Headline

Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.

Apa Gawai Harta Bagimu?

Hera Khaerani
22/9/2017 23:01
Apa Gawai Harta Bagimu?
(SUMBER: DITJEN PAJAK/APPLE/SAMSUNG/GRAFIS: NOVIN)

CICITAN akun Twitter Direktorat Jenderal Pajak Republik Indonesia 14 September 2017 menuai banyak reaksi.

Lewat cicitannya, Ditjen Pajak menyatakan ponsel pintar pun mesti dilaporkan dalam kolom harta di SPT (surat pemberitahuan tahunan).

"Lagi heboh smartphone yang baru rilis ya? Ingat, tambahkan smartphone di kolom harta SPT tahunan ya #SadarPajak," demikianlah bunyi tweet tersebut.

Hingga Jumat siang, tidak kurang dari 179 orang membalas cicitan itu dan 219 lain me-retweet-nya.

Di antara yang turut berkomentar menyatakan keberatannya.

Mereka mempertanyakan mengapa ponsel saja perlu dilaporkan sebagai harta.

Nyatanya, tidak semua orang menganggap ponsel cukup berharga sehingga dipandang sebagai harta yang perlu dilaporkan.

Di sisi lain, ada juga yang salah menangkap pesan Ditjen Pajak itu dan mengira artinya bahkan setelah dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) saat membeli ponsel, nantinya mereka juga harus membayar pajak lagi atas ponsel yang mereka miliki.

Pandangan itu diklarifikasi Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama. Dia menjelaskan yang perlu dilakukan wajib pajak hanyalah mencantumkan ponsel pintar miliknya dalam kolom harta di SPT, bukan berarti harus membayar pajak lagi.

Lebih lanjut, Hestu menerangkan aturan itu berlaku bagi barang elektronik lainnya yang dimiliki wajib pajak. Ketika dihubungi Media Indonesia, Rabu (20/9), dia menyatakan untuk menyederhanakan pelaporannya, nilai seluruh barang elektronik bisa diakumulasikan, tidak perlu per item.

Jadi misalnya memiliki ponsel pintar, laptop, dan sejumlah perangkat elektronik lainnya, bisa langsung ditotal saja nilainya.

Tanya

Kendati demikian, aturan bahwa ponsel pintar selayaknya dicantumkan dalam SPT mengundang tanya soal apa yang dimaksud dengan harta. Setiawan Chogah, 28, salah satunya, merasa ponsel pintar tidak termasuk dalam kategori harta.

Karyawan swasta ini memiliki satu ponsel pintar yang digunakannya untuk menunjang pekerjaan.

Saat membelinya, dia merogoh kocek Rp2,2 juta.

Dia juga baru membeli laptop yang berkisar Rp6 juta.

"Aku sih menilainya sebagai kebutuhan primer. Definisi harta dalam pandangan sederhanaku adalah aset berharga dengan nilai yang termasuk kategori mewah. Sama kayak zakat, yang dihitung sebagai objek zakat maal di antaranya kan aset berharga seperti emas, deposito, properti. Kalau ponsel dan laptop kita belum masuk kategori itu," pikirnya.

Senada dengan itu, Gayuh Permadi, 31, yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai negeri sipil, menilai ponsel pintar agak sulit jika mesti dikategorikan sebagai harta karena sifatnya yang sangat dinamis.

"Bukti kepemilikannya pun masih belum diatur, tidak seperti motor, mobil dan tanah yang jelas bukti kepemilikannya dan kelihatan jelas tentang sifat 'hartanya'. Kalau smartphone susah mengukur tentang value atau hartanya," pandang lelaki yang memiliki dua ponsel dan satu laptop dengan harga pembelian total Rp11 juta itu.

Dia baru tahu bahwa barang elektronik pun semestinya dilaporkan sebagai harta dalam SPT, jadi tahun-tahun sebelumnya tidak pernah melakukan hal itu.

Namun dia melanjutkan, "Kalaupun memang nanti ada yang mengatur seperti itu jenisnya harus dilaporkan, ya sudah harus mengikut dengan aturan pemerintah. Tinggal nulis doang terkait dengan harta, nanti kalau ada perubahan, selalu bisa diubah setiap tahunnya. Jadi tidak apa-apa sih, tidak repot juga, tinggal melaporkan saja."

Pandangan beda berasal dari PNS lainnya, Lydia Okva, 30.

Dia menganggap melaporkan kepemilikan semua barang elektronik dalam SPT cukup merepotkan.

"Kalau begitu nanti televisi, AC (pendingin ruangan), dan alat-alat elektronik lainnya juga harus dilaporkan," tanyanya bingung.

Dia sendiri memiliki dua ponsel pintar, dua laptop, juga kamera.

Untuk dua ponselnya, harganya hampir Rp10 juta.

Selama ini, Lydia tidak pernah mencantumkan barang-barang elektroniknya sebagai harta dalam SPT.

Dia mencatatkannya dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang beberapa tahun belakangan diwajibkan tidak hanya bagi pejabat, tetapi juga PNS biasa.

Konsekuensi

Lebih lanjut, Hestu Yoga menyatakan sebenarnya tidak ada konsekuensi yang spesifik jika wajib pajak tidak melaporkan kepemilikan barang elektroniknya.

Namun, sosialisasi tentang ini tetap dipandang penting agar menjadi sinkron antara besarnya penghasilan wajib pajak dan harta yang dimiliki.

Ini akan membantu jika di kemudian hari ada masalah dengan profil keuangan wajib pajak bersangkutan.

"Pemahaman masyarakat selama ini yang dianggap harta itu hanya uang, properti, furnitur, dan mobil. Bahkan perhiasan juga jarang dilaporkan sebagai harta. Padahal mestinya melaporkan semua harta termasuk investasi saham, barang koleksi seni, dan lainnya," paparnya.

Namun, ketika ditanyai berapa harga ponsel pintar dan gawai elektronik lainnya yang harus dicantumkan dalam SPT, Hestu mengaku memang aturan normatif soal itu memang tidak ada.

Ini artinya, kepemilikan ponsel pintar yang mesti dilaporkan tidak terbatas pada yang terbilang mewah atau produk 'high end'.

Menanggapi soal aturan mencantumkan ponsel pintar dalam SPT, Country General Manager Lenovo Mobile Business Group and Motorola Mobility Indonesia Adrie R Suhadi melihat belum ada kejelasan soal ponsel pintar harga berapa yang harus masuk SPT.

Pihaknya yakin tidak akan berpengaruh pada penjualan ponsel pintar kategori high end mereka.

Hal senada disampaikan PR Manager Oppo Indonesia Aryo Meidianto.

Dia merasa hal itu tidak akan berpengaruh banyak, apalagi Oppo memang tidak menawarkan perangkat ponsel pintar yang sangat mahal.

"Ponsel termahal kami saat ini Rp6,5 juta dan yang terlaris di harga Rp4 jutaan," ujarnya.

Nah, kini apakah kalian akan mulai mencantumkan kepemilikan ponsel pintar dan gawai lainnya dalam SPT pajak?

(M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya