Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
CAHAYA lampu temaram kuning berpendar di ruangan dengan meja panjang dan dikelilingi foto-foto lawas di atas lemari. Musik bernuansa obsolet menjadi pengantar hidangan makan malam yang telah melegenda sejak akhir abad 18. Suasana kolonial itu menambah nikmat hidangan bistik lidah ala Toko Oen. Potongan bistiknya tidak terlalu besar beradu pas dengan saus cokelat kental dan jamur kuping.
Teksturnya tidak terlalu lunak, tapi tidak keras. Sangat pas disantap dengan kentang yang digoreng. Di sela menyantap bistik lidah, kita juga disajikan kejutan dari tuan rumah berupa semangkuk sup tomat hangat, serasi dengan potongan wortel. Sup ini lebih berkarakter manis. Masakan peranakan Belanda ini telah menjadi sajian dari restoran yang terletak di Jalan Pemuda, Semarang, sejak mula berdiri.
“Tahun 1936 mulai di sini (Semarang), saat itu masih cabang dan semua bahan masakan dikirim dari pusat Toko Oen Yogyakarta. Mulai tahun 1950-an membuat di sini. Karakter masakan kita sesuaikan dengan kota Semarang yang lebih manis ketimbang saat di Yogyakarta,” cerita generasi ketiga penerus restoran Toko Oen, Megaputri Megaradjasa, Kamis (19/07).
Perempuan yang biasa disapa Jenny ini menjadi tangan ketiga setelah generasi Oma Oen (Liem Gien Nio) saat memulai Toko Oen di Yogyakarta sejak 1910. Ibunya Sinarwati yang merintis cabang Toko Oen di Semarang. Selain makanan utama, yang legendaris dari restoran bergaya arsitektur Indische ini ialah aneka kue kering dan es krimnya. Seperti saat lidah mengecap paduan lima skup rasa es krim oen’s symphony.
Rasa yang paling membekas ialah saat menyendok bagian es krim kopyor, segar, gurih, dan ada potongan kelapa menambah kelezatan menu yang sudah ada sejak awal abad 19 ini. Es krim ini juga dipadukan dengan dua potong lidah kucing (kattetong). Indra perasa juga menjelajah pengalaman rasa autentik saat menikmati kue cocos atau kue kelapa. Berbentuk bulat pipih, permukaannya yang putih nampak seperti ditaburi gula halus.
Rasa gurih kelapa mendominasi kue itu. Rasanya tetap autentik seperti era kolonial. Tidak hanya menu yang dipertahankan, cara pengolahan dan perangkatnya tetap utuh, seperti mesin es krim yang menurut penuturan Jenny masih menggunakan mesin yang sama di era tahun 1930-an. “Mesin es krim di Toko Oen masih pakai sistem yang lama, mesinnya sekarang kalau cari sudah enggak ada.
Sempat ingin ganti menggunakan mesin es krim yang full otomatis, tapi kalau dengan bahan dan metode kita, enggak akan jadi. Jadi, mesinnya masih tradisional, cuma sistem pendinginannya sampai minus 20-25 yang bikin tekstur es krim halus. alau ditelusuri, mesin yang ada di sini sama dengan yang ada di Ragusa (Jakarta) dan Zangrandi (Surabaya),” ungkap Jenny yang kini juga mulai membimbing anak pertamanya mengelola restoran.
Di Toko Oen juga menyimpan banyak kenangan dari lintas generasi. Sempat membuka cabang di Jakarta dan Malang, kini yang tersisa hanya di Kota Loenpia. “Yang di Malang itu sudah bukan punya kita. Dulu ada orang beli gedungnya, tetapi harusnya mereka enggak bisa pakai nama Toko Oen karena patennya ada di keluarga kita. Hanya saja mama enggak mau urus perkara itu,” ujarnya.
Toko Oen yang mulanya hanya toko kue dan diambil dari nama Oen Tjoen Hok ini, sempat menjadi resto yang menyediakan makanan untuk Presiden Sukarno saat di Yogyakarta. Lewat cabangnya di Jakarta pada 1950-an, toko Oen kembali menjadi penyedia makanan di Istana.
Aroma sajian priyayi
Kuliner legendaris di Semarang bukan hanya peranakan Belanda semata. Media Indonesia sempat menyarap nasi pindang sapi yang ada di Jalan Gajah Mada milik Masyudi. Suhu 30 derajat celsius pagi itu menguarkan aroma harum dari angkring yang penuh dengan kuah berwarna cokelat pekat kehitaman berisi daun muda melinjo.
Racikan rempah seperti keluak, jinten, dan bawang lanang (bawang merah berbiji tunggal) beradu dengan kuah santan dan kaldu sapi, serta daun muda melinjo yang direbus bersama, disajikan di atas piring bersama potongan tipis daging sapi yang dialasi daun pisang, menjadikan aroma harum nasi pindang sapi yang sudah digeluti Masyudi sejak akhir 1980-an ini tak terelak.
“Tahun 1987 itu saya yang memulai. Resep sudah turun-temurun dari kakek saya, Ahmad Bawi. Kenapa porsinya kecil? Karena zaman dulu nasi pindang di Kudus memang disajikan untuk para priyayi. Memang kalau sesuai asalnya di Kudus. Nasi pindang menggunakan daging kerbau, tetapi dari kakek dulu sudah menggunakan sapi karena di Semarang,”cerita Masyudi. Dulu, hingga tahun 1990-an, Masyudi masih menggunakan suru, sendok dari daun pisang. Penggunaan daun pisang sebagai alas juga menjadi alasan untuk menambah aroma sedap saat nasi pindang disajikan. Hingga kini, Masyudi masih menggunakan arang untuk memasaknya.
Asam-asam
Beranjak ke titik kuliner legendaris lain di Semarang bersama tim jelajah kuliner Kampung Legenda Mal Ciputra. Daging sapi kembali menjadi pilihan menu pewaris resep keluarga. Kali ini asem-asem koh liem, yang hampir mirip garang asem. Potongan daging sapi ini dimasak bersama asam jawa, blimbing wuluh, tomat, dan cabai. Impresi segar, pedas, dan tentunya asam yang berasal dari asam jawa, blimbing wuluh, juga tomat. Suharti merupakan generasi kedua penjaga gawang resep mertuanya, yang sudah eksis sejak medio akhir 1970-an. “Orang tetap bilang rasanya masih ajek, dari dulu sampai sekarang masih sama,” kata Suharti.
Pedas
Impresi pedas juga bisa dijumpai lidah saat mengecap olahan ikan manyung (jambal roti) yang dimasak mangut. Amis memang menguar saat memasuki ke salah satu rumah makannya di Banyumanik, Semarang. Namun, seketika lenyap saat mulut lahap menelisik daging di sela tulang kepala.
Cara paling nikmat untuk menyantapnya memang dengan menetel daging kepala lalu menyeruput kuah kuningnya yang pedas. Kini, kedua putri Bekti Mulyani (generasi kedua setelah Bu Fat) juga meneruskan warisan kuliner milik neneknya yang sudah dimulai sejak 1969. Kuliner legendaris Semarang ini bisa Anda nikmati mulai 9 Agustus dalam perhelatan Kampung Legenda Mal Ciputra, sebagai perayaan ulang tahunnya, sekaligus sebagai sajian kuliner Nusantara dari berbagai daerah. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved