Headline

Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.

Kami Pejabat Kementerian Kekinian

Suryani Wandari
15/10/2017 05:01
Kami Pejabat Kementerian Kekinian
(DOK PPPA)

DIDAMPINGI asistennya, gadis berjilbab hitam duduk dengan tegap memimpin rapat. Ia tampak serius memperhatikan bawahannya yang kala itu sedang mengemukakan argumennya mengenai isu pernikahan anak di Indonesia.

Kadang pendapatnya disanggah bahkan dipatahkan anggota rapat lainnya hingga suasana cukup alot. Namun, karisma seorang menteri yang memimpin forum itu, yakni Ayu Juwita dari Universitas Negeri Medan, mampu merangkul pendapat para deputinya.

Ya, Rabu (11/10) Ayu Juwita memang didaulat menjadi menteri selama satu hari menggantikan posisi Yohana Yambise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), begitupun dengan 20 asisten, deputi beserta asisten deputi.

Bertempat di Kantor Kementerian PPPA, Jakarta Pusat, Plan International Indonesia kembali menggelar program Sehari Jadi Menteri untuk memperingati Hari Anak Perempuan Internasional pada 11 Oktober.

"Hari Anak Perempuan Internasional bisa dijadikan momentum untuk memperkuat pemberdayaan dan perlindungan anak perempuan, terutama mencegah perkawinan anak," kata Wahyu Kuncoro, Program Manager Plan International Indonesia.

Seleksi vlog

Sebanyak 21 anak muda yang jadi pejabat PPPA terpilih bukan tanpa pejuangan. Mereka yang sebagian besar aktif juga dalam berbagai kegiatan atau komunitas di daerahnya disaring dari 1.800 kandidat hingga terpilih menjadi 50 finalis. Kemudian, mereka diadu lagi dalam kompetisi vlog berdurasi 90 detik untuk menyuarakan pendapat jika jadi Menteri PPPA. Fokusnya, menghentikan praktik perkawinan anak.

"Saat itu, aku rekam hanya pakai ponsel, aku menceritakan pernikahan anak di daerahku yang sebenarnya ada, tetapi ditutup-tutupi masyarakat setempat," kata Renya RM Kabu Mau, siswa SMAN 4 Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang hari itu menjadi Asisten Deputi Hak Perempuan Tenaga Kerja.

Sebelum menjalankan perannya, Renya bersama 20 orang lainnya pun mendapatkan pelatihan dasar kepemimpinan selama tiga hari, dari 7-9 Oktober di Leadership Camp. Mereka pun diberi pembekalan mengenai organisasi di Kementerian PPPA.

Bukan cuma prihatin

Becermin dari pengalamannya melihat pernikahan anak di daerahnya, mereka tak sekadar merasa miris, tetapi langsung menyuarakan kegelisahan. Anak muda ini menjadi agen perubahan.

Mereka sadar perkawinan dini membuat anak perempuan menanggung banyak risiko dalam hidupnya. "Ia terancam putus sekolah, juga mengalami gangguan kesehatan. Salah satu penyebabnya, stigma orangtua yang menganggap anak perempuan pasti akan kembali ke dapur," kata Paula Theresa J Silewe dari SMA K Frateran Maumere, NTT, yang jadi Asisten Deputi Kesetaraan Gender Pendidikan.

Wahyu menegaskan kondisi kemiskinan juga menjadi alasan perkawinan anak berulang dari generasi ke generasi. Padahal, kemiskinan dan kurang pemahaman mengenai kehidupan rumah tangga dapat pula memacu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). "Kami ingin masyarakat Indonesia sadar tentang hak-hak anak perempuan termasuk haknya untuk tidak menikah pada saat mereka masih usia anak," kata Wahyu.

Hak anak

Selama kurang lebih 2 jam beradu argumen, para deputi menyumbangkan ide-ide terkait dengan kejahteraan anak lainnya. Muhamad Zidane Nuradha, Asisten Deputi Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi, misalnya.

"Kami akan menggantikan nama LP Anak menjadi Konsera atau Konseling Ramah Anak. Kalau kita mendengar kata LP, apalagi untuk anak, pasti negatif. Aku ingin mengganti stigma itu dengan menggantikan namanya jadi Konsera," kata Zidane.

Tak hanya itu, ide baru yang inovatif muncul dari bertugas jadi kepala bidang, baik itu masukan maupun program. Semuanya dirangkum dalam Sembilan Rekomendasi Anak Muda untuk Kementerian PPPA.

Salah satu isinya mendorong presiden menindaklanjuti peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pencegahan perkawinan usia anak, membuat peraturan menteri, serta merekomendasikan kepada setiap daerah untuk membuat perda, pergub, perwali, dan perdes. Isinya, pendewasaan usia perkawinan. Ada pula gerakan 10.000 hashtag dan 5.000 surat dari masyarakat.

Sembilan rekomendasi itu diterima Leny Nurhayati Rosalin, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak. "Kami sangat bangga, rekomendasi yang mereka berikan cukup tajam. Nantinya akan disampaikan ke Ibu Yohana. Berdasarkan pengalaman kami di tahun lalu, kami, deputi-deputi terkait, langsung menindaklanjuti rekomendasi," kata Leny.

Leny juga mengapresiasi istilah-istilah kekinian dalam rekomendasi itu, seperti program TVMas atau Tim Evaluasi masyarakat. (M-1)

======================================================

Ayu Juwita

Semester 5, Universitas Negeri Medan

DARI dulu aku memang sudah aktif ikut organisasi terkait dengan anak seperti ikut forum anak nasional dan forum Genre (Generasi Berencana-program BKKBN). Menjadi menteri sehari itu semacam mencapai langkah menggapai cita-citaku.

======

Faradifa Audriannisa

SMAN 2 Bondowoso

AKU mengajukan beberapa hal kepada menteri, termasuk mengemas cara sosialisasi kreatif sehingga masyarakat akan mudah menerima.

================

Muh Zidane Nuradha

SMKN 1 Balikpapan

AKU memang bercita-cita pula menjadi menteri. Idolaku Ibu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan. Walaupun dia perempuan, saat mengambil keputusan dengan cara tegas dan menimbulkan efek jera bagi pelakunya.

=========

Paula Theresa J Silewe, SMAK Frateran Maumere dan

Renya RM Kabu Mau, SMA Negeri 4 Kupang

KAMI miris melihat kondisi perkawinan anak di desa kami, bahkan ada budaya pemotongan gigi pada anak perempuan sebagai tanda dirinya bisa menikah usia anak. Ya, kami harus menekan perkawinan anak agar tidak terjadi di Indonesia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya