Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
MELARUNG hasil bumi ke laut menjadi salah satu rangkaian dalam upacara sedekah laut, suatu simbol masyarakat pesisir, termasuk di pesisir Jawa untuk mensyukuri rezeki.
Selain ungkapan syukur, sedekah laut juga menjadi salah satu ritus masyarakat di Jawa menjaga harmoni dengan alam. Namun, nilai luhur budaya itu tercederai ketika sekelompok orang meneror masyarakat di Pantai Baru, Ngentak, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Bantul, Yogyakarta, beberapa waktu lalu yang tengah mempersiapkan upacara sedekah laut.
Padahal, rangkaian kegiatan kebudayaan yang lekat dengan masyarakat pesisir Indonesia ini menjadi suatu cara masyarakat di Jawa menjaga harmonisasinya dengan alam.
Budayawan Yogyakarta Charis Zubair membenarkan hal itu. Dia menegaskan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai harmoni dalam kehidupan.
"Masyarakat Jawa, intinya menghormati harmoni, baik dengan dirinya sendiri, dengan alam, dan bahkan makhluk lain. Mereka juga menjaga harmoni dengan Tuhannya. Di dalam kebudayaan apa pun, upacara selalu ada. Di Jawa ada selametan, ruwatan, labuhan, larungan, dan termasuk sedekah laut. Jadi, menjaga harmoni sangat diunggulkan dalam tata nilai, pandangan hidup, norma, sikap perilaku, bahkan karya budaya, termasuk upacara itu."
Dalam rangkaian kegiatannya pun, sedekah laut juga menyertainya dengan doa-doa yang ditujukan kepada kekuatan tertinggi yang dipercayai, Tuhan Yang Maha Esa. Menghadapkan tradisi kebudayaan dengan agama secara konfliktual tentu akan menemukan jalan salah, bila kita tidak menggali substansi yang terkandung di dalamnya.
Harmoni dalam berbagai ritus budaya Jawa memang menjadi tumpuan. Bukan hanya berlaku di sedekah laut, nilai ini juga terkandung dalam ritus lainnya, seperti ketika masyarakat menghendaki untuk mencegah kekacauan dan ketidakrukunan, maka ruwatan menjadi jalan budaya untuk tetap menjaga keseimbangan laku hidup.
Ia juga mengungkapkan, alam sebenarnya memiliki kedudukan sama dengan manusia. "Masyarakat Jawa menganggap manusia dan alam itu sejajar, tidak ada hierarki, tidak ada tata jenjang. Kalau bicara terminologi ilmiah, di dunia Barat itu antroposentris, sementara di Nusantara, kita kosmosentris, bagaimana keserasian kita terhadap alam, dan substansi alam yang harus dijaga."
Simbol ekspresi
Dalam kasus yang belum lama terjadi di Pantai Baru, Bantul ini tentu menjadi cermin kedewasaan kita dalam memaknai keragaman perbedaan ada yang terganggu.
Menghormati perbedaan yang tumbuh di masyarakat menjadi keharusan. Perbedaan persepsi, sudut pandang, keyakinan, perlu ada moral sosial yang ditegakkan, moral sosialnya ialah menghormati apa pun setiap pilihan masyarakat di dalam kehidupan.
Menurut Charis, ada persamaan dalam budaya dan agama. Sama-sama memiliki simbol untuk diekspresikan. Seperti halnya dalam sedekah laut yang memiliki simbol melarung hasil bumi sebagai simbol ekspresi.
"Itu kan sesuatu yang menjadi bagian dari upaya untuk mengorbankan apa yang dimiliki, ada kesamaan antara budaya dan agama, dalam ritus pasti ada suatu yang simbolis untuk diekspresikan. Lebih luas lagi, dalam sedekah laut, hasil bumi tidak hanya dilarung, tidak hanya dilabuh, namun juga dimakan bersama-sama oleh masyarakat. Dilarung itu sesuatu yang memiliki makna simbolis, representasi saja," jelas dia.
Hal itu masih menurut dia, bisa ditafsirkan sebagai cara untuk memberikan yang terbaik untuk laut, yang sudah memberikan ikan-ikan yang sudah menghidupi manusia."
Kearifan lokal
Pengorbanan, ujung-ujungnya juga merupakan rangkaian dari upaya menjaga harmoni. Kearifan lokal budaya ketimuran, seperti upacara, tradisi, dan ritus sebenarnya menjadi cara manusia menjaga alamnya. "Mengatakan pohon yang besar ada penunggunya, itu hal kecil bagian dari kearifan lokal yang harus digali substansinya, itu dilakukan supaya pohon tidak ditebang agar kehidupan selaras, serasi, dan seimbang sehingga bisa dijaga," kata Charis menganalogikan.
Terakhir, Charis menjelaskan kebudayaan itu prinsipnya cara manusia menjawab persoalan aktual, faktual, maka tumbuh kebudayaan. Persoalan faktual tiap-tiap orang dan wilayah itu berbeda sehingga kebudayaan menjadi majemuk. Tiap-tiap perbedaan itu menentukan cara menjawabnya yang berbeda, dan muncul kebudayaan. Agama dimaksudkan agar orang mencapai tataran spiritual di dalam kehidupannya, kebudayaan masyarakat akan sampai pada tataran nilai spiritual. "Ritus, upacara, menjadi cara mensyukuri kenikmatan hidup agar hidupnya tenteram, tidak kacau sehingga kalau melarang, menghancurkan, dan bahkan merusak kebudayaan yang ada, itu pemikiran sempit, agama tidak lagi jadi sesuatu yang membangun spiritual. Dunia ini akan hancur kalau orang berkukuh dengan kebenarannya." (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved