INSTITUT Ungu siap mementaskan lakon realis Subversif!. Ini merupakan adaptasi dari naskah drama klasik dramawan Norwegia Henrik Johan Ibsen berjudul Enemy of The People (1882). Pementasan teater ini akan disutradarai Wawan Sofwan dengan dukungan Kedutaan Besar Norwegia di Indonesia.
Lakon Subversif! mengupas tentang pencemaran udara di kawasan pertambangan dan persoalan demokrasi. Sutradara menghadirkan lima babak untuk memberikan sebuah suguhan utuh dengan unsur dramaturginya. Duta Besar Norwegia Stig Traavik menyatakan pementasan ini sangat penting untuk menjaga hubungan diplomasi antara Indonesia dan Norwegia lewat kebudayaan. "Ibsen adalah William Shakespeare-nya Norwegia. Ini naskah penting karena semasa hidup, Ibsen selalu mengkritik persoalan (kebijakan pemerintah) yang terjadi di Norwegia," papar Traavik di kawasan Kemang, Jakarta, Senin (2/3).
Dia melihat pementasan naskah tersebut sangat kuat. Temanya pun universal. Sehingga, bisa dipentaskan dengan latar belakang budaya berbeda. "Ibsen menjadi simbol kematangan dalam teater realisme di Norwegia sehingga ia dijuluki the father of realisme," jelas Traavik.
Persoalan tambang sangat masif terjadi hingga hari ini. Naskah Ibsen juga sangat kuat sehingga memiliki dampak pada dunia hari ini. Pentas ini memang tidak seutuh lagi dengan judul asli. "Ada perubahan untuk mendapatkan rasa lokal," timpal Wawan menambahkan.
Lakon Subversif! akan berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Kamis (12/3) hingga Sabtu (14/3) pukul 20.00 WIB. Naskah aslinya diterjemahkan dan diadaptasikan Faiza Mardzoeki. Naskah berlatar belakang budaya abad ke-19 itu menyajikan persoalan penting. Terutama, mengkritisi semua pihak untuk menengok persoalan sosial yang ada di sekitarnya. Pementasan lakon ini tidak akan mendekati suguhan asli Ibsen. Pasalnya, ada perubahan tokoh, latar belakang, dan budaya. Faiza memang sengaja menggantikan semu unsur ke konteks Indonesia.
Pementasan ini melibatkan sederet aktor. Mereka antara lain, Andi Bersama, Teuku Rifnu Wikana, Dinda Kanya Dewi, Sita Nursanti, Kartika Jahja, Ayez Kassar, Madin Tyasawan, dan Hendra Yan. Lakon dipentaskan secara internal pertama kali di Palangkaraya, Oktober 2014 lalu. Kini, Ibsen seakan hidup kembali lewat teater. Subversif!
"Saya kira bila Ibsen masih hidup, maka ia akan setuju jika kami hendak mementaskan naskahnya. Lakon ini bisa menjadi cermin untuk menemukan demokrasi. Kami tidak fokus pada persoalan pencemaran. Namun, ada juga refleksi atas kehidupan sosial di sekitar kita," pungkas Wawan. (X-11)