Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
UNTUK menghasilkan satu pot tanaman, Mendy Laoda memerlukan waktu tiga hari. Bagi yang melihat pot mungil itu, mungkin terlihat sederhana. Namun, bila kita menguliknya, kita akan menghargai proses dari suatu produk yang dihasilkan. Ini pula yang disebut gaya hidup slow living, menghargai proses.
ONNI House, restoran yang baru buka beberapa bulan di Tanjung Duren, Jakarta Barat, mengenalkan konsep itu untuk para anak muda di Jakarta, lewat ONNI market-nya yang berlangsung tiga hari 10 Agustus-12 Agustus silam. Mengingat, kehidupan di Jakarta yang selalu berkejaran dengan waktu, terjebak macet sehingga kondisi ini dianggap kurang menyehatkan jiwa.
Dengan mempertemukan produk artisan (orang yang ahli membuat barang kerajinan tangan) ke para pengunjung, pendiri ONNI House, Denny Rachmat, mengharapkan para pengunjung restorannya bisa belajar konsep gaya hidup slow living.
“Bagian dari slow living itu, kan, proses, enggak mau hasilnya aja dan sekadar instan. Di ONNI market ini diharapkan orang eksplorasi, muter, lihat, baca, enggak harus beli juga, beli, kan, karena tahu, karena sadar bisa dipakai, atau karena terinspirasi cerita dari maker,” ungkap Denny, Kamis (9/08).
Denny mengutip tulisan ‘Hidup Lambat adalah Hidup Sehat’, karya dokter asal New York yang punya julukan The Slow Medicine Doctor, Michael Finkelstein, MD. Ia memaparkan, “Kami menyadari bahwa lebih cepat tidak selalu berarti lebih baik dan dalam jangka panjang, lebih cepat tidak hanya dapat memperlambat kami. Sebagai hasil, kita memikirkan kembali bagaimana kita mendekati tubuh, kehidupan, dan planet kita.”
Finkelstein melanjutkan, langkah sederhana seperti berkebun, yang ia anjurkan sebagai resep untuk pasiennya, mampu merevolusi kesehatan, rasa damai pribadi, dan bahkan sistem keuangan kita.
“Kita kembali ke bumi untuk sumber makanan kita, mengolah tanah dengan tangan kita sendiri, menyaksikan sejalan dengan laju alam yang lambat dan lembut, dan kita menuai hasil panen dari hasil yang paling segar. Dengan demikian, kami mendapat manfaat dari berbagai tingkatan, kami mendapatkan latihan tubuh—pikiran--ruh.”
Hargai proses
Untuk Muda yang ingin menerapkan gaya hidup ini sebagai antitesis dari hidup serba cepat, kita bisa memulai dengan memaknai proses para artisan menghasilkan produknya. Kamu bisa menemui mereka dalam beberapa kegiatan pasar seni (art market) yang diadakan beberapa komunitas seperti ONNI House, Catalyst Art Market, atau Semasa di Kota Tua.
Catalyst Art Market yang berada di bawah organisasi nirlaba Kopi Keliling, rutin mengadakan pasar seni sejak 2014, sebagai ajang pertemuan para pembuat produk dengan pembeli, atau orang yang baru tertarik dengan kreasi.
“Catalyst Arts membuat art market sebagai wadah untuk jual beli karya berbasis ilustrasi, bisa dalam bentuk original art work, art print, dan art merchandise (tote bag, dompet, scarf). Tidak bisa dimungkiri, art merchandise saat ini masih menjadi item yang paling laku karena bentuknya wearable art,” ungkap salah satu pendiri Kopi Keliling, Patricia Wulandari, Jumat, (10/8).
Catalyst Arts
Saat art market, lanjut Patricia, tidak jarang Catalyst Arts juga menghadirkan brand lokal yang tidak berbasis ilustrasi (misalnya, brand yang mengulik kulit atau fashion), untuk menambah referensi di antara para maker itu sendiri. Jadi, bisa saja setelahnya ilustrator tersebut berkolaborasi dengan brand lokal untuk membuat koleksi khusus berbasis ilustrasi.
Art market di Jakarta nampaknya menjadi suatu fenomena yang disenangi anak muda. Salah satunya, Semasa Market milik Semasa di Kota Tua yang berlangsung 4 Agustus-5 Agustus, berhasil menyedot 6.000 lebih pengunjung. Hutomo Jo dari komunitas Semasa di Kota Tua mengaku tidak menyangka akan kedatangan pengunjung sebanyak itu, melihat sebelum-sebelumnya jumlahnya jauh di bawah itu. Ia menduga, karena gedung yang luas dan menarik serta promosi Semasa terhadap kota tua, jadi banyak dari pengunjung penasaran.
“Banyak dari pengunjung telah melihat produknya. Namun, hanya visual. Jika datang ke Semasa Market, bukan hanya bisa melihat produk aslinya, tapi bertemu dengan pembuatnya agar bisa berinteraksi dan mencari lebih tahu ide-idenya,” kata lelaki yang akrab disapa Jo ini, Jumat, (10/8).
Bertemu kreator
Patricia mengakui beberapa kali Catalyst Arts mengadakan lokakarya yang bekerja sama dengan para kreator. Tujuannya, bukan sekadar mengisi aktivitas di akhir pekan, “Tapi untuk memperkenalkan publik tentang yang dikerjakan oleh para maker. Jadi alasannya begini, karya atau produk yang dibuat oleh maker harganya sudah pasti di atas mass product buatan brand besar. Kalau orang tidak paham, mereka pasti akan berpikir, “ngapain gue beli di maker itu. Mendingan di salah satu merek besar. Murah!” Yang bikin produk itu bernilai lebih ialah karena produk tersebut dibuat sendiri oleh para maker-nya, dan terkadang orang tidak tahu kesulitan proses pembuatannya.”
Mengikuti lokakarya, kata Patricia, akan memaknai suatu proses, dan belajar menepi dari ketergesa-gesaan. Untuk kembali rileks dan menghargai tubuh kita. Begitulah cara melatih diri bila ingin menerapkan gaya hidup slow living.
“Kami lebih suka menyebutnya sebagai mindful living. Hidup boleh bergerak cepat dan dinamis, yang penting kita sadar akan setiap langkah yang diambil. Jangan cuma melakukan sesuatu sekenanya saja dan hanya karena ikut-ikutan orang, tanpa tahu apakah kita sebenarnya memang ingin melakukan hal tersebut,” tutup Patricia. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved