Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
DUA bingkai kanvas itu seolah menyita pendangan. Dari jauh, paduan warna mencolok dengan tabrakan-tabrakan warna kuat. Meski bertabrak dan berkelindan, warna-warna itu menjadikan visual berantakan dan menjemukan. Justru sebaliknya, warna dominan seolah saling menguatkan. Di satu sisi, warna berteguh dengan kekuatan masing-masing. Di sisi lain, warna-warna mampu berpadu harmonis. Saling meneguhkan identitas. Bertabrakan tetapi tidak saling meniadakan. Berbenturan sekaligus saling menguatkan.
Itulah kesan ketika menatap karya lukisan kaligrafi kontemporer berjudul The Strongest of All Warrior: Patience karya Munadiannur. Karya itu bersanding harmonis dengan karya-karya lain dalam Pameran Lukisan Kaligrafi 2017. Ajang pamer karya seni itu dihelat di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 20-31 Mei 2017. Kali ini, pameran itu mengambil tajuk Tafakur yang berarti berpikir dan mengingat.
Di situlah tampak wajah Islam yang teduh dan adem sekaligus artistik. Pameran ini pertama kali diadakan pada 2012 dan telah memasuki tahun penyelenggaraan keempat. Sama dengan penyelenggaraan sebelumnya, pameran tahun ini pun dihelat menjelang bulan suci Ramadan. “Konsep dari pameran sekarang ialah menyambut bulan Ramadan sebagai bulan yang penuh berhak, rahmah, dan pengampunan,” terang Ketua Pelaksana Dick Syahrir saat ditemui di sela-sela acara, Selasa (23/5).
Sebanyak 40 seniman berturut dalam pameran yang diadakan Fakultas Seni Rupa (FSR) IKJ, Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (Lemka), dan Noqtah Islamic Art Design. Pameran ini juga mewadahi dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, FSR IKJ mempuyai latar belakang pendidikan seni rupa. Kaligrafi bagian dari karya seni rupa. Kedua, kelompok yang mempelajari kaligrafi, yakni Lemka. Seni rupa bagian dari ekspresi kaligrafi. “Ini dua kubu yang bisa kita satukan dalam ruang pameran ini,” tegasnya.
Klasik sampai kontemporer
Lebih dari 65 karya dipamerkan dalam helatan ini, mulai kaligrafi klasik sampai kontemporer. Kaligrafi klasik ditampilkan dengan berbagai macam khat kaligrafi, seperti naskhi, diwani, farisi, kufi, diwani jali, tsuluts, dan riq’ah. Ketujuh khat itu merupakan khat populer dalam kaligrafi. Setiap khat punya karakter dan kekhasan. Naskhi punya bentuk yang mudah dibaca dan biasanya ditemukan pada penulisan sebuah buku. Kufi biasanya cenderung berbentuk persegi dan garis lurus. Diwani ditulis secara tegak lurus. Farisi punya garis lengkungan panjang pada akhir kalimat.
“Ini tipe-tipe yang standar, lah. Ada naskhi, ada tsulutsi,” terang Dick Syahrir sembari menunjuk deretan karya yang berada pada ruang pamer bagian depan. Salah satunya berjudul Al-Isra: 86 karya Badrus Zaman. Selain itu, karya kaligrafi dipamerkan dengan berbagai gaya, figural, ekspresif, abstraksi, maupun kontemporer. Pameran lukisan kaligrafi kali ini sangat sesuai di tengah gaya kontemporer yang sedang menyeruak. Para kaligrafer didorong untuk terus bereksperimen dalam menjawab kondisi zaman. Beberapa karya yang dipamerkan misalnya sangat kental dengan nuansa kontemporer, terlebih pada lukisan kaligrafi berjudul The Strongest of All Warrior: Patience dan The Strongest of All Warrior: Time karya Munadiannur.
Kedua karya itu seolah ingin menghadirkan Jakarta sebagai kota metropolitan dalam visual. Karya itu memang terkesan futuristis dengan metal, kaca, dan garis-garis geometris. Seolah karya itu ingin mengambarkan arsitektur Kota Jakarta dalam bingkai kaligrafi. “Kita bisa melihat arsitektur Kota Jakarta yang diterjemahkannya dalam karya kaligrafi,” terang Syahrir. “Ini bentuk karakter yang ingin dikembangkan. Kota Jakarta punya karakter kaligrafi yang bisa memengaruhi perkembangan secara umum,” lanjut Syahrir.
Menuai apresiasi
Karya-karya yang dipamerkan pun menuai apresiasi dari pengunjung. Salah satunya ialah Wahyu Rinaldi. Ia mengaku jarang ada helatan seperti yang saat ini ia kunjungi. Ia juga terpukau pada keindahan garap dari beberapa karya yang dipamerkan, terlebih pada lukisan kaligrafi karya Munadiannur. “Banyak referansi yang bisa saya ambil dari sini, terutama dua lukisan ini. Saya lihat dua lukisan ini dari depan mencolok sekali, terutama pada warnanya, tekniknya juga. Warna pakai warna mencolok. Dari sekilas mata. Itu menarik sekali untuk warna-warna pop art,” ujar Rinaldi.
Selain keindahan bentuk, kedalaman pesan disajikan dalam pameran ini. Melalui pameran ini, ekspresi seni kaligrafi Islam diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi setiap insan yang mengapresiasi dan menimbulkan kesadaran untuk lebih menghargai Sang Pencipta. Selain itu, ini sebagai penyampai pesan untuk merenungkan kembali bagaimana menyikapi perbedaan. Masih lekat dalam ingatan peristiwa demokrasi beberapa saat lalu, ketika perbedaan menjadi ujian besar bagi kehidupan berbangsa dan beragama. “Kebetulan juga setelah kita pilkada kemarin penuh dengan perbedaan yang nyaris tajam. Dengan pameran ini coba merenung, menghayati apa peran kita sebagai manusia terhadap Sang Pencipta. Maka di sinilah kita melaksanakan pameran ini,” pungkas Syahrir. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved