Headline

Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.

Fokus

Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.

Mantra Datu Barus

Fathurrozak
16/9/2018 05:00
Mantra Datu Barus
(MI/Ebet)

KOTA Barus, sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, telah dikenal sebagai titik peradaban tua di Nusantara, ditandai dengan hadirnya dermaga dan transaksi bisnis internasional di sana. Wilayah pesisir ini pernah jadi emporium dagang di Nusantara sekaligus gerbang masuknya Islam dari para pedagang.

Tak hanya Islam, Barus juga menjadi tempat persinggungan pedagang antarbangsa. Mereka datang dari berbagai tempat terutama untuk mendapatkan kapur barus yang berguna untuk mengawetkan mayat.

Dari ‘tanah wangi’ itu pula, lahir para datu penyembuh penyakit, seperti dokter yang kita kenal saat ini. Mereka tidak menggunakan jarum suntik, infus, atau pil. Merapal mantra, meracik tanaman, akar tumbuhan, dan batang kayu ialah cara para datu (dukun) untuk mengobati berbagai penyakit.

Saat mengobati, datu tidak pernah mengaku dirinya sebagai datu. Ia ha­ruslah diminta oleh orang yang sedang mengidap penyakit.

Begitu pun saat keluarganya ada yang sakit, datu tak pernah meminta dirinya untuk turun tangan mengobati sebab ini dianggap sebagai suatu sifat sombong. Harus ada yang memin­tanya. Terdapat pula pertalian unsur untuk mengobati sebuah penyakit.

Guru Besar Antropologi Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rusmin Tumanggor, mengungkapkan, lewat riset yang dilakukan sejak 1991-1995 di Barus, ditemukan pula konsep tabas dan tonggo selain adanya penggunaan tanaman tradisional dan unsur hewani.

Tabas itu pemujian terhadap kekuatan tertinggi (Tuhan), kemudian ada tonggo yang berarti permintaan. Tabas itu juga disebut mantra. Sementara tonggo, itu jampi. Jadi, sebenarnya secara sosiologis ini bagus karena ada etika saat kita meminta penyembuhan. Pertama, mereka melakukan pujian terlebih dahulu untuk kemudian meminta permohonan,” katanya saat ditemui Media Indonesia di ruang staf ahli Universitas Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten, Senin (10/9).

Dengan adanya tabas dan tonggo, masyarakat Barus mempercayai kehadiran kekuatan tertinggi, di samping melakukan pengobatan alamiah. Menariknya, dalam mantra dan jampi para datu, terdapat pula percampuran unsur dari lintas kepercayaan. Kepercayaan malim, animisme, dinamisme, agama samawi, juga agama bumi, membaur dalam beberapa tabas dan tonggo para datu.

Lewat lintas peradaban itu, penggunaan mantra dan jampi saat datu mengobati pasien didasarkan pada aspek efektivitas. Pasalnya, ada penyakit-penyakit tertentu yang sembuh justru dengan satu mantra dari kepercayaan lain.

Terancam punah
Terdapat 300 spesies tanaman di Barus yang dimanfaatkan oleh 387 datu. Datu bukanlah suatu pekerjaan utama. Para datu biasanya bercocok tanam sebagai petani atau melaut sebagai nelayan.

Setiap datu memiliki keahlian masing-masing, ada yang bisa dengan satu pengobatan, ada yang bisa menangani 10 penyakit, juga ada datu yang khusus menangani ilmu hitam yang dinamai Datu Parangas-Angas.

Kini, sistem pengobatan tradisi Barus yang memanfaatkan tanaman alam itu terancam punah.

Selain punahnya sistem pengobatan tradisional, ancaman yang sama juga menghampiri jejak kejayaan Barus sebagai emporium dagang di Nusantara.

Dalam buku berjudul Gerbang Agama-Agama Nusantara yang diterbitkan Komunitas Bambu pada 2017, Rusmin menyebutkan Barus sebagai sentral penyebaran agama di Nusantara.

Sistem kepercayaan yang melandasi pengobatan tradisional oleh datu-datu ternyata berasal dari ajaran agama-agama tertua di Yahudi, Tiongkok, Arab, India, dan telah termodifikasi menjadi agama lokal Batak.

Barus, yang dikenal dengan nama Fansur, abad ke-1 dan ke-17 Masehi ialah pusat peradaban karena identitasnya sebagai kota emporium ‘Melting Pot’ yang multietnik dan multikultur. Kota bandar itu begitu memesona orang-orang Yunani, Tiongkok, India, bahkan Mesir.

Islam masuk ke Barus sekitar 627-643 Masehi atau 1 Hijriah dan Kristen. Sementara itu, agama Kristen berlabuh di sana sejak 645 Masehi. Karena alasan itu pula, Presiden Joko Widodo meresmikan Barus sebagai kilometer nol peradaban Islam di Nusantara pada 24 Maret 2017.

Sejarawan Universitas Sumatra Utara (USU), Budi Agustono, mengatakan, jejak arkeologis peradaban Islam di Barus saat ini hanya menyisakan makam Syekh Rukunuddin bertarikh 672 M di Makam Mahligai dan Makam Syeikh Mahmud di Papan Tinggi.

Barus mulai runtuh sebagai emporium dagang sejak awal abad ke-13 ketika kota dagang lain muncul. Ini lazim terjadi ketika suatu kota dagang ditinggalkan untuk kota dagang lain yang baru muncul.

“Barus benar-benar hancur ya saat abad 18. Ketika Belanda masuk, terjadi politik dagang, yang mempersempit ruang gerak masyarakat,” kata Budi, Rabu, (12/9).

Sebagai titik nol peradaban Islam di Nusantara, Budi menilai perlu ada upaya lanjutan yang mampu membangkitkan nostalgia sejarah kejayaan Barus. “Perlu adanya upaya merevitalisasi masyarakat, komunitas muslimnya diperkuat. Harus dipikirkan juga Barus sebagai kota dagang tidak runtuh, hilang oleh ingatan kolektif masyarakat. Butuh waktu panjang memang untuk perkuat identitas,” tutup Budi. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya