharsi Bhisma, pun gembira akan masa depan kader-kader Astina. Ia pun ikut mempersiapkan mereka menjadi kesatria utama yang akan membawa Astina lebih jaya di masa depan. Bhisma-lah yang menunjuk Kumbayana (Durna) sebagai guru para 'cucu-cucunya' itu.
Namun, rajut kerukunan trah Kresnadwipayana mulai retak sejak Pandu meninggalkan dunia fana. Ketika itu, kelima putranya (Pandawa) masih kecil-kecil sehingga untuk sementara takhta Astina dipegang Drestarastra. Kekuasaan akan dikembalikan kepada keturunan Pandu (Pandawa) bila mereka sudah beranjak dewasa.
Nafsu berkuasa
Arya Suman alias Sengkuni adalah biang kerok hancurnya kerukunan Kurawa-Pandawa. Sengkuni adalah paman Kurawa yang berkewarganegaraan Plasajenar. Ia adik kandung Gendari, istri Drestarastra.
Bibit perselisihan cucu Kresnadwiyana bersumber dari keinginan Gendari agar anaknya menjadi raja Astina. Alasannya, seharusnya yang berhak berkuasa di Astina ialah Kurawa ketika bapaknya menolak jadi raja.
Sengkuni yang didesak sang kakak untuk merealisasikan keinginannya itu lalu mengatur strategi. Setiap hari ia menjangkarkan 'ideologi' kepada para keponakannya bahwa Kurawa tidak akan bisa hidup cukup pangan, sandang, dan papan bila tidak berkuasa di Astina. Maka, satu-satunya cara untuk mencapai tujuan itu ialah dengan meniadakan Pandawa.
Dari sinilah terjadi serangkaian upaya Kurawa yang dimentori Sengkuni dengan target menghabisi Pandawa. Mulai dari drama kekerasan di padepokan Sokalima (Pendadaran Siswa Sokalima), pembakaran hidup-hidup (Bale Sigalagala), hingga menjalani hukuman pembuangan di Hutan Kamyaka (Main Dadu).
Sesungguhnya, Pandawa memilih mengalah. Atas nasihat sang ibu, Kunti Talibrata, mereka tidak pernah memiliki hasrat berkuasa di tanah leluhurnya. Bahkan, itu mereka buktikan dengan membangun rumah sendiri, Negara Amarta. Mereka tidak mempermasalahkan Duryudana (Kurawa) menggengam kekuasaan Astina.
Namun, sungguh tidak bisa dihindari bahwa Pandawa mesti berkonfrontasi dengan Kurawa. Ini kodrat yang mesti mereka lakoni. Mereka berperang habis-habisan di Kurusetra yang populer dengan nama Bharatayuda.
Para pepunden Pandawa-Kurawa menjadi korban. Di antaranya Bhisma, yang menjemput ajal dalam peperangan ini. Gugurnya pewaris sejati takhta Astina ini sempat menghentikan peperangan. Saat itu Pandawa berketetapan untuk tidak ingin melanjutkan perang yang kejam.
Kemudian menyusul Durna yang tewas mengenaskan. Pun saudara kandung Pandawa lain ayah, Karna Basusena, juga mati. Kurawa juga sirna berikut ribuan bala tentara yang mendukungnya.
Di pihak Pandawa, tidak kalah pedihnya. Para pepundennya pun menjadi korban. Di antaranya Resi Seta, Utara, Wratsangka dari Negara Wiratha. Pun Raja Pancala Prabu Drupada--mertua Puntadewa--juga gugur di pelagan. Adik ipar Puntadewa, Dresnajumna, mati konyol.
Bukan itu saja. Seluruh putra Pandawa menjadi tumbal. Yang paling mengenaskan adalah kematian Abimanyu, putra tersayang Pandawa. Ia diranjab, menjadi bulan-bulanan Kurawa beserta balanya.
Menjaga persatuan
Singkat cerita, Bharatayuda menyisakan puing kehancuran kedua kubu yang berseteru, yang adalah sesama anak bangsa. Kurawa musnah, sedangkan Pandawa compang-camping. Mereka merasa bersalah kenapa perang harus terjadi sehingga hasilnya hanya penderitaan tiada tara.
Pasca-Bharatayuda, Pandawa merasa tidak bergairah untuk hidup. Nafsu duniawi, kekuasaan atas Astina, yang menjadi sumber perselisihan pun menjadi tidak ada artinya. Itu tidak sebanding dengan korban yang diderita akibat konfrontasi. Inilah yang diratapi Pandawa.
Terkait dengan pesan Presiden, poin cerita perang Bharatayuda ini merupakan gambaran kejamnya permusuhan. Pada akhirnya, yang menang dan yang kalah sama-sama hancur. Kalah jadi debu, menang jadi arang.
Hikmahnya, bangsa ini senantiasa harus menjaga kerukunan dan persaudaraan. Kontestasi politik mesti dipestakan dengan kegembiraan, dalam semangat kesatuan dan persatuan bangsa. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved